"Ngapain kita kesini?" tanya Susi.Â
"Ya, jalan-jalan aja," jawab Sinta.Â
"Jalan-jalan sih jalan-jalan, tapi kok lewat rumah Sugih? Jangan-jangan kamu caper, ya?" timpal Susi cekikikan.Â
Nomor telepon lama Sugih sudah tidak bisa dihubungi, sehingga Sinta bingung---harus melalui apa lagi ia dapat berkomunikasi dengan Sugih. Tetapi dia yakin Sugih masih menyimpan nomornya, dan suatu saat Sugih bakal menghubunginya dengan nomor baru. Sinta telah ditipu oleh halusinasinya---yang kerap merasuki pikirannya. Karena itu, setiap teleponnya berbunyi, disangkanya dari Sugih.Â
Pernah, suatu ketika, nomor baru miskol tanpa sepengetahuannya. Pikirannya menyimpulkan: ini pasti Sugih, ini pasti Sugih. Dan ia berharap nomor itu bakal meneleponnya lagi. Dirasa-rasa lama tak telepon lagi, Sinta berusaha memiskol balik, tapi nomor itu tak juga meneleponnya lagi. Sinta penasaran.Â
Pulsanya tak cukup---hanya bisa miskol, ia isi ulang ke konter terdekat. Setelah pulsanya sudah terisi, ia mencoba menghubungi nomor itu, namun sayang, tak diangkat sampai berkali-kali. Tapi pikirnya, mungkin pemilik nomor itu (yang dikiranya Sugih) malu mengangkat teleponnya, sehingga ia SMS: Maaf tadi saya sibuk, ini siapa, ya?
Sinta menunggu balasan SMS dari nomor itu sampai berjam-jam tak kunjung jua dibalas. Maka ia mencoba mengirim pesan lagi dengan pernyataan yang sama. Pun tak dibalas. Tapi nomor itu ia save dengan nama kontak Sugih.
"Aku juga sering ditelepon nomor baru," kata Susi mengalami.Â
"Kayaknya itu Sugih, Sus. Boleh aku pinjem HP-mu, buat nelpon nomor itu?" pinta Sinta.Â
"Itu nomor nyasar, Ta. Bukan Sugih. Tapi kalau kamu penasaran boleh pake HP-ku."
"Makasih?"Â