Di sebuah kesempatan selepas liburan caturwulan pertama kelas satu. Saya duduk bersandar dinding menghadap ke arah matahari terbit. Hartomo menghadap selatan menyandarkan diri pada punggung pintu kelas kami. Dia bercerita tentang tanah kelahirannya, Ambon. Tentang pantainya yang indah, masa kecilnya yang ceria di sana. Berbicara masa lalu ketika menghabiskan masa kanak-kanaknya di pulau bagian timur bumi pertiwi ini. Bercerita kesibukan ibu-ibu membakar sagu. Kesibukan masa kecilnya saat hari raya Idul Fitri di sana. Mengisi hari raya tersebut dengan mengantarkan makanan ke tetangga-tetangga nya di sana, yang beragama Kristen. Lalu ketika hari Natal giliran dia mendapatkan kiriman kue-kue dari tetangga-tetangga nya yang beragama Kristen. Begitu damainya kehidupan di Ambon dulu. Hartomo sering menyebut kerukunan itu dengan istilah Pela Gandong, yang kata dia telah menjadi denyut nadi kehidupan orang-orang di sana. "Namun sekarang keadaan telah berubah", matanya berkaca-kaca ketika mengucapkan kalimat tersebut. Dia mengusap kedua matanya dengan saputangan yang selalu dia kantongi. Dibukanya kacamata itu. Seakan dia merindukan kedamaian yang dulu. Seperti masa kecilnya yang dahulu kala. Ketika di Ambon.
"Pasti ada pihak yang menunggangi", kembali dia berbicara. "Bayangkan saja Ambon yang dulu damai kini jadi kacau balau karena perselisihan yang tak ada ujungnya. Pasti ada oknum yang memprovokasi atas tragedi-tragedi yang terjadi di sana. Bayangkan saja rakyat yang semula cuma tahu gimana agar tetap bisa makan, hidup nyaman, tentang tradisi kebersamaan. Sekarang harus saling berperang angkat senjata. Atas nama agama. Atas nama kebanggan sebuah emirat harus ditegakkan. Ahh, dulu aku begitu rukun dengan kawan-kawan yang Kristen. Sekarang segalanya telah berubah. Aku prihatin dengan keadaan ini. Namun aku cuma bisa berharap dan berdo'a, semoga Ambon kembali berseri. Ungkapan pela gandong selalu berjaya ke seluruh penjuru dunia. Apapun agama kita harus tetap hidup rukun dan berdampingan".
Saya cuma terkesima dengan pemaparan Hartomo. Di usia yang masih terbilang muda bahkan baru remaja mampu berpikir sedewasa itu. Memang Ambon layaknya nafas hidupnya. Bersama gitar dia sering mendendangkan lagu tanah kelahirannya. Setiap kenangan yang tertinggal di sana seolah bak siluet burung camar kala menikmati sunset di bibir pantai. Ambon tak akan pernah habis membiuskan sejuta kenangan indah di dalam sanubarinya....
..................
Di kemudian hari bulan Oktober tahun ajaran 2000/2001 inilah titik awal Hartomo membuat catatan gemilang di sekolah kami. Berawal dari cerita pak Nuryanto. Sela pelajaran PPKn agar murid-murid tak bosan maka dihibur olehnya tentang cerita sekolah kami jaman dulu. Masa lalu SMA kami dulu yang dihuni banyak siswa. Bahkan kata beliau sampai ada sembilan kelas. Untuk masing tingkatan. Benar-benar membanggakan. Kegiatan di luar jam pelajaran formal pun cukup banyak juga menarik. Ketika ada peringatan hari Sumpah Pemuda bermacam-macam lomba adu kreativitas antar siswa digelar. Menjadi ajang yang menarik dan layak untuk ditunggu-tunggu perhelatannya. Lalu tak ketinggalan pertunjukkan kesenian di penghujung acara puncak. Jika teringat kala Pak Nur bercerita saya jadi terlintas film Laskar Pelangi.
Ingat sebuah cerita, dimana seorang guru bernama ibu Muslimah. Dalam film nya diperankan oleh Cut Mini. Begitu lihainya membakar semangat semangat anak-anak SD Muhamadiyah. Ketika kejenuhan yang teramat sangat mendera. Bangunan sekolah nyaris ambruk jika tak ditopang kayu penyangga tambahan. Namun dalam hal ini Cut Mini, eh sorry Ibu Muslimah mampu mengatasi keadaan dengan cerita nya. Kisah tentang Bung Karno yang mampu menulis buku Indonesia Menggugat ketika presiden pertama negeri ini dijebloskan dalam penjara. Sel yang sempit di kota Bandung. Oleh pemerintahan kolonial Belanda. Dalam sel yang sempit dan bau serta penuh penderitaan tak membuat semangat sang Ploklamator redup. Semangat untuk terus berjuang guna kemerdekaan yang harus terengkuh. Cerita inspiratif mampu membakar semangat anak-anak Laskar Pelangi.
Pak Nur tak beda jauh dengan adegan tersebut. Cuma dalam konteks, kisah itu masih kalah heroik nya dengan cerita yang ditulis Andre Hirata. Namun juga tak apalah jika saya sedikit agak kepedean menyandingkan kisah itu dengan karya sang Maestro Andrea Hirata toh esensi nya juga gak beda jauh. Mengobarkan semangat.
Atas cerita tersebut Hartomo terlecut untuk berbuat sesuatu. Mumpung masih bulan Oktober. Sumpah Pemuda tinggal menunggu waktu. Gayung bersambut, ternyata Osis juga merencanakan acara tersebut.
.......................
Setelah berlatih dengan konsisten kami Spidol Band. Dengan personil Hartomo dan Fery pada gitar. Maryono pemain bass. Lalu tak ketinggalan Pranata penggebuk drum. Meraih juara satu lomba band di sekolah kami. SMA Cokro dalam rangka peringatan hari Sumpah Pemuda saat itu. Hal yang kami sangka sebelumnya. Kami puas. Terutama Hartomo dan Fery sebab mereka berdualah kompak dalam pemilihan lagu
yang kami bawakan. Mahadewi dan Begitu Indah. Semua kami ambil dari kantong album Lain Dunia milik Padi.