Rumah ini sudah lama menjadi milik keluarganya, tetapi belum pernah membuatnya merasa terganggu seperti sekarang. Engsel-engselnya akan berderit karena angin, jika dia tidak melumasinya dengan minyak. Baunya apak.
Saat musim panas, kecuali dia ingin cepat bangkrut karena menyalakan pendingin ruangan tua yang boros listrik, dia akan basah semalaman oleh cucuran keringat. Tetapi pada akhirnya, bukan kamar berderit, pengap, atau udara panas dan lembap yang mengganggunya.
Ada hal lain.
Di dalam ruangan itu dia merasakan emosi yang tidak bisa dia jelaskan. Seolah-olah melintas di antara kamar-kamar menyebabkan perubahan suasana hatinya. Kadang-kadang dia tidak bisa menahan diri untuk tidak merasakan ledakan kemarahan besar yang datang. Itu akan menbuatnya gagal berkonsentrasi, tanpa peristiwa atau orang lain yang membantunya atau mengalihkan racunnya. Namun juga dengan meninggalkan satu ruangan ke ruangan lain, dia hampir merasakan kebahagiaan yang menyejukkan. Hampir-hampir-bahagia, karena dia mengingat begitu kuat kemarahan yang melandanya beberapa saat sebelumnya. Hampir-bahagia karena dia tahu kemarahan itu masih ada di dekatnya, siap untuk melekat kembali padanya. Dan perasaan ini tidak menetap, tetapi melayang, terkadang memasuki lorong, lemari atau ruang dapur.
Dulu tidak seperti ini.
Dulu masih bisa dihindari.
Sebagai anak laki-laki, ketika dia pertama kali merasakan adanya kehadiran di rumah ini, dia memutuskan untuk tidak menyebutkannya kepada keluarganya. Dia bisa menahannya tanpa harus meminta pertolongan pada orang lain. Dan setelah kecelakaan fatal yang menimpa ayahnya, mereka semua tinggal di rumah ini untuk tumbuh dewasa lalu pergi. Semua, kecuali dia.
"Kamu tidak harus tinggal di sana, kan?" ibunya menelepon untuk menanyakannya setelah pindah ke kondominiumnya sendiri.
"Aku nyaman di sini," katanya, tapi sebenarnya tidak.
"Sungguh?"
Dia tidak suka membahas kebenaran dari rumah yang rumit ini. Dan terlepas dari bagaimana hal itu memengaruhinya, dia tidak tahu apakah dia bisa hidup di luarnya. Itu memberinya sesuatu untuk dilawan dan tanpanya, dia akan menjadi apa? Ketidaktahuan membuatnya gelisah.
"Kamu bisa menjualnya," kata ibunya.
"Di mana aku akan tinggal kalau begitu?"
"Dunia bukan hanya rumah itu."
"Nanti kita sambung lagi, Bu. Aku harus mencuci baju."
Dia menutup telepon.
Dia dan ibunya tidak pernah akrab, dan dia yakin orang lain juga merasakan 'kehadiran' itu. Dia tahu itu. Dia ingat di masa remajanya, ketika dia akan memasuki sebuah ruangan, adik perempuannya yang berdiri di ruang keluarga menghentikannya. "Jangan sekarang," katanya.
Dia melihat ke dalam ruangan. Garis tepi perabotan mengabur dan melambai. Panas terpancar keluar dari dalam meskipun tidak ada piranti apapun di dalam ruangan itu yang menghasilkan bahang. Namun, sangat terasa ada sesuatu yang sedang murka di sana.
Jika ini masih kurang, bukti lain adalah kucing mereka melihat dari pintu lain ke ruangan itu, artinya kucing itu hanya perlu menyeberangi ruangan untuk datang kepada mereka. Sebaliknya, hewan itu jalan memutar membentuk huruf U melalui ruang tamu untuk mencapai mereka karena ia menghindari melintasi ruangan itu, sebuah ruangan yang telah dia lewati ratusan kali. Kucing itu merintih.
Kemudian 'kehadiran' pergi perlahan dan enggan.
Ketidakstabilan ruang-ruang tertentu di rumah ini dipahami oleh keluarga, tetapi membingungkan orang luar. Mengapa, mereka bertanya, tidak bisakah mereka minum kopi di tempat yang sama seperti terakhir kali mereka datang berkunjung? Dan jika anggota keluarga ada di sana ketika seseorang bertanya, dia akan menarik perhatian mereka, lalu mengarang sesuatu.
Tapi setelah keluarganya pindah, dia berhenti menerima tamu.
"Rumah itu terlalu banyak menghabiskan biaya," kata adik perempuannya Moira di telepon sebulan setelah mereka memakamkan ibu mereka.
"Ada banyak cara untuk mempertahankannya," katanya, sudah merasakan ke mana pembicaraan adiknya akan mengarah.
"Kalau kita menjual, Abang bisa tinggal di rumah yang lebih baik."
Dia tidak menjawab, jadi Moira berkata lagi.
"Rumah itu bukan punya Abang sendirian."
"Tidak, tapi untuk menjualnya perlu setidaknya dua suara dari tiga," katanya, mengetahui bahwa adiknya, Herman, tidak ingin memaksa dia menjual rumah, lebih memilih kedua saudara kandungnya yang lain menyelesaikannya.
"Keharusanku ikut urunan membayar PBB rumah terkutuk itu membunuhku," kata Moira. "Abang tidak boleh egois begitu."
"Dia adalah orang tuamu juga," katanya, yang dimaksud ibu mereka, "tetapi dia menuliskannya dalam surat wasiat. Dua suara untuk dijual. Titik."
"Kalau begitu, Abang dan Herman beli saja bagianku."
"Aku harus mencuci piring."
Dia menutup telepon. Dia juga hampir tidak bisa membayar sebagian pajak bumi bangunan yang menjadi kewajiban. Dari ketiga bersaudara itu, hanya Herman yang memiliki uang.
Duduk di sofa yang dibeli orang tuanya sebelum dia lahir, dia ingat tamu yang pernah bertanya bertahun-tahun lalu. Pertanyaan yang menimbulkan ketegangan di wajah mereka.
Mengapa mereka semua harus berdesakan di ruangan terkecil di rumah yang besar ini?
Tidak ada seorang pun di keluarga yang bisa menjelaskan tanpa terdengar konyol, jadi mereka terlihat aneh setiap kali 'kehadiran' memaksa mereka masuk ke dalam situasi ini.
"Apa kabar, Bang?" Herman menelepon malam berikutnya.
"Baik." Dia khawatir adiknya menelepon untuk mengatakan bahwa dia terpaksa mengikuti permintaan Moira untuk menjual rumah itu.
"Abang terdengar tegang."
"Dia meneleponmu, kan?"
"Yah...."
"Jawab. Apakah kamu berada dipihaknya?"
"Tidak, tidak, tidak. Aku harap kalian berdua bisa memutuskannya tanpa mengikutsertakan aku. Hanya saja, itu... kita tahu bagaimana tempat itu."
Kemudian Herman terdiam. Dia mungkin jago dalam berbisnis, tetapi mungkin dia berpikir dengan menyebutkan apa yang hadir di sini akan mendorongnya untuk berkunjung ke tempat Herman di ibukota di apartemen penthouse-nya.
"Aku harus tinggal, Man. Aku tidak bisa menghentikanmu untuk memilih tempatmu berada, tapi aku harus tinggal."
Dia menutup telepon setelah Herman mengatakannya untuk tidak mengkhawatirkan saudara perempuan mereka.
***
Tentu saja, langkah Moira selanjutnya mengirim suaminya yang aneh. Tora berdebat dengannya. Memaksanya untuk menjual rumah itu. Konyol.
Satu-satunya cara dia bisa melakukannya tanpa mengatakan sesuatu yang dia sesali adalah dengan fokus pada penampilan aneh Tora. Tak punya leher, berhidung besar. Buah kuldinya sebesar gondok atau pial ayam. Dia menyerupai burung unta yang kepunahannya sudah dekat. Diajak bertengkar oleh makhluk seperti itu merusak momennya saja.
"Moira punya nomor teleponku kalau dia ingin bicara," katanya kepada Tora.
"Dia mau rumah ini dijual. Kamu harus mendengarkan permintaannya."
"Jadi apa urusanmu ke sini?" dia bertanya kepada adik iparnya.
"Tolong dengar. Ini hanya masalah uang. Boleh aku masuk?"
"Aku sedang sibuk."
Sungguh, kemunculan Tora bukanlah kejutan. Dari dulu Moira selalu berkencan dengan cowok bajingan untuk melecehkan dirinya atas nama adik perempuannya itu. Di masa remajanya, Moira menyukai cowok brengsek berotot dengan kendaraan bising yang merundung dia dan Herman atas permintaan Moira. Biasanya, setelah mereka mengganggunya karena tak punya selera humor atau ketahuan bohong. Cowok-cowoknya juga sangat bodoh. Dan setelah salah satu cowok macho itu mematahkan rahangnya, dia hanya berkencan dengan Boneka Beruang Besar, cowok canggung yang secara fisik tidak berbahaya dengan selera musik yang tidak jelas, yang dia dan Herman tertawakan. Tora adalah cowok payah.
"Bisakah kita bicara?" Tora meletakkan tangannya di kusen pintu.
Dia tersenyum pada saudara iparnya.
"Kau belum diundang, Tora. Tanpa undangan, secara hukum kau adalah penyusup."
Tora melepaskan tangannya dari kusen dengan cepat. Moira pasti memberitahunya tentang pistol kuno berlapis perak. Apa yang dia tidak tahu adalah dia telah menjualnya untuk uang belanja.
Kakak iparnya mengenakan t-shirt ketat bertuliskan nama grup band yang tidak terkenal, padahal perutnya mulai buncit dan kantong mata. Kita semua menua.
Tora menyeka tangannya ke celana jinsnya, lalu berkata bahwa Moira berharap mereka tak harus bertengkar.
"Jadi aku hanya harus setuju dengannya dan semua orang akan hidup bahagia?"
Tora tidak menjawab.
Dia menutup pintu, menguncinya, dan pergi ke dapur untuk meminum beberapa botol bir hitam yang dia beli sore itu.
Rumah itu masih mengganggunya. Dia harus menjualnya. Beberapa malam belakangan ini, dia merasa seolah-olah berada di dalam perut ikan paus.
Suatu kali dia berbicara dengan seorang broker tentang menjualnya, dia diganggu oleh mimpi buruk. Dia bermimpi tulang rusuknya menusuk menembus kulitnya ketika dia membungkuk untuk mengikat tali sepatu. Itu mengingatkannya pada ayahnya.
Ayahnya meninggal dalam perjalanan bisnis ketika helikopter perusahaan jatuh di rawa, membunuh semua orang di dalamnya. "Dia akan menjual rumah ini ketika dia kembali," ibunya memberi tahu dia suatu ketika, saat dia meletakkan selimut di tubuh ibunya yang teler di sofa.
"Aku tidak pernah bilang begitu," bantah ibunya pada hari berikutnya ketika dia mengonfrontasinya tentang hal itu.
Mungkin ini sebabnya dia tidak pernah mencoba menjual rumah itu, atau mengapa ibunya tidak pernah memaksakan penjualan padanya.
"Rumah itu tidak membunuh ayah, tapi mesin helikopter yang rusak," kata Herman ketika mereka membicarakannya. Mereka berada di bar saat itu, sebagai dua pria dewasa menikmati bir mereka.
Di TV sedang berlangsung pertandingan sepak bola.
"Kamu tidak merasa aneh di rumah, Her?" Dia berusaha menyusun kalimat yang membuatnya tidak terdengar konyol. "Kamu tidak sering pulang, tetapi waktu kamu menginap di rumah, kamu merasakannya, kan?"
"Aku tidak ingin membahas rumah itu. Tinggallah di sana sesukamu, cat temboknya, ganti interiornya, atau apa pun. Tetapi jika kamu ingin membicarakannya, aku ogah."
Begitu jelas di benaknya. Sebuah genteng jatuh menimpa pengacara Herman yang sangat ingin tahu.
***
Tentu saja Moira belum berhenti mengganggunya.
Dia pulang lebih awal dari kantor pada Selasa sore karena migrainnya kambuh. Baru saja duduk di kursi malasnya di ruang tamu ketika dia mendengar langkah kaki di ruangan lain.
"Halo?" dia berseru.
"Ini aku." Moira. Siapa lagi?
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Dia menoleh untuk melihat ke belakang, tetapi membuat sakit kepalanya menjadi-jadi, jadi dia berdiri.
"Aku datang untuk bicara."
Adik bungsunya itu mengenakan kaus tanpa lengan, celana jins. Wajahnya yang tembem menyembul di balik rambut kusut yang dicat pirangnya.
"Biar kutebak. Tidak, sebenarnya aku tidak ingin."
"Kamu tidak boleh egois seperti ini. Rumah ini membunuhku. Tora, aku dan Rudd juga penting. Aku ingin bicara."
"Dua suara, Moira. Dua suara untuk menjualnya."
Moira terus berbicara, seolah-olah pembicaraannya yang itu-itu juga akan meyakinkannya. Tidak pernah sekali pun.
"Pajak yang harus kubayar meroket karena rumah brengsek ini."
"Kamu bilang 'brengsek'? Rumah sebagus ini? Ingat, dulu kamu mengisi lemari besar dari kayu jati dengan baju-bajumu yang kampungan itu. 'Brengsek.' Luar biasa."
"Pajak membuatku bokek."
"Astaga, apa gunanya kamu kawin dengan Tora?"
"Apa kamu bilang?"
"Daripada kita ribut terus, lebih baik kamu pergi sekarang. Hanya itu yang terbaik yang bisa kamu lakukan, Moir. " Dia tidak bermaksud mengeluarkan kata-kata itu, tetapi dengan migrain yang menghantam kesabarannya, sikap Moira tidak membantu. "kepalaku sakit. Ada sisa pizza di kulkas kalau kamu mau."
Dia meninggalkan ruangan, pergi ke kamar mandi untuk mengeluarkan satu-satunya pil penghilang rasa sakit dari botol plastiknya. Sambil menggerutu, dia menelannya, kesal karena tidak terpikir untuk meminum obat pereda nyeri di tempat kerja.
Dia mengisi gelas dengan air mineral dari galon, dan buru-buru menelan isinya untuk mendorong pil ke dalam tenggorokan.
Moira mengawasinya di belakang sambil berpangku tangan.
"Sang Pangeran sedang migrain?"
"Apa katamu?" Dia berbalik, menyeka mulutnya dengan lengan bajunya. Dia tidak ingin mengakui migrainnya, meski jelas tampangnya sedang meringis miring.
Herman mungkin akan menuangkan minuman untuknya, menghangatkan kenangan masa kecil yang konyol untuk membantunya melupakan nyeri di kepalanya. Moira lahir terakhir dan tidak tahu perjuangan orang tua mereka ketika mereka masih muda dan hanya memiliki sedikit uang.
"Kamu tahu syarat penjualan. Dua suara. Sekarang pulanglah dan buatkan tumis kangkung untuk lakimu."
Moira seharusnya tidak memancing emosinya. Malah adiknya itu tidak menangkap isyaratnya.
"Abang tahu berapa uang pendaftaran sekolah Rudd? Abang tahu?"
Dia meringis. Nama yang buruk untuk keponakannya. Rudd Tora. Seharusnya nama yang lebih keren, misalnya Peter atau Jonas, sesuatu yang terdengar keren. Bukan Rudd.
"Abang tidak tahu karena Abang tidak punya atau anak. Abang, jenius yang malang tanpa perempuan yang sudi menjadi istrimu."
Itu sangat menyakitkan, karena itu membuatnya teringat pada beasiswa ke akademi desain ternama di Milan. Dia gagal karena bakat teman-temannya begitu mengintimidasi dia, sehingga dia memutuskan berhenti. Kemudian dia kembali ke rumah dan mendapat pekerjaan sebagai desainer grafis karena apa pun yang dikatakan tentang rumah, dia tidak merasa tidak berguna di sini. Sebaliknya, dia merasa seperti dia secara heroik melawan beberapa kejahatan besar.
"Oh, aku menemukan sesuatu yang dulu milikmu," katanya dengan nada sekosong yang dia bisa. "Aku menemukannya waktu mencari buku sketsa lamaku."
Moira hanya menatapnya.
Adiknya suka menghinanya dengan cara ini. Ketika dia berteriak dan menghina, Moira tidak membalas dengan meninggikan suaranya. Berbicara dengan kata-kata non sequiturs yang biasa hanya membuatnya semakin naik darah.
"Aku sedang mencari inspirasi," katanya, menuju ke lemari, mengambil piala dari kardus mi instan.
Itu adalah piala partisipasi. Masing-masing mereka memiliki satu saat sekolah dulu.
"Barang ini harus bertemu dengan pemiliknya," katanya, lalu dia mengayunkannya ke pundak Moira, tidak tahu mengapa dia melakukannya, tetapi menikmati tatapan lebar dan terkejut, dan Moira terhuyung mundur untuk menghindarinya. Piala itu memiliki dasar yang berat.
"Apa-apaan-"
"Hanya bercanda, Dik."
Moira memegang bahunya yang memar, berteriak.
"Ada apa denganmu? Abang sudah gila?"
"Kemarilah," katanya, merasakan ruangan di sekelilingnya terbakar.
"Aku harus pergi."
"Pergi ke mana? Di mana lagi kamu harus berada selain di sini, Dik?"
***
Dia mendengarkan Tora, mengangguk sopan, berusaha menghindari mata keponakannya Rudd ketika dia mendongak dari belakang kaki ayahnya saat mereka berdiri di luar pintu depan.
"Baiklah, aku akan menelepon jika aku mendengar sesuatu," katanya pada mereka akhirnya.
Dan mungkin Tora akan mengatakan sesuatu yang lain, tapi itu bisa menunggu.
"Aku harus pergi," katanya kepada saudara iparnya.
"Pergi ke mana?" tanya Tora, membuatnya tertawa getir karena percakapan itu terdengar begitu mirip.
Ya, semua orang benar. Dia benar-benar harus menjual rumah itu.
"Aku harus mencuci piring," katanya.
"Kalau saja aku tahu ke mana dia pergi," kata Tora.
Kemudian dia menutup pintu, menutup wajah bingungnya dan membuka ikat pinggangnya, mengagumi dirinya sendiri bahwa benda itu benar-benar terlihat begitu lentur.
Bandung, 13 Januari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H