Kerangka Teoritis
Dalam mengkaji munafik strategis sebagai mekanisme adaptif dan etis dalam interaksi sosial, pendekatan multidisipliner digunakan untuk memahami konsep ini dari perspektif filsafat etika, psikologi kognitif, dan kecerdasan emosional. Kerangka ini akan mengeksplorasi tiga teori utama: Virtue Ethics Aristoteles, Cognitive Dissonance Theory Leon Festinger, dan Emotional Intelligence Daniel Goleman.
A. Virtue Ethics dalam Perspektif Aristotelian
Konsep Dasar Virtue Ethics
Aristoteles, dalam Nicomachean Ethics, mendefinisikan kebajikan (aret) sebagai tindakan moral yang timbul dari keseimbangan antara dua ekstrem---kekurangan (deficiency) dan kelebihan (excess). Kebajikan ini mengharuskan adanya temperance (pengendalian emosi) dan phronesis (kebijaksanaan praktis) sebagai landasan utama dalam membentuk moralitas seseorang. Aristoteles menekankan bahwa kebajikan bukanlah suatu keadaan alami, tetapi hasil dari latihan dan kebiasaan yang memungkinkan individu untuk hidup sesuai dengan potensi terbaik mereka, mencapai eudaimonia (kehidupan yang baik dan penuh makna), dan berperan secara positif dalam masyarakat.
Munafik Strategis sebagai Kebajikan Praktis
Dalam konteks ini, munafik strategis dapat dipandang sebagai bentuk phronesis---kebijaksanaan praktis yang bertujuan meredam emosi negatif atau destruktif demi mencapai kesejahteraan sosial dan individu. Tindakan ini, lebih dari sekadar penekanan emosi, berfokus pada upaya untuk menyeimbangkan ekspresi emosi dengan tujuan untuk menjaga keharmonisan dan integritas hubungan sosial. Dengan kata lain, munafik strategis bukanlah pengingkaran moral atau pelanggaran terhadap prinsip kejujuran, tetapi bentuk pengendalian diri yang bijaksana yang digunakan untuk menghindari eskalasi konflik dan merawat hubungan sosial yang sehat.
Dalam pandangan Aristotelian, kebajikan ini berakar pada kemampuan individu untuk memilih tindakan yang tidak hanya menghindari ekstrem emosional, tetapi juga memprioritaskan keseimbangan dalam merespons situasi sosial yang kompleks. Munafik strategis, dalam hal ini, dilihat sebagai keputusan praktis untuk menahan reaksi emosional demi mencapai keseimbangan sosial yang lebih besar, dengan menjaga harmoni tanpa mengorbankan nilai moral yang mendasarinya.
Relevansi dalam Masyarakat Kontemporer
Di dunia modern yang penuh dengan dinamika sosial yang intens dan penuh kepentingan, kebajikan seperti pengendalian diri dan kesabaran memiliki nilai praktis yang sangat tinggi. Dalam relasi sosial yang seringkali sarat dengan ekspektasi dan tuntutan, munafik strategis bisa menjadi strategi adaptif yang membantu individu menavigasi interaksi sosial yang kompleks tanpa kehilangan integritasnya. Dalam masyarakat yang lebih terhubung dan global ini, keputusan untuk menahan diri dan memilih pendekatan yang lebih bijaksana dalam menghadapi ketegangan atau konflik sosial sejalan dengan prinsip keseimbangan yang diajarkan oleh Aristoteles.
Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam konteks ini, munafik strategis harus tetap dipandu oleh niat baik dan kebijaksanaan. Jika dilakukan dengan tujuan yang benar, yaitu untuk menciptakan harmoni sosial dan menjaga relasi yang sehat, maka hal ini dapat memenuhi prinsip keseimbangan Aristotelian antara dua ekstrem. Dengan demikian, munafik strategis bukan sekadar tindakan untuk menghindari konflik, tetapi merupakan ekspresi kebajikan praktis yang mengarah pada eudaimonia---kehidupan yang lebih baik dan lebih harmonis dalam masyarakat kontemporer.