Hartomo akhirnya menyerah. Dengan segala keikhlasan dia rela memperbaiki penampilan selayaknya seorang pelajar yang baik dan sadar akan peraturan.
Masih tentang Hartomo. Dia pertama kali kost bersama DIdi anak Indramayu. Setali tiga uang. Sejurus dalam pemikiran dan idealis tentang kehidupan anak muda. Mereka berdua sama-sama menginginkan kebebasan. Tanpa ada yang mengatur jalan hidup mereka. Dalam hal ini Hartomo lebih unggul dalam belajar. Didi. Dari Indramayu datang ke Madiun untuk menimba ilmu. Penggemar klub Inter Milan. Tertarik dengan cewe bernama Meffida, rumahnya dulu depan pasar besar. Sekarang rumah itu telah tergusur. Sejak tujuh tahun yang lalu memang terjadi persengketaan atas tanah wilayah tersebut. Banyak yang pergi dari kampung tersebut, lantaran kalah dalam hal hak kepemilikan tanah yang sah. Entah disebabkan karena memang begitu adanya. Atau karena sebab uang bisa menyulap segala yang tak semestinya terjadi bakal jadi kenyataan. Kebenaran mungkin mudah sekali terbeli di negeri ini. Kalau memang benar itu keadaannya. "Oh, betapa kasihannya negeri ku ini", gumamku.
Meffida memang mempunyai tipikal wajah yang ayu. Hidungnya mungil sedikit mancung. Bak buah stroberi yang baru dipanen, menyisakan tetesan embun pegunungan. Bibirnya berwarna merah segar. Tak urung membuat Didi kesengsem. Tinggi badan Meffida memang tidak tinggi semampai. Mungkin dari sebab itulah dia terkesan seperti peri kecil dalam tidur si Didi. Perkenalan dengan gadis itu juga lewat perantara Hartomo teman satu kost nya. Kebetulan ada saudara hartomo yang tinggal sekampung dengan Meffida. Ahh tapi entah sampai dimana ujung kisah mereka berdua. Jelasnya Didi malah akhirnya membantu Rio setahun kemudian untuk menggebet si peri kecil Meffida.
Satu lagi seorang teman yang menyemarakkan cerita di kelas kami. Anis asal kota Magetan anaknya sangat mendambakan sebuah kebebasan. Hingga jadi kebablasan. Ketemu Hartomo dan Didi. Jadilah trio maut yang punya paham sejurus. Suatu siang ketika jam kosong pelajaran Geografi Anis bikin ulah. Sisa minuman semalamnya ternyata ada di dalam tas. Sebab bentuk botolnya yang gepeng maka dengan mudah dia masukkan minuman produk impor itu dalam tas nya warna coklat. Dipertontonkan pula minuman bekas semalam yang tak habis itu pada Hartomo serta Didi. Lalu menenggaknya bersama-sama. Tapi ahh dasar sial saya juga kena bohong mulut Hartomo dan Anis. Mereka sepakat bilang, "ini cuma botolnya doang yu isinya bukan minuman yang berakohol". Karena saya juga tak begitu paham dengan jenis-jenis minuman. Mana yang berakohol dan mana yang tidak. Geg geg geg geg geg. Terguyur sudah minuman itu membasahi tenggorokan saya. Baru sadar ketika beberapa menit kemudian kok kepala terasa pusing. Padahal rasanya tadi manis lho. Selidik punya selidik, ternyata minuman itu telah tercampur dengan softdrink berkarbonasi. "Goblog we yu bayu, wong omben kuwi wis tak oplos fanta abang kok" (Goblog lu yu bayu, orang minuman itu udah gue oplos pake fanta merah).
Tapi yang namanya orang tidak sengaja akhirnya tidak kena juga imbas atas ketidaksengajaan itu. Begitulah kira-kira yang saya alami waktu itu. Tiga orang itu mengalami nasib sial. Salah sendiri saya ajak masuk kelas malah ngeyel tetap ingin menghabiskan rokok di warung depan sekolah. Dan terjadilah. Bu Siti pengisi mata pelajaran Antropologi masuk kelas. Setelah jam pelajaran Geografi pak Gito yang berhalangan hadir karena tugas ke Malang. Saya selamat dari sanksi yang menjerat mereka bertiga. Bu Siti, menyita tas mereka trio ADH (Anis, Didi, Hartomo) setelah menunggu 15 menit tak juga kembali ke kelas. Anis yang paling berat menanggung sanksi. Perbuatannya kali ini tak bisa ditoleransi lagi oleh pihak sekolah. Drop out menjadi harga mati. Kasihan juga Anis bila saya mengingat solidaritasnya sebagai seorang teman. Ketika saya tak ada uang jajan dia sering kali membelikan saya makanan si warung depan. Walau tak jarang pula uang untuk jajan itu hasil dari berbohong pada orangtua nya. Selamat tinggal Anis, sampai jumpa di lain kesempatan dan waktu.
Didi, Hartomo cuma mendapat ganjaran panggilan orangtua. Tak ada sanksi yang lebih buruk dari itu. Waktupun berlalu. Hartomo semakin menunjukkan grafik kenaikan pada perilaku baiknya. Sementara Didi, ah tetap saja terlambat datang ke sekolah jadi menu sarapan guru-guru piket.
Di sebuah kesempatan selepas liburan caturwulan pertama kelas satu. Saya duduk bersandar dinding menghadap ke arah matahari terbit. Hartomo menghadap selatan menyandarkan diri pada punggung pintu kelas kami. Dia bercerita tentang tanah kelahirannya, Ambon. Tentang pantainya yang indah, masa kecilnya yang ceria di sana. Berbicara masa lalu ketika menghabiskan masa kanak-kanaknya di pulau bagian timur bumi pertiwi ini. Bercerita kesibukan ibu-ibu membakar sagu. Kesibukan masa kecilnya saat hari raya Idul Fitri di sana. Mengisi hari raya tersebut dengan mengantarkan makanan ke tetangga-tetangga nya di sana, yang beragama Kristen. Lalu ketika hari Natal giliran dia mendapatkan kiriman kue-kue dari tetangga-tetangga nya yang beragama Kristen. Begitu damainya kehidupan di Ambon dulu. Hartomo sering menyebut kerukunan itu dengan istilah Pela Gandong, yang kata dia telah menjadi denyut nadi kehidupan orang-orang di sana. "Namun sekarang keadaan telah berubah", matanya berkaca-kaca ketika mengucapkan kalimat tersebut. Dia mengusap kedua matanya dengan saputangan yang selalu dia kantongi. Dibukanya kacamata itu. Seakan dia merindukan kedamaian yang dulu. Seperti masa kecilnya yang dahulu kala. Ketika di Ambon.
"Pasti ada pihak yang menunggangi", kembali dia berbicara. "Bayangkan saja Ambon yang dulu damai kini jadi kacau balau karena perselisihan yang tak ada ujungnya. Pasti ada oknum yang memprovokasi atas tragedi-tragedi yang terjadi di sana. Bayangkan saja rakyat yang semula cuma tahu gimana agar tetap bisa makan, hidup nyaman, tentang tradisi kebersamaan. Sekarang harus saling berperang angkat senjata. Atas nama agama. Atas nama kebanggan sebuah emirat harus ditegakkan. Ahh, dulu aku begitu rukun dengan kawan-kawan yang Kristen. Sekarang segalanya telah berubah. Aku prihatin dengan keadaan ini. Namun aku cuma bisa berharap dan berdo'a, semoga Ambon kembali berseri. Ungkapan pela gandong selalu berjaya ke seluruh penjuru dunia. Apapun agama kita harus tetap hidup rukun dan berdampingan".
Saya cuma terkesima dengan pemaparan Hartomo. Di usia yang masih terbilang muda bahkan baru remaja mampu berpikir sedewasa itu. Memang Ambon layaknya nafas hidupnya. Bersama gitar dia sering mendendangkan lagu tanah kelahirannya. Setiap kenangan yang tertinggal di sana seolah bak siluet burung camar kala menikmati sunset di bibir pantai. Ambon tak akan pernah habis membiuskan sejuta kenangan indah di dalam sanubarinya....
..................
Di kemudian hari bulan Oktober tahun ajaran 2000/2001 inilah titik awal Hartomo membuat catatan gemilang di sekolah kami. Berawal dari cerita pak Nuryanto. Sela pelajaran PPKn agar murid-murid tak bosan maka dihibur olehnya tentang cerita sekolah kami jaman dulu. Masa lalu SMA kami dulu yang dihuni banyak siswa. Bahkan kata beliau sampai ada sembilan kelas. Untuk masing tingkatan. Benar-benar membanggakan. Kegiatan di luar jam pelajaran formal pun cukup banyak juga menarik. Ketika ada peringatan hari Sumpah Pemuda bermacam-macam lomba adu kreativitas antar siswa digelar. Menjadi ajang yang menarik dan layak untuk ditunggu-tunggu perhelatannya. Lalu tak ketinggalan pertunjukkan kesenian di penghujung acara puncak. Jika teringat kala Pak Nur bercerita saya jadi terlintas film Laskar Pelangi.