Dengan HP sahabatnya, Sinta menghubungi nomor itu, tapi tidak aktif. Namun tetap saja ia masih penasarasan dan enggan menghapus nomor nyasar itu. Meski nomor itu tak aktif, ia malah SMS: lagi ngapain, ya?
Dua hari berlalu. Susi mengajak Sinta dan nyamperin teman-teman cowoknya untuk main ke rumah Sapar. Sinta berusaha berpenampilan elegan dengan mengenakan baju berwarna merah. Warna merah sengaja dipilihnya agar kelihatan semangat. Supaya dianggap bahagia. Ternyata penampilannya mendapat respon positif dari teman-temannya, tapi dia tetap disinggung.Â
"Kamu kelihatannya bahagia, Ta," kata Sapar memuji.Â
"Hidup itu harus dinikmati," jawab Sinta.Â
"Tapi aku nggak yakin kamu sudah Move On," Sapar menyindir.
"Ha? Hari gini nggak bisa move on?" timpal Sinta sedikit gugup.
Parto yang jago main gitar dimintai teman-teman untuk menyanyikan sebuah lagu tentang cinta. Oleh lagu yang dinyanyikan Parto membuat Sinta mendadak keinget Sugih. Mulanya Sinta senang dan gembira, akhirnya ia lesu. "Kamu baper ya, Ta? Baiklah aku akan menyanyikan lagu lain," tukas Parto sambil memetik gitarnya.Â
"Nggak kok. Aku cuma lapar," Sinta mengeles, lalu ia mengajak Susi untuk beli makanan. Ia pergi beli makanan namun perasaannya tidak bisa dibohongi bahwa memang ia benar-benar baper karena lagu yang dinyanyikan Parto.Â
Sementara Parto mesam-mesem, ia yakin Sinta memang baper oleh lagu yang  dinyanyikanya. Ia mengerti betul perasaan Sinta yang sesungguhnya---masih mengharapkan Sugih. Walau Sinta enggan mengakuinya--- sebenarnya hanya menutupi saja supaya tidak diledekin teman-teman.
"Aku kira Sinta tadi baper," celetuk Parto. "Dia bilang lapar 'kan alasan aja."
"Masa' To?" tanya Sapar penasaran.Â