Mohon tunggu...
Bass Elang
Bass Elang Mohon Tunggu... Seniman -

Dan pada akhirnya senja berubah menjadi malam yang gelap. Tak ada yang berkesan kecuali wajah manismu yang melintas.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

"Move On 12", Masih Membungkam

1 Mei 2018   23:42 Diperbarui: 2 Mei 2018   00:39 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://harsonosapuan.blogspot.co.id/2010/?m=1

Di waktu fajar. Baru bangun tidur, ia menggeliat sebelum bangkit dari kasurnya. Ia mengawali harinya dengan membuka jendela, lalu menegakkan seluruh tubuhnya sambil merentangkan kedua tangannya ke atas. Dilihatnya mentari terbit masih menguning: berbentuk lebih besar dari siang hari. Pikirannya masih kosong, perasaannya pun sama. Udara berasa sejuk di pagi hari itu. 

Ia mencoba menghirup udara pagi dengan suka-rela. Ia memejamkan matanya dan menyatukan ujung jari-jari kedua tangannya sambil menghela nafas lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Hati dan pikirannya merasa tenang. Ia menikmatinya, dan ia berharap, hari-harinya selalu optimis tanpa ada kegaduhan lagi yang membelenggu jiwanya. 

Sarapan telah disediakan oleh ibunya. Dia dipanggil ibunya, "Ta, ibu sudah nyiapin sarapan di depan," tukas ibunya berlalu. Sinta bergegas mengambil handuknya lalu keluar kamar menuju kamar mandi. Dan setelah mandi ia baru menyantap sarapannya. 

Telepon genggamnya berbunyi: kring, kring, kring. Sinta mengira yang menelepon adalah mantan; sampai tergopoh-gopoh. Ternyata, yang menelepon adalah nomor nyasar. "Duuh, aku kira yang call kamu, Gih," celetuknya baper. 

Sudah lama rasa keberharapannya terhadap Sugih belum juga mendapat respon. Hati Sugih masih membungkam, seperti tak lagi mencintai Sinta. Meski begitu, entah mengapa Sinta merasa bahwa mantannya akan mencintainya lagi di kemudian hari. 

Sinta tersugesti oleh mimpi. Dalam mimpinya ia balikan lagi dengan Sugih, bahkan ia sangat PD itu akan terjadi. Karena itu, bukan hanya bunyi telepon, bunyi SMS pun dikiranya dari Sugih. Aneh. Tapi begitulah prasangkanya. 

"Hatimu memang kacau, Ta. Tapi engkau harus tetap melanjutkan hidupmu." Begitu ujar Sutejo mencoba menyadarkan Sinta. Karena diamatinya, Sinta belum bisa berhenti mengharapkan bekas pacarnya.  

Sinta berlaga tertawa di depan Sutejo, tetapi mencerminkan kebohongan. "Ha-ha-ha. Aku bahagia, kok," timpalnya sedikit tak tenang. 

"Ah. Pengakuanmu meragukan. Engkau mengucapkan itu, tapi tak sinkron dengan wajamu," Sutejo menyikapi dengan santai.

Saat bareng kumpul teman-temannya, Sinta selalu mengaku: perasaannya baik-baik saja---sudah tak lagi mempedulikan Sugih. Namun dibalik sikapnya---yang berlaga seperti tak berharap lagi sebenarnya menyembunyikan luka-lara. Meski ia selalu menunjukkan keceriaan tetapi kaku: ada tekanan batin. 

Suatu waktu di rumah Susi. Sinta bercerita mengenai mimpinya lalu jiwanya tergugah untuk menemui Sugih. Ia menarik tangan temannya agar mau menemaninya jalan. Tetapi dia tak bilang ke rumah Sugih. Sampai di rumah Sugih pun ia tak berani menamu. Sinta hanya lewat saja. Yang ia rasa, Sugih sedang menunggunya.

"Ngapain kita kesini?" tanya Susi. 

"Ya, jalan-jalan aja," jawab Sinta. 

"Jalan-jalan sih jalan-jalan, tapi kok lewat rumah Sugih? Jangan-jangan kamu caper, ya?" timpal Susi cekikikan. 

Nomor telepon lama Sugih sudah tidak bisa dihubungi, sehingga Sinta bingung---harus melalui apa lagi ia dapat berkomunikasi dengan Sugih. Tetapi dia yakin Sugih masih menyimpan nomornya, dan suatu saat Sugih bakal menghubunginya dengan nomor baru. Sinta telah ditipu oleh halusinasinya---yang kerap merasuki pikirannya. Karena itu, setiap teleponnya berbunyi, disangkanya dari Sugih. 

Pernah, suatu ketika, nomor baru miskol tanpa sepengetahuannya. Pikirannya menyimpulkan: ini pasti Sugih, ini pasti Sugih. Dan ia berharap nomor itu bakal meneleponnya lagi. Dirasa-rasa lama tak telepon lagi, Sinta berusaha memiskol balik, tapi nomor itu tak juga meneleponnya lagi. Sinta penasaran. 

Pulsanya tak cukup---hanya bisa miskol, ia isi ulang ke konter terdekat. Setelah pulsanya sudah terisi, ia mencoba menghubungi nomor itu, namun sayang, tak diangkat sampai berkali-kali. Tapi pikirnya, mungkin pemilik nomor itu (yang dikiranya Sugih) malu mengangkat teleponnya, sehingga ia SMS: Maaf tadi saya sibuk, ini siapa, ya?

Sinta menunggu balasan SMS dari nomor itu sampai berjam-jam tak kunjung jua dibalas. Maka ia mencoba mengirim pesan lagi dengan pernyataan yang sama. Pun tak dibalas. Tapi nomor itu ia save dengan nama kontak Sugih.

"Aku juga sering ditelepon nomor baru," kata Susi mengalami. 

"Kayaknya itu Sugih, Sus. Boleh aku pinjem HP-mu, buat nelpon nomor itu?" pinta Sinta. 

"Itu nomor nyasar, Ta. Bukan Sugih. Tapi kalau kamu penasaran boleh pake HP-ku."

"Makasih?" 

Dengan HP sahabatnya, Sinta menghubungi nomor itu, tapi tidak aktif. Namun tetap saja ia masih penasarasan dan enggan menghapus nomor nyasar itu. Meski nomor itu tak aktif, ia malah SMS: lagi ngapain, ya?

Dua hari berlalu. Susi mengajak Sinta dan nyamperin teman-teman cowoknya untuk main ke rumah Sapar. Sinta berusaha berpenampilan elegan dengan mengenakan baju berwarna merah. Warna merah sengaja dipilihnya agar kelihatan semangat. Supaya dianggap bahagia. Ternyata penampilannya mendapat respon positif dari teman-temannya, tapi dia tetap disinggung. 

"Kamu kelihatannya bahagia, Ta," kata Sapar memuji. 

"Hidup itu harus dinikmati," jawab Sinta. 

"Tapi aku nggak yakin kamu sudah Move On," Sapar menyindir.

"Ha? Hari gini nggak bisa move on?" timpal Sinta sedikit gugup.

Parto yang jago main gitar dimintai teman-teman untuk menyanyikan sebuah lagu tentang cinta. Oleh lagu yang dinyanyikan Parto membuat Sinta mendadak keinget Sugih. Mulanya Sinta senang dan gembira, akhirnya ia lesu. "Kamu baper ya, Ta? Baiklah aku akan menyanyikan lagu lain," tukas Parto sambil memetik gitarnya. 

"Nggak kok. Aku cuma lapar," Sinta mengeles, lalu ia mengajak Susi untuk beli makanan. Ia pergi beli makanan namun perasaannya tidak bisa dibohongi bahwa memang ia benar-benar baper karena lagu yang dinyanyikan Parto. 

Sementara Parto mesam-mesem, ia yakin Sinta memang baper oleh lagu yang  dinyanyikanya. Ia mengerti betul perasaan Sinta yang sesungguhnya---masih mengharapkan Sugih. Walau Sinta enggan mengakuinya--- sebenarnya hanya menutupi saja supaya tidak diledekin teman-teman.

"Aku kira Sinta tadi baper," celetuk Parto. "Dia bilang lapar 'kan alasan aja."

"Masa' To?" tanya Sapar penasaran. 

"Iya, sebetulnya 'kan dia masih berharap."

"Iya juga sih."

"Apa mungkin dia malu, ya, ama kita-kita?" kata Sutejo.

"Nah, itu dia," seru Parmin yang sedang memegang makanan ringan. Pikirnya, seorang yang tidak bisa move on sukar melupakan mantan. Apalagi jika banyak kenangan manis-pahit yang indah. 

"Dia malu, karena sampai sekarang Sugih belum juga ngasih harapan kepadanya," terang Parto yang masih memetik gitarnya. "Bayangin aja, udah berapa lama Sugih masih membungkam? Belum pernah 'kan Sugih nanya-nanya Sinta?"

"Hmmm. Iya. Apalagi sekarang dia udah punya pacar lagi," sahut Sapar menginformasi. 

"Oh,,, aku juga pernah lihat dia jalan ama cewek. Jadi itu pacarnya?" Parmin bereaksi sambli mengangguk-angguk. 

"Tapi, aku punya keyakinan, nanti Sugih bakal rindu Sinta," tukas Sutejo. Hening... Ia meyakini itu sebagaimana Sinta yang juga rindu kepada Sugih. 

"Ada benernya juga sih. Terkadang 'kan orang merindui kekasih lama, apabila hubungannya dengan kekasih barunya tak seindah dengan kekasih lama," Sapar menambahi. 

"Aku sih nggak doain Sugih putus dengan pacarnya, tapi menurutku, kalau Sugih ngerasa bosan dengan pacarnya, rindunya kepada Sinta bisa saja tiba, dan hal itu bisa menganggu pikiran dan hatinya. Toh, siapa tahu ia malah mutusin pacarnya yang sekarang," jelas Sutejo. 

"Dan lalu balikan lagi dengan mantanya? Itu maksudmu?" timpal Sapar membuat Sutejo sedikit bingung. 

"Nggak mesti juga sih. Tergantung Sugihnya. Kalau dia menemukan wanita lain---yang setidaknya bisa lebih dari Sinta, mungkin dia pacarin wanita itu. Tetapi kalau tidak ada lagi yang seperti Sinta, mungkin dia akan memilih balikan lagi dengan Sinta."

Parto malah merusuhi suasana obrolan serius itu dengan gitarnya. Parmin sedikit geram: hampir tangannya reflek menyentuh gelas di meja. "Ha-ha-ha," Parto tertawa terbahak-bahak. Tetapi Sapar malah menggaruk-garuk rambutnya. Tidak seperti Sutejo, dia tetap tenang. 

"Wah, rese kamu, To," Seru Parmin. 

Di warung makan, mata Sinta menengok-nengok ke jalan, sampai ia tak semaur ditanyakan pedagang: mau pesan apa? Susi menepuk lengannya, ia baru sadar. Ia tersenyum dan meminta maaf kepada Susi. Namun terus saja ia menengok ke jalan. 

"Lagi ngeliatin apa sih?" tanya Susi membuatnya panik. 

Pikiran Sinta kala itu tertuju pada Sugih. Kiranya, Sugih sedang mencarinya. 

Setiap suara motor yang mirip dengan suara motor Sugih, ia langsung beranjak dari tempat duduknya. Lagi-lagi pengendara motor yang ia lihat bukan Sugih. Ia garuk-garuk rambutnya. Dia berdiri di luar warung, tangannya sambil memegang tiang lampu. Susi memanggilnya, dia cuma menjawab: sebentar, lagi cari angin. Hingga pesanan makanannya selesai dilayani. 

"Sugih gak mungkin deh, lewat," sindir Susi. 

Makanan yang ditenteng Sinta jatuh.  Ia kegugupan lantaran tingkahnya ditebak. "Siapa juga yang lagi nunggu Sugih," celetuknya pura-pura santai.  Ia selalu berusaha menutupi perasaannya.   

Semakin resah ketika dia sudah sampai di rumah Sapar. Ia membayangkan pria yang sedang ia harapkan cintanya datang dan bergabung. Hatinya masih kesepian sudah sekian lama. Bahkan makan pun rasanya tak enak. 

"Kenapa makananmu nggak dihabisin?" ceplos Susi yang lagi menikmati makanannya. 

"Udah kenyang, nih" jawab Sinta.

"Itu masih banyak, kok."

"Iya, tapi aku udah kenyang, Sus."

"Ya udah buat aku aja," pinta Parmin. 

"Aku juga doyan," seru Parto merebut makanan itu sebelum diambil Parmin. 

Sinta teringat masa dulu makan bersama dengan mantannya: Sepiring berdua. Kenangan yang paling indah ketika makan di warung pinggir laut di sore hari. Ialah yang kerap mengajak makan pada Sugih. Malahan dalam satu hari ia bisa makan empat kali. Kini nafsu makannya berkurang, tak seperti tiga tahun yang lalu. 

"Dulu 'kan kamu banyak makan, Ta?" celetuk Susi sebelum menaruh piring. "Sekarang sedikit aja udah kenyang." pelan-pelan Susi menerangkan dan membersihkan meja dengan lap lalu ia membawa piring bekas yang dipakainya ke dalam rumah Sapar itu. 

Sapar menyusul Susi ke dalam untuk memintanya membuatkan kopi sebelum ia cekikikan mendengar cerita Susi. "Tadi aneh, lho" seru Susi sambil mengucek piring. "Di warung makan Sinta tengak-tengok di jalan. Nggak jelas apa yang sedang ia lihat."

"Ha-ha-ha." tawa Sapar ngikik. Ia menangkap tingkah Sinta di warung makan tadi. "Mungkin dia ngira Sugih bakal lewat, dan menyapanya."

"Aku kira juga gitu," jawab Susi selesai menyuci piring dan menaruhnya di rak. "Lagian kalau memang Sugih lewat, apa akan menyapanya?" 

"Hmmm. Namanya juga orang nggak bisa move on. Jangankan disapa, ngeliat muka aja udah bikin seneng," terang Sapar membantu Sinta mengambil gelas. 

Mereka berdua tertawa terpingkal-pingkal hingga bunyi tawanya terdengar sampai keluar. Teman-temannya mendengar dan penasaran. Sapar dan Susi mengguncing cukup lama. Kopi yang dibuat mereka sedang ditunggu, tapi karena saking asyiknya ngobrolin tentang Sinta, mereka pelan-pelan membuat kopi. Parto menyeru dari depan sehingga mereka tergesa-gesa. 

"Ayo cepet-cepet, Sus. Nanti Parto ngamuk," kata Sapar. 

"Iya. Dia mabok kalau telat ngopi," jelas Susi. 

Sinta menampakkan kebingungannya di hadapan teman-temannya. Ia merasa tak nyaman. Ia jalan ke depan gerbang rumah Sapar. "Aku mau cari angin dulu, di sini gerah," tukasnya berlalu. Sambil jalan tangannya memetik bunga yang ditanam di pot. Lalu ia menciumi bunga itu. 

"Lihat Sinta, sepertinya dia resah," seru Parto yang masih memegang not-not gitarnya. 

Sapar yang sedang membawa kopi pun melihat Sinta keluar gerbang, ia langsung menaruh kopinya, dan ia menyeru. "Ta, mau ke mana?" tanyanya sambil tangannya memegang pinggul. 

"Udah biarin aja," kata Parto. 

"Dia cuma cari angin, katanya," samber Parmin. 

"Ohhhh.. " Betapa bingungnya Sapar. Ia tidak bisa bayangkan sebelumnya bahwa Sinta bakal seperti itu. Yang ia tahu Sinta adalah wanita kuat, yang kerap memberi motivasi kepadanya. Bahkan sedang berkumpul pun biasanya Sinta lah yang paling keren bicaranya dan top. Berbeda dengan sekarang, Sinta lebih banyak menyendiri. Dan lebih sering meminta pulang duluan. 

     Susi datang membawa toples yang berisi makanan ringan. Ia heran, kok tidak ada sahabatnya. "Sinta ke mana, To?" tanyanya sedikit resah. Lalu Sapar menerangkan bahwa sahabatnya sedang mencari angin di luar. Dan ia memastikan Sinta kembali. 

"Kalian bully, ya?" Susi menuduh. 

"Nggak," sahut mereka serentak. 

Tidak lama kemudian Sinta kembali menghampiri temannya. Tapi, ia malah berpuisi. Puisinya sederhana, namun bikin temannnya ketawa. Sejak itu, Sinta mulai curhat tentang perasaannya. Ia berharap ada saran terbaik dari salah satu temannya---yang bisa membuatnya semangat. 

Tak ada satu pun yang menyuruhnya untuk terus mengejar cintanya. Ia tak menerima saran dari temannya, karena  perasaannya belum bisa merelakan Sugih. Ia justru berharap bisa bersama lagi dengan Sugih. Menurutnya, cuma Sugih---lelaki yang patut jadi pacarnya. Lebih lagi, ia mengharapkan sosok Sugih menjadi pendamping hidupnya. 

#Bass #Elang 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun