Mohon tunggu...
azizah fais syifaunnida
azizah fais syifaunnida Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

mahasiswa UIN RMS Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum Keluarga

8 Maret 2023   10:32 Diperbarui: 8 Maret 2023   10:43 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

BOOK REVIEW

 

Judul       : Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga

Penulis   : Djaja S.Meliala, S.H., M.H.

Penerbit : Penerbit Nuansa Aulia

Terbit      : 2019

Cetakan  : Oktober 2019

 

BAB I PENDAHULUAN

Menurut isinya, hukum Menurut isinya, hukum dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu hukum publik dan hukum privat. Tujuan diberlakukannya hukum adalah untuk membatasi perilaku masyarakat dan juga untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat.

Hukum publik adalah seluruh peraturan yang menjadi dasar negara untuk juga mengatur bagaimana negara menjalankan tugasnya, sehingga merupakan perlindungan kepentingan negara. Oleh karena itu, untuk memperhatikan kepentingan umum, pelaksanaan peraturan hukum publik dilakukan oleh penguasa.

Ciri-ciri hukum publik antara lain:

-- Ruang lingkupnya adalah kepentingan negara atau masyarakat dengan individu

- Penguasa negara memiliki posisi yang lebih tinggi daripada individu.

-- Hukum publik ditegakkan demi tujuan bersama dan kepentingan masyarakat luas.

-- Ada banyak hubungan antar negara, komunitas, individu dan elemen politik di dalamnya.

Hukum privat mengatur hubungan-hubungan dalam masyarakat yang menyangkut:

-- Keluarga dan kekayaan warga negara/individu.

-- Hubungan antar warga/individu.

- Hubungan antara perseorangan dengan aparatur negara, sepanjang alat negara dalam lalu lintas hukum adalah perseorangan.

Istilah hukum perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof Djojodiguno menjadi anak burgerlijkrecht pada masa pendudukan Jepang. Selain istilah itu, sinonim hukum perdata adalah civilrecht dan privaterecht.

Para ahli memberikan batasan-batasan tentang hukum perdata, sebagai berikut. Van Dunne mendefinisikan hukum perdata, khususnya pada abad ke-19 sebagai:

"peraturan yang mengatur hal-hal yang sangat hakiki bagi kebebasan individu, seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan hukum publik memberikan jaminan minimum bagi kehidupan privat.

Pendapat lain, yaitu Vollmar, ia mendefinisikan hukum perdata sebagai:

"Aturan atau norma yang memberikan batasan dan karena itu memberikan perlindungan terhadap kepentingan individu dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu, terutama yang menyangkut hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas"

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengertian hukum perdata yang dijelaskan oleh para ahli di atas, kajian utamanya adalah tentang pengaturan perlindungan antara satu orang dengan orang lain, namun dalam ilmu hukum subjek hukum tidak hanya orang tetapi badan hukum juga meliputi subjek hukum, sehingga untuk pengertian yang lebih sempurna yaitu segala asas hukum (baik tertulis maupun tidak tertulis) yang mengatur hubungan antara subjek hukum yang satu dengan yang lain dalam hubungan keluarga maupun dalam hubungan sosial.

Secara sederhana, hukum perdata dapat diartikan sebagai kebalikan dari hukum pidana. Jika hukum pidana mengatur hubungan antara masyarakat dan negara. Bisa juga diartikan sebagai hukum publik.

Tapi hukum perdata tidak seperti itu. Hukum perdata adalah peraturan yang mengatur hubungan antara subjek hukum dalam masyarakat. Jadi hukum ini mengatur individu dalam ranah hukum privat.

Hukum perdata tidak hanya ada di Indonesia. Undang-undang ini tidak asli dibuat di Indonesia. Sejarah hukum perdata di Indonesia masih memiliki benang merah dengan sejarah hukum perdata di benua Eropa. Terutama Eropa Kontinental yang menerapkan Hukum Perdata Romawi menjadi hukum asli Eropa Kontinental.

 Berdasarkan catatan Napoleon pada tahun 1804, hukum perdata disebut Code Civil de Francais. Selain itu, masyarakat Eropa juga mengenal hukum perdata dengan sebutan Code Napoleon. Orang Eropa menerapkan hukum perdata dari tahun 1809-1811 ketika Prancis menjajah Belanda. Maka tidak heran jika Raja Lodewijk Napoleon menerapkan Wetboek Napoleon Ingeriht Voor het Koninkrijk Holland. Isinya hampir sama dengan Code Civil de Francais dan Code Napoleon yang diberlakukan sebagai sumber hukum perdata Belanda.

BAB II SEJARAH BERLAKUNYA KUHPERDATA DI INDONESIA

Hukum perdata adalah aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam hubungan sosial dan hubungan keluarga. Menurut seorang ahli hukum internasional yaitu H.F.A Vollmar mengatakan bahwa hukum perdata adalah aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan batasan-batasan dan oleh karena itu memberikan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan seseorang dengan kepentingan orang lain. dalam masyarakat tertentu, terutama mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas. Disamping itu sejarah perkembangan hukum perdata yang berkembang di Indonesia menyebutkan bahwa hukum perdata tertulis yang berlaku di Indonesia merupakan produk hukum perdata Belanda yang menerapkan asas konformitas yaitu hukum yang berlaku di daerah jajahan (Belanda). sama dengan ketentuan yang berlaku di negara jajahan.

Secara makrosubstansial perubahan yang terjadi dalam hukum perdata Indonesia: Pertama, pada mulanya hukum perdata Indonesia adalah ketentuan pemerintah Hindia Belanda yang berlaku di Indonesia (Algemene Bepalingen van Wetgeving/AB). Sesuai dengan stbll.No.23 tanggal 30 April 1847 yang terdiri dari 36 pasal. Kedua, dengan konkordansi tahun 1848 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) diundangkan oleh pemerintah Belanda. Selain BW, berlaku juga KUHP (WvK) yang diatur dalam stbl.1847 No.23.

Dilihat dari sejarahnya, hukum perdata yang berlaku di Indonesia terbagi menjadi dua periode, yaitu periode sebelum Indonesia merdeka dan periode setelah Indonesia merdeka.

Pertama, sebelum Indonesia merdeka seperti negara penjajah, hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum penjajah. Sama halnya dengan hukum perdata. Hukum perdata yang diterapkan Belanda untuk Indonesia mengalami sejarah adopsi dan implementasi yang sangat panjang

Pada mulanya hukum perdata Belanda disusun oleh suatu panitia yang dibentuk pada tahun 1814 diketuai oleh Mr. J.M Kempers (1776 -- 1824). nama Ontwerp Kempers. Ontwerp Kempers ditentang keras oleh P.Th.Nicolai, anggota parlemen Belgia dan sekaligus Presiden Pengadilan Belgia. Pada tahun 1824 Kempers meninggal dunia, kemudian penyusunan kodifikasi kitab undang-undang hukum diserahkan kepada Nicolai. Akibat perubahan tersebut, dasar pembentukan hukum perdata Belanda lebih banyak berorientasi pada hukum perdata Prancis. Kode sipil Prancis sendiri menerima hukum Romawi, Corpus Civilis dari Justinian. Dengan demikian hukum perdata Belanda merupakan gabungan dari hukum adat/hukum Belanda lama dan Hukum Perdata Perancis. Pada tahun 1838, ditetapkan kodifikasi hukum perdata Belanda dengan stbl. 838.

Pada tahun 1848, kodifikasi hukum perdata Belanda diberlakukan di Indonesia dengan stbl.1848. Dan tujuh tahun kemudian, hukum perdata di Indonesia kembali dipertegas dengan stbl.1919.

Kedua, setelah Indonesia merdeka, hukum perdata yang berlaku di Indonesia didasarkan pada pasal II aturan peralihan UUD 1945, yang pada dasarnya menentukan bahwa semua peraturan dinyatakan tetap berlaku sebelum dibuat peraturan baru menurut UUD, termasuk UUD 1945. hukum perdata Belanda yang berlaku di Indonesia. . Hal ini untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum (rechtvacuum) di bidang hukum perdata. Akan tetapi, secara keseluruhan hukum perdata Indonesia dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami beberapa proses pertumbuhan atau perubahan yang mana perubahan tersebut telah disesuaikan dengan kondisi bangsa Indonesia itu sendiri.

BAB III TENTANG ORANG

Kesanggupan bertindak dan wewenang bertindak keduanya berkaitan dengan peristiwa melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum merupakan kejadian sehari-hari, dalam kehidupan bermasyarakat untuk menjalin hubungan dengan anggota masyarakat lainnya. Karena perbuatan hukum merupakan perbuatan sehari-hari yang dilakukan oleh manusia, maka perlu diatur kecakapan dan wewenangnya untuk bertindak. Pasal 1329 BW mengatakan bahwa pada prinsipnya setiap orang dapat mengadakan perjanjian, kecuali undang-undang menentukan lain. Karena membuat perjanjian merupakan perbuatan yang banyak dilakukan oleh anggota masyarakat, maka berdasarkan ketentuan ini pada dasarnya setiap orang dapat bertindak, kecuali undang-undang menentukan lain.

Orang yang dimaksud dalam pengertian kompetensi bertindak sebagai subjek hukum, yaitu segala sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban sehingga mempunyai kewenangan untuk bertindak. Keabsahan manusia sebagai pembawa hak (subjek hukum) dimulai sejak ia dilahirkan dan berakhir ketika ia meninggal. Bayi yang masih dalam kandungan ibu dapat dianggap lahir jika kepentingan anak menuntutnya, misalnya untuk menjadi ahli waris. Jika anak itu meninggal pada waktu lahir, ia dianggap tidak pernah ada berdasarkan Pasal 2 KUH Perdata. Namun menurut undang-undang, setiap orang dianggap mampu bertindak sebagai subjek hukum, kecuali dinyatakan oleh undang-undang sebagai tidak cakap berdasarkan Pasal 1329 KUH Perdata.

Orang yang mampu adalah orang yang telah dewasa (21 tahun) dan berakal sehat, sedangkan orang yang tidak mampu adalah orang yang belum dewasa dan orang yang ditempatkan di bawah perwalian, yang terjadi karena gangguan jiwa, mabuk-mabukan atau pemborosan. Kesanggupan seseorang untuk bertindak sesuai dengan hukum atau untuk melakukan perbuatan hukum ditentukan oleh dapat atau tidaknya orang itu dikatakan dewasa menurut hukum. Kedewasaan seseorang merupakan tolok ukur dalam menentukan apakah seseorang dikatakan mampu atau tidak dalam bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Kedewasaan seseorang adalah suatu keadaan dimana seseorang telah atau belum dewasa menurut hukum untuk dapat bertindak menurut hukum yang ditentukan oleh batas umur. Sehingga kedewasaan hukum merupakan syarat agar seseorang dapat dan dapat dinyatakan cakap bertindak dalam melakukan segala perbuatan hukum.

Hukum perdata di Indonesia menerapkan berbagai tolok ukur usia dewasa bagi setiap kelompok penduduk. Undang-undang menetapkan bahwa tidak setiap orang sebagai pendukung hukum (recht) adalah cakap (bekwaan) yang merupakan kriteria umum yang berkaitan dengan keadaan seseorang, sedangkan wewenang (bevoegd) adalah kriteria khusus yang berkaitan dengan perbuatan atau perbuatan tertentu. . Seseorang yang mampu belum tentu berwibawa tetapi seseorang yang berwibawa sudah pasti mampu.

Undang-undang menetapkan bahwa untuk bertindak dalam hukum, seseorang harus cakap dan berwenang. Seseorang dapat dikatakan cakap dan berwenang, harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang, yaitu telah dewasa, berakal sehat (tidak dalam perwalian) dan tidak kawin karena perempuan.

Kesanggupan bertindak merupakan kewenangan umum untuk melakukan perbuatan hukum. Setelah manusia dinyatakan memiliki kekuatan hukum, manusia diberi kewenangan untuk melaksanakan hak dan kewajibannya, oleh karena itu diberi kemampuan untuk bertindak. Terkait dengan hak terdapat kewenangan untuk menerima, sedangkan terkait dengan kewajiban terdapat kewenangan untuk bertindak (disebut juga kewenangan untuk bertindak). Kewenangan hukum dimiliki oleh semua manusia sebagai subjek hukum, sedangkan kewenangan untuk bertindak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti umur, status (menikah atau tidak), status sebagai ahli waris, dan lain-lain.

Menurut Pasal 330 KUH Perdata seseorang telah dewasa apabila telah berumur 21 tahun, dan telah kawin sebelum mencapai umur tersebut. Kecakapan berbuat dam kewenangan bertindak menurut hukum ini adalah di  benarkan dalam ketentuan Undang-undang itu sendiri, yaitu

1.Seseorang  anak yang belum dewasa (belum mencapai umur 21 tahun) dapat melakukan seluruh perbuatan hukum apabila telah berusia 20 tahun dan telah mendapat surat pernyataan dewasa (venia aetatis) yang di  berikan oleh presiden, setelah mendengar nasihat Mahkama Agung (Pasal 419 dan 420 KUH Perdata)

2. Anak yang berumur 18 tahun dapat melakukan perbuatan hukum tertentu setelah mendapat surat pernyataan dewasa dari pengadilan (Pasal 426 KUH Perdata)

3. Seseorang  yang berumur 18 tahun dapat membuat surat wasiat (Pasal 897 KUH Perdata)

4. Orang  laki-laki yang telah mencapai umur 15 tahun dan perempuan yang  telah berumur 15 tahun dalam melakukan perkawinan (Pasal 29 KUH Perdata)

5. Pengakuan anak dapat di lakukan  oleh orang  yang  telah berumur 19 tahun (Pasal 282 KUH Perdata)

6. Anak yang telah berumur 15 tahun dapat menjadi saksi (Pasal  1912) KUH Perdata)

7. Seseorang yang telah ditaruh dibawah pengampuan karena boros dapat:

  • *Membuat surat wasiat (Pasal 446 KUH Perdata)
  • *Melakukan perkawinan (Pasal 452 KUH Perdata)

8. Istri cakap bertindak dalam hukum dalam hal :

*Dituntut dalam perkara pidana, menuntut perceraian perkawinan, pemisahan meja dan ranjang serta menuntut pemisahan harta kekayaan (Pasal 111 KUH Perdata).

*Membuat surat wasiat (Pasal 118 KUH Perdata)

  • Seseorang yang telah cakap menurut hukum mempunyai wewenang bertindak dalam hukum. Tetapi di samping itu Undang-undang menentukan beberapa perbuatan yang tidak berwenang di lakukan oleh orang cakap tertentu, diantaranya :
  • 1. Tidak boleh mengadakan jual beli antara suami dan istri (Pasal 1467 KUH Perdata) disini suami adalah cakap, tapi tidak berwenang menjual apa saja kepada istrinya.
  • 2. Larangan kepada pejabat umum (hakim, jaksa, panitera, advocat, juru sita, notaris) untuk menjadi pemilik karena penyerahan hak-hak, tuntutan-tuntutan yang sedang dalam perkara (Pasal 1468 KUH Perdata).
  • 3. Apabila hakim terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda dengan ketua, seorang hakim anggota, jaksa, penasihat hukum, panitera, dalam suatu perkara tertentu ia wajib mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara itu, begitu pula ketua, hakim anggota, jaksa panitera, terikat hubungan keluarga dengan yang diadili ia wajib mengundurkan diri. (Pasal 28 UU. No.14/1970).

Subjek hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat menjadi pendukung (dapat memiliki) hak dan kewajiban. Dalam kamus Ilmu Hukum disebut juga "orang" atau "pendukung hak dan kewajiban." Subjek hukum memiliki kewenangan bertindak menurut tata cara yang ditentukan atau dibenarkan hukum.

1. Manusia

Manusia (natuurlijk persoon) menurut hukum, adalah setiap orang yang mempunyai kedudukan yang sama selaku pendukung hak dan kewajiban. Pada prinsipnya, orang sebagai subjek hukum dimulai sejak ia lahir dan berakhir setelah meninggal dunia. Terhadap hal tersebut, terdapat pengecualian, yaitu menurut Pasal 2 KUH Perdata, bahwa bayi yang masih dalam kandungan ibunya dianggap telah lahir dan menjadi subjek hukum, apabila kepentingannya menghendaki (dalam hal pembagian warisan).

Apabila bayi tersebut lahir dalam keadaan meninggal dunia, menurut hukum ia dianggap tidak pernah ada, sehingga ia bukan subjek hukum (tidak menerima pembagian warisan). Akan tetapi ada golongan manusia yang dianggap tidak cakap bertindak atau melakukan perbuatan hukum, disebut personae miserabile yang mengakibatkan mereka tidak dapat melaksanakan sendiri hak-hak dan kewajibannya, harus diwakili oleh orang tertentu yang ditunjuk, yaitu oleh wali atau pengampu (kuratornya).

a. Anak yang masih di bawah umur atau belum dewasa (belum berusia 21 tahun), dan belum kawin/nikah.

Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, terdapat berbagai ketentuan usia minimal seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum atau memperoleh hak, yaitu:

1. Pasal 330 KUH Perdata menentukan bahwa untuk melakukan perbuatan hukum di bidang harta benda, usia 21 tahun atau telah menikah (kawin) atau pernah kawin/nikah.

2. Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan, usia 19 tahun bagi pria dan usia 16 tahun bagi wanita. Pada Pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa yang belum berusia 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua atau walinya untuk melakukan perkawinan.

3. Pasal 45 KUH Pidana, belum dapat dipidana seseorang yang belum berusia 16 tahun. Hakim berdasarkan Pasal 46 KUH Pidana dapat menjatuhkan hukuman dengan tiga kemungkinan, yaitu mengembalikan kepada orang tua si anak, memasukkan dalam pemeliharaan anak negara, atau menjatuhkan pidana tetapi dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal pidana yang dilanggar dan dipenjara pada penjara khusus anak-anak.

4. Pasal 28 UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), hak seseorang untuk memilih adalah usia 17 tahun atau sudah/pernah kawin pada waktu pendaftaran pemilih.

5. Pasal 2 ayat (1) butir d PP No. 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi menyebutkan bahwa usia untuk memperoleh Surat Izin Mengemudi (SIM) adalah

SIM C dan SIM D pada usia 16 tahun;

SIM A pada usia 17 tahun;

SIM B1 dan SIM B2 pada usia 20 tahun

6. Pasal 33 Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1977 tentang Kependudukan, usia 17 tahun atau sudah/pernah nikah/kawin, wajib memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).

BAB IV HUKUM KELUARGA

Hukum memiliki peran yang penting dalam mengatur ketertiban sebuah negara. Namun keberadaan hukum itu sendiri tidak bisa sepenuhnya lepas dari masalah - masalah yang justru malah mengaburkan fungsi pokok dari hukum itu sendiri. Begitu juga di Indonesia. Hingga saat ini masih banyak sekali masalah hukum di Indonesia yang belum terselesaikan. Masalah hukum di Indonesia tidak hanya berhubungan dengan aparat penegak hukum saja namun juga terkadang berkaitan dengan produk hukum itu sendiri.

Suatu negara yang dalam berkehidupan bernegara, berpemerintahan, dan bermasyarakat, selalu mengacu kepada hukum yang berlaku sebagai pedomannya. Oleh karena itu hukum bertujuan untuk mengatur hubungan antara negara atau masyarakat dengan warganya dan hubungan antar manusia, agar supaya kehidupan di dalam masyarakat berjalan dengan lancar dan tertib dan melindungi kepentingan manusia atau masyarakat, karena dimana-mana bahaya selalu mengancamnya sejak dulu sampai sekarang, baik secara makro maupun secara mikro tanpa membedakan antara manusia yang satu dengan manusia lain.

Hukum pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan ketertiban, kepastian hukum serta rasa keadilan dalam masyarakat sehingga masyarakat merasa mendapatkan pengayoman dan perlindungan akan hak-haknya tanpa memandang suatu golongan tertentu.

Hukum Keluarga adalah bagian dari hukum perorangan, adapun hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir).

1. Van Apeldoorn

"Hukum keluarga adalah peraturan hubungan hukum yang timbul dari hubungan keluarga".

2. C.S.T Kansil

"Hukum keluarga memuat rangkaian peraturan hukum yang timbul dari pergaulan hidup kekeluargaan".

3. R. Subekti

"Hukum keluarga adalah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan".

4. Rachmadi Usman

"Hukum kekeluargaan adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur mengenai hubungan antar pribadi alamiah yang berlainan jenis dalam suatu ikatan kekeluargaan".

5. Djaja S. Meliala

"Hukum keluarga adalah keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum antara keluarga sedarah dan keluarga kerena terjadinya perkawinan".

6. Sudarsono

"Hukum kekeluargaan adalah keseluruhan ketentuan yang menyangkut hubungan hukum mengenai kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan".

Jika dikaji pendapat para ahli di atas terkait pengertian hukum keluarga, ada dua hal pokok yang menjadi aspek penting dalam pendapat mereka, yaitu hubungan sedarah dan perkawinan.

Adapun pertalian keluarga karena turunan disebut keluarga sedarah,artinya sanak saudara yang senenek moyang. Keluarga sedarah ini ada yang ditarik menurut garis bapak yang disebut matrinial dan ada yang ditarik menurut garis ibu dan bapak yang disebut parental atau bilateral.

Pertalian keluarga karena perkawinan disebut keluarga semenda, artinya sanak saudara yang terjadi karena adanya ikatan perkawinan, yang terdiri dari sanak saudara suami dan sanak saudara istri. Sedangkan pertalian keluarga karena adat disebut keluarga adat, artinya yang terjadi karena adanya ikatan adat, misalnya saudara angkat.

Hukum keluarga mengatur hubungan hukum yang berasal dari ikatan keluarga dan menjelaskan aturan untuk perkawinan atau perceraian, perwalian, adopsi dan warisan. Penerapan hukum keluarga di Indonesia sesuai dengan beberapa aturan. Mereka yang beragama Islam tunduk pada Hukum Islam, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden No. 1 tahun 1991. Untuk pemeluk agama lain, hukum perdata digunakan untuk sebagian besar namun juga hukum adat.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mendefinisikan perkawinan sebagai berikut: Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jika semua ketentuan undang-undang dan peraturan tentang perkawinan di Indonesia dipenuhi, barulah perkawinan dinyatakan sah dan memiliki kepastian hukum.

Perceraian:

Tidak semua perkawinan berakhir dengan bahagia. Alasan perceraian tercantum dalam Pasal 39 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974:

- Zinah; pecandu alkohol, judi, narkoba dan masalah lain yang terbukti sulit disembuhkan.

- Satu pihak meninggalkan rumah selama dua tahun, tanpa izin dari pasangannya dan tanpa alasan yang sah.

- Apabila dijatuhkan hukuman penjara lima tahun atau lebih setelah pernikahan.

- Jika terjai kekejaman atau pelecehan yang membahayakan.

- Kecacatan fisik atau penyakit di mana mereka tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai suami/istri.

- Ada perselisihan antara suami dan istri dan tidak ada harapan untuk hidup harmonis lagi di rumah tangga.

Hukum perorangan merupakan keseluruhan kaidah hukum yang mengatur tentang subjek hukum dan wewenangnya, kecakapannya, domisili dan catatan sipil. Wewenang, yakni hak dan kekuasaan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum. Pada dasarnya semua orang mempunyai hak, namun tidak semua orang mempunyai kewenangan hukum (hak dan kewajiban).

Kiranya tidak berlebihan kalau hukum perorangan ini dianggap sebagai bidang dan sistematika hukum perdata yang paling penting, karena ketentuan hukum perorangan akan menjadi dasar bagi ketentuan bidang dan sistematika hukum perdata lainnya.

Adapun hukum kekeluargaan adalah prinsip-prinsip hukum yang diterapkan berdasarkan ketaatan beragama berkaitan dengan hal-hal yang secara umum diyakini memiliki aspek religius menyangkut peraturan keluarga, perkawinan, perceraian, hubungan dalam rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin, perwalian dan lain-lain.

Hukum perdata Islam di Indonesia adalah bentuk penyerapan hukum Islam dalam norma kehidupan berbangsa di Indonesia. Hukum perdata Islam di Indonesia merupakan perpaduan dari kajian ilmu hukum perdata dan hukum Islam yang meliputi aspek hukum keluarga dan hukum bisnis Islam, merupakan sebuah komitmen berislam dan bernegara sehingga menjadikan kesatuan dalam tatanan kehidupan berbangsa, beragama dan bernegara. Hukum perdata Islam sudah melalui proses sejarah panjang sehingga saat ini sebagian besar telah diserap dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, yaitu terkait hukum perkawinan yang meliputi perceraian, perjanjian perkawinan, pemeliharaan anak, pembatalan perkawinan, hukum hibah, wasiat, zakat dan wakaf, dan hukum-hukum yang meliputi aspek fiqh muamalah secara garis besar yang dikenal dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.

Kesimpulan

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengertian hukum perdata yang dijelaskan oleh para ahli di atas, kajian utamanya adalah tentang pengaturan perlindungan antara satu orang dengan orang lain, namun dalam ilmu hukum subjek hukum tidak hanya orang tetapi badan hukum juga meliputi subjek hukum, sehingga untuk pengertian yang lebih sempurna yaitu segala asas hukum (baik tertulis maupun tidak tertulis) yang mengatur hubungan antara subjek hukum yang satu dengan yang lain dalam hubungan keluarga maupun dalam hubungan sosial.

Secara sederhana, hukum perdata dapat diartikan sebagai kebalikan dari hukum pidana. Jika hukum pidana mengatur hubungan antara masyarakat dan negara. Bisa juga diartikan sebagai hukum publik.

Tapi hukum perdata tidak seperti itu. Hukum perdata adalah peraturan yang mengatur hubungan antara subjek hukum dalam masyarakat. Jadi hukum ini mengatur individu dalam ranah hukum privat.

Hukum perdata tidak hanya ada di Indonesia. Undang-undang ini tidak asli dibuat di Indonesia. Sejarah hukum perdata di Indonesia masih memiliki benang merah dengan sejarah hukum perdata di benua Eropa. Terutama Eropa Kontinental yang menerapkan Hukum Perdata Romawi menjadi hukum asli Eropa Kontinental.

 Berdasarkan catatan Napoleon pada tahun 1804, hukum perdata disebut Code Civil de Francais. Selain itu, masyarakat Eropa juga mengenal hukum perdata dengan sebutan Code Napoleon. Orang Eropa menerapkan hukum perdata dari tahun 1809-1811 ketika Prancis menjajah Belanda. Maka tidak heran jika Raja Lodewijk Napoleon menerapkan Wetboek Napoleon Ingeriht Voor het Koninkrijk Holland. Isinya hampir sama dengan Code Civil de Francais dan Code Napoleon yang diberlakukan sebagai sumber hukum perdata Belanda.

Istilah hukum perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof Djojodiguno menjadi anak burgerlijkrecht pada masa pendudukan Jepang. Selain istilah itu, sinonim hukum perdata adalah civilrecht dan privaterecht.

Para ahli memberikan batasan-batasan tentang hukum perdata, sebagai berikut. Van Dunne mendefinisikan hukum perdata, khususnya pada abad ke-19 sebagai:

"peraturan yang mengatur hal-hal yang sangat hakiki bagi kebebasan individu, seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan hukum publik memberikan jaminan minimum bagi kehidupan privat.

Pendapat lain, yaitu Vollmar, ia mendefinisikan hukum perdata sebagai:

"Aturan atau norma yang memberikan batasan dan karena itu memberikan perlindungan terhadap kepentingan individu dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu, terutama yang menyangkut hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun