Rumah ini sudah lama menjadi milik keluarganya, tetapi belum pernah membuatnya merasa terganggu seperti sekarang. Engsel-engselnya akan berderit karena angin, jika dia tidak melumasinya dengan minyak. Baunya apak.
Saat musim panas, kecuali dia ingin cepat bangkrut karena menyalakan pendingin ruangan tua yang boros listrik, dia akan basah semalaman oleh cucuran keringat. Tetapi pada akhirnya, bukan kamar berderit, pengap, atau udara panas dan lembap yang mengganggunya.
Ada hal lain.
Di dalam ruangan itu dia merasakan emosi yang tidak bisa dia jelaskan. Seolah-olah melintas di antara kamar-kamar menyebabkan perubahan suasana hatinya. Kadang-kadang dia tidak bisa menahan diri untuk tidak merasakan ledakan kemarahan besar yang datang. Itu akan menbuatnya gagal berkonsentrasi, tanpa peristiwa atau orang lain yang membantunya atau mengalihkan racunnya. Namun juga dengan meninggalkan satu ruangan ke ruangan lain, dia hampir merasakan kebahagiaan yang menyejukkan. Hampir-hampir-bahagia, karena dia mengingat begitu kuat kemarahan yang melandanya beberapa saat sebelumnya. Hampir-bahagia karena dia tahu kemarahan itu masih ada di dekatnya, siap untuk melekat kembali padanya. Dan perasaan ini tidak menetap, tetapi melayang, terkadang memasuki lorong, lemari atau ruang dapur.
Dulu tidak seperti ini.
Dulu masih bisa dihindari.
Sebagai anak laki-laki, ketika dia pertama kali merasakan adanya kehadiran di rumah ini, dia memutuskan untuk tidak menyebutkannya kepada keluarganya. Dia bisa menahannya tanpa harus meminta pertolongan pada orang lain. Dan setelah kecelakaan fatal yang menimpa ayahnya, mereka semua tinggal di rumah ini untuk tumbuh dewasa lalu pergi. Semua, kecuali dia.
"Kamu tidak harus tinggal di sana, kan?" ibunya menelepon untuk menanyakannya setelah pindah ke kondominiumnya sendiri.
"Aku nyaman di sini," katanya, tapi sebenarnya tidak.
"Sungguh?"