Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lukisan Terkutuk

23 Februari 2015   23:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:38 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi ini , di Pasar Horas , ia dan ayahnya sedang berjalan - jalan di daerah sekitar pasar untuk mencari toko - toko yang menjual barang - barang antik . Namanya Endra . Ia tinggal bersama dengan ayahnya di Perluasan . Sejak kecil , iadibesarkan oleh ayahku dan ibunya t'lah lama meninggal dunia sewaktu melahirkan dirinya . Mungkin itulah sepintas kisah hidup yang bisa ia ceritakan .

Ratusan manusia berlalu lalang memenuhi koridor tempat di mana para pedagang mendirikan kios - kios kecil untuk menjajakan dagangan mereka . Rasa sesak dan sumpek begitu sarat ketika ia masuk ke dalam bangunan bertingkat empat , di kiri maupun di kanan penuh dengan aktivitas jual - beli para pedagang ataupun para pedagang yang sekedar menawarkan kepada setiap orang yang lewat .

Lelah sekali rasanya . Seperti mereka tidak menemukan toko yang mereka cari . Kebanyakan kios - kios di sana menjual bumbu rempah - rempah , pakaian , dan sayur / buah - buahan - tidak ada toko yang menjual barang - barang antik . Mereka hampir putus asa , tapi itu sirna ketika aku melihat sesuatu .

" Ayah di sana ! " serunya pada ayah .

Ia menunjuk salah satu kios yang berplang ' Toko Antique Abadi ' . Ia tertarik dan mengajak ayahnya ke sana , sepertinya ayah juga tertarik dengan toko itu, kemudian mereka langsung menghampirinya .

Di depan toko itu , mereka disambut dengan ramah oleh seorang laki - laki yang ditaksir berumur 30 - an , wajahnya agak kekotakkan , kulit sawo bersih , tersenyum tipis pada mereka .

" Mau cari apa , pak ? " tanya laki - laki itu .

" Mau cari lukisan antik , bisa dilihat - lihat dulu pak ? "

" Oh silakan pak . " Laki - laki itu mempersilahkanmereka untuk melihat lukisan ynag terpajang .

Di toko yang berukuran 11 x 5,5 meter itu memuat beberapa koleksi benda antik mulai dari guci , patung , vas bunga , sampai lukisan . Semua dipanjang rapi sesuai dengan tempatnya meskipun toko itu tidak terlalu luas . Ayah memandang - mandangi satu per satu lukisan yang melekat di pajangan , mayoritas tema lukisan adalah pemandangan , flora , dan fauna . Tema lukisan seperti itu sudah banyak memenuhi dinding rumahnya . Ia ingin mencari tema - tema baru yang lebih menarik sampai pandangan matanya tertuju pada salah satu lukisan di sudut .

" Kalau yang ini , apakah dijual ? "

Lukisan seorang perempuan yang sedang duduk manis di sebuah sofa kecil berlengan dengan posisi tangan terlipat menumpu dagu dan kepala dimiringkan sedikit ke kiri , ditambah dengan goresan kuas yang rapi dan proposional , membuat lukisan dengan gaya klasik itu memikat mata ayahku .

" I-i-tu tidak dijual ! " jawab lelaki itu terbata .

" Apa maksudmu tidak dijual ? Lalu apa gunanya dipajang kalau tidak dijual  ?! " pekik ayah .

" Seseorang memberikannya padaku secara percuma dan berpesan bahwa lukisan itu tidak boleh dijual . " ujar lelaki itu serius .

" Saya akan bayar berapapun untuk lukisan itu ! " Ayah tetap bersikeras untuk membeli lukisan itu .

Si penjual hanya menggeleng mendengar penawaran sang pembeli .

Melihat reaksi si penjual yang tak tertarik dengan tawarannya , ayahnya geram dan  langsung mengeluarkan 30 lembar uang 100 ribuan  dari dalam dompetnya dan diletakkan langsung di atas  telapak tangan sang penjual . Tanpa banyak kompromi , ayahnya langsung mengambil lukisan itu dan menyuruhnyaberanjak dari sana.

" Satu pesanku kepada kalian , jangan pernah sekalipun menatap lukisan itu jam 11 malam , jika kalian melanggarnya , aku tak jamin kalian bisa selamat . " pungkas sang penjual . Raut wajah penuh ketegangan seolah menyakinkanku bahwa apa yang dikatakannya benar .

" Jangan dengarkan dia , nak . Dia hanya ingin menakut - nakutimu . " tukas ayah . Tapi Endra tak sependapat dengan perkataan ayahnya - biarlah ia pun juga tak mau ambil pusing dengan hal itu .

Supra X 125 itu sudah terparkir di depan teras rumahnya . Rumah yang tak terlalu besar dengan ukuran 12 x 15 meter cukup untuk mereka tinggali . Tak terlalu berdempetan dengan rumah tetangga . Di halaman yang cukup luas itu , mereka menanam pohon mangga dan beberapa tanaman hias agar suasana rumah lebih semarak .

Ayah mengambil kunci rumah dan menekan gagang pintu . Terlihatlah beberapa lukisan koleksi ayah di ruang tamu , ia tidak bisa menceritakan satu per satu , yang pasti , dirinya lebih menyukai gambar seorang ksatria gagah berpedang menunggangi seekor kuda .

" Ndra , menurut kamu cocoknya di mana lukisan ini diletakkan ? "

Suara ayah langsung membuyarkan lamunannya . Ia coba mengumpulkan konsentrasinya dan matanya mengedar , mencari posisi yang pas sebagaimana ayahku tanyakan tadi .

" Bagaimana kalau di sana ? "

Jari telunjuknya mengarah pada sisi kosong di sebelah kiri lukisan ksatria itu . Ayah coba meletakkan lukisan itu di sana dan - pas . Lukisan seorang perempuan cantik dan ksatria sungguh paduan yang tepat . Ia pun juga berpendapat demikian .

Endrasekali lagi memandangi lukisan perempuan yang duduk di sofa itu - ia seperti gambar tiga dimensi yang hidup . Wajah bulat dengan bola mata jernih berbinar , serta kulit kuning langsat .Betapa cantiknya perempuan itu . Tapi hanya saja ada yang aneh , warna latar belakangnya , merah -ini bukan merah biasa seperti darah yang dicampur dengan cat minyak berwarna merah .

" Ah , itu tidak mungkin . Lupakan saja . " Endra berlalu meninggalkan lukisan itu dan menuju ke kamar .

Malam sudah tiba . Sudah jam 10 malam . Dirinya masih saja berkutat dengan layar kaca laptop ku . Tugas presentasi Biologi harus ia selesaikan malam ini dan akan ditampilkan Senin esok - sepertinya ,  malam ini ia tidak bisa bersantai membaca novel horror yang hari jumat itu dibelinya di Siantar Plaza .

Endra mengucek - kucek matanya yang perih karena terlalu lama terpaku di layar laptop . Ia menelan ludah kering di tenggorokkandan iamerasa  kehausan . Terpaksa , ditinggalkan laptopnya sebentar untuk mengambil segelas air minum sekaligus makanan yang ada dikulkas . Sejenak , ia mengamati jam weker - 22 . 50 . Sudah jam sebelas rupanya .

Ia sudah merasa lega . Sesampainya di dapur , Endra mengambil gelas dan menuangkan air dari teko ke gelasnya . Ia langsung meminumnya dan menuangkan kembali ke gelas. Kini , ia  sudah siap kembali ke kamar dengan membawa dua potong kue bolu di tangan kanan .

Langkah kakinya terhenti . Pikirannya kembali terusik dengan perkataan tukang penjual lukisan itu . Endra ingin sekali membuktikan kebenaran kata - kata si penjual itu . Apakah ia cuma bergurau atau betul - betul serius .

Endra kembali melangkahkan kakinya ke ruang tamu . Entah kenapa perasaannya tak enak ketika dirinya hendak menuju ke sana . Nurani seakan berbisik , menyuruhnya untuk tidak pergi ke sana .Tapi sepertinya , rasa ego yang kuat t'lah mengalahkan nurani . Keingintahuannya  t'rus menuntun langkahnya ke sana .

Ia sudah menapakkan kedua kakinya di sana . Kemudian , dirinya menekan kontak lampu untuk membuat suasana lebih terang . Lampu pijar itu bukan bersinar terang , tapi ia sedikit temaram , membuat bulu romanya bergedik . Ia memberanikan diri melihat lukisan di samping ksatria itu - lukisan perempuan yang tadi siang dibeli oleh ayahku .

Aku mendekat dan menatap sepasang bola matanya lekat - lekat . Bola mata jernih itu seolah membalas tatapanku . Ia mulai merasa tiupan angin lembut meraba tengkuknya .

" Berani - beraninya kau melihatku ?! "

Suara serak itu menyentaknya . Endra gugup , menoleh ke kanan - kiri - belakang , mencari sumber suara itu  . Namun , tidak ada siapapun sampai ia melihat sesuatu .

" Kenapa ?! "

Astaga ! Dirinya melihat sepasang bola mata di lukisan itu betul - betul menatapnya . Urat matanyamemerah dan segaris bibir tipis pucat mengeluarkan suara serak tertahan .

" Kenapa ?! "

Ia terus mengulangi kata - kata itu . Badannya bergetar hebat begitu mengetahui lukisan itu benar - benar hidup . Kepala berkunang - kunang . Ia tak sanggup menahan rasa takut yang sudah membludak di ubun - ubun . Tapi iatak bisa berpaling dari sana -- sendi kakinyakebas .

Tak sadar , air mata mengalir deras dari sudut pelupuk matanya . Sekarang , bola mata dan bibirnya mengeluarkan darah segar berbau amis menyengat . Perempuan dalam lukisan itu  hampir tertutupi darah . Jantung berdegup tak beraturan , melihat pemandangan horror itu .

Akhirnya , dengan segenap doa dan kekuatan yang bisa ia kumpulkan, Endra mundur dari sana . Ia tidak memperdulikan lagi makanan dan  minuman yang dibawanya . Yang penting , ia bisa sampai ke kamar dengan selamat .

Ia masuk ke kamar dan melompat tergesa - gesa ke arah tempat tidur. Ia menudungi seluruh tubuhku dengan selimut merah tebal .

" Itu pasti cuma ilusi ! " gumamnya dalam selimut . Dirinya terus meyakinkan kalau kejadian yang dilihatnya tadi hanya ilusi -- tipuan mata saja . Meskipun begitu , rasa takut itu sudah merongrong nyalinya . Ia tak bisa menenangkan degup jantung dan irama nafasnya yang kian memburu . Ketakutan masih menghantui pikirannya .

Endra masih bingung , mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang di penuhi alat - alat lukis dan hasil lukisan yang sudah jadi . Pun , ia melihat seorang wanita sedang duduk manis di sebuah sofa . Rupanya , sang pelukis menghayati pose wanita itu dan menggoreskan sketsa dengan pensilnya di atas kanvas .

Pemandangan itu tak berlangsung lama . Jerit dan ratapan kepedihan menggema di ruang itu . Sang pelukis menikamkan obeng yang dipegangnya bertubi - tubi ke arah tubuh sang wanita . Tikaman itu lebih banyak mengenai leher dan darah segar memancar dari urat nadi yang terkoyak . Ia tak sanggup menyaksikan pembunuhan sadis itu , namun dirinya tak bisa berbuat apa - apa . Bibirnya terkunci rapat . Kedua tangan dan kaki membeku . Matanya terbeliak , terpaku menatap si gadis meregang nyawa dengan long dress kuning pisang bermandikan darah .

Sang pelukis itu meninggalkan gadis malang itu dengan menenteng sebuah lukisan di tangan kanannya . Ia bagaikan patung hidup di sana . Melihat tanpa bisa berbuat apa - apa . Endra menyesali ketidakberdayaannya .

Di tengah rasa sesal , matanya melotot , beradu padang dengan mayat gadis itu . Tatapan itu menyiratkan kebencian , dendam , amarah meluap - luap di kedua sorotnya . Aku makin tak karuan , saat ia mencoba menyeret - seret badannya mendekatinya .

" Ka-kaaaa-uuu ! "

Badannya menegang , matanya mengerjap . Butir - butir keringat jagung sudah membasahi wajah tampannya .

" Mimpi buruk yang benar - benar mengerikan ." gumamnya .

Ia terjaga untuk beberapa saat ,melirik jam weker - 03 . 00 dini hari . Masih terlalu pagi ia bangun . Endra menyipitkan matanya ,melihat silaunya sinar lampu pijar yang masih menyala benderang . Ia mengurungkan niat untuk mematikan lampu kamar . Mimpi buruk itu membuatnya dirundung rasa was - was dan cemas .

Ayam jago berkokok , matahari bersinar terik .Semua buku, alat tulis termasuk laptop sudah disusun ke dalam  tasnya, ia sudah siap berangkat ke sekolah . Endra keluar dari kamar hendak menuju ke pintu luar . Tapi , suara ayah mengagetkannya .

" Endra , kenapa kamu meninggalkan makanan dan minumanmu di ruang tamu ? "

" Oh - itu ?! Semalam aku mau nonton di TV . Eh , tahu - tahunya aku malah ngantuk berat dan lupa membawanya . " Ia menyunggingkan senyum lebar membenarkan perkataannya padahal dirinya sedang menutupi kebohongannya .

" Ya sudah kamu pergi saja , biarlah ayah yang menyimpannya. "

" Ya ayah . Aku pergi . " pungkasnya sambil berlalu dari hadapan ayah .

S'perti biasa, hari senin adalah hari paling ' menegangkan ' untuk para pelajar seperti dirinya . Usai upacara , mereka langsung melakukan presentasi dan tibalah giliran kelompoknya . Ia mengeluarkan segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas presentasi , tapi tangannya menyentuh sesuatu yang dingindan kaku di dalam tasnya .Endra tercekat . Tangannya gemetar terangkat , pelan dan perlahan , ternyata ...

Sepotong tangan !

Endra memekik pelan dan melepaskan potongan tangan itu dari tangannya . Salah satu temannya yang mendengar ia memekik , lalu menegurnya .

" Hei , Endra kenapa kau ?! Kayak abis lihat setan aja kau ! " ujar temannya , Rizal .

" E-er nggak ada apa - apa kok ! Tanganku cuma kesemutan doang ... hehehe . " Aku menggaruk - garuk kecil kepalaku .

" Ya sudah ayo ! Ini sudah mau mulai presentasi . "

Endra langsung maju bersama temannya . Ia pun juga berperan sebagai moderator dalam kelompok itu . Sudah menjadi tugas moderator untuk memperkenalkan diri dan membuka sesi penjelasan materi . Saat memperkenalkan diri , matanya menangkap sosok wanita tengah menatapnya dengan kepala miring ke kiri tertutupi rambut panjang berantakan menutupi wajahnya lalu menghilang .

Ia terdiam sesaat .

" Heh Endra , kenapa malah bengong ?! Ayo mulai ! " bisik Yenny .

Ia hanya mengangguk setengah . Kikuk , semua mata tertuju padanya .

Lega rasanya kalau mendengar lonceng berbunyi . Ribuan siswa dengan segala kepenatan dan kejenuhan di kepala mereka berhamburan , menuju pintu gerbang , pulang ke rumah masing - masing termasuk Endra .

Dirinya harus cepat menuju ke rumah , menceritakan kejadian - kejadian aneh yang menimpanya di sekolah , setelah ia melanggar peringatan yang dikatakan oleh sang penjual lukisan itu . Mungkin , dirinya juga akan mengusulkan , baiknya lukisan itu dipulangkan saja kepada sang penjual itu . Ia tidak mau teror mengerikan yang menimpa dirinya , menimpa ayahnya juga - jangan sampai .

Ia sudah turun dari angkutan yang membawanya pulang . Dipercepat langkah kakinya  agar sampai ke dalam rumah . Kini , dirinya sudah berada di ruang tamu dan mendapati ayahnya  sedang makan siang .

" Aku pulang ! " soraknya pelan .

Ayahnya mendengarnya dan menyahut . Namun , ayahnya tetap melanjutkan makan siangnya yang sedikit terganggu .

" Ayah . " ujarnya sambil mengambil tempat di samping ayahku .

" Ada apa , nak ? " ayahnya kembali menghentikan kegiatannya .

" Aku ingin minta pendapat ayah . Bagaimana kalau lukisan perempuan yang berada di ruang tamu itu kita kembalikan saja ? " aku tak berani menatap mata ayah secara langsung .

" Apa maksudmu nak ? Ayah sudah membeli mahal - mahal lukisan itu tapi kamu mau menyuruh ayah memulangkannya ?! Jangan - jangan kamu sudah terpengaruh omong kosong dari penjual lukisan itu ya ?! " mata ayah kini serius memandangnya . Mungkin dalam hatinya , ia mempertanyaan alasan anaknya mengatakan hal seperti itu .

" Bu-bu-bukan begitu maksudku , ta-tt-tapi ... "

" Sudahlah nak . Lebih baik , ganti bajumu , cuci muka , dan makan . Kelihatnya kamu lelah sekali hari ini . " tukas ayah sambil menaruh piring kotornya di washing plate .

Endra pun juga undur diri dari sana . Ia bingung mengapa tiba - tiba dirinya jadi gugup .  Firasatnya mengatakan hal buruk akan terjadi pada ayahnya , namun ia terus meyakinan dirikalau semua akan baik - baik saja -semoga saja .

Tatapan mata ayah tak bisa lepas dari dua orang yang sedang menggiring bola dalam tabung kaca itu . Jam dinding sudah menunjukkan 23 . 00 . Tak dihiraukannya lagi , dinginnya angin malam yang sudah menggelitik tengkuknya . Konsentrasinya masih terfokus dengan pertandingan bola yang terpampang di sana .

Rasa dahaga sudah menyerang kerongkongannya . Mau tak mau , ia harus pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. Rasa dahaga sirna ketika air dalam gelas itu membasahi kerongkongannya , ia langsung bergegas menuju ruang tamu agar tidak ketinggalan permainan  ' cantik ' yang dibawa oleh tim bola kesayangannya itu .

Sebelum ia kembali duduk di sofa , ia mengamati sejenak lukisan itu . Wajah perempuan yang menjadi model dalam lukisan itu mengingatkan dirinya akan almarhumah istrinya yang sudah 16 tahun meninggalkan dirinya . Ia tak ingin berlama - lama mengenang nostalgia kelabunya itu , ia segera duduk di atas sofa panjang dan kembali fokus dengan tontonannya .

Tok tok tok !

Suara ketukan itu berasal dari luar . Ia tak ingin konsentrasinya terganggu gara - gara ulah orang usil yang mengetuk - ketuk pintu rumahnya .

Tok tok tok !

Dua kali suara ketukan itu mengganggu konsentrasinya . Ia yang tak tahan dengan suara itu , mendatangi pintu itu dengan perasaan dongkol . Saat ia membuka

Kosong !

Tidak ada siapapun di luar sana . Yang ada hanyalah , hamparan luas kegelapan yang menutupi semesta dan suara jangkrik dan kodok bersahutan . Ia mendesah keras melihat keanehan yang terjadi dan beralih ke sofanya .

Matanya tak sengaja menangkap sekelebat bayangan melintasi ruang dapurnya . Ia tercekat seketika . Pikirannya menyuruhnya untuk mengikuti ke mana bayangan itu pergi . Sesampainya ia di dapur , ia menyalakan kontak lampu dan mengamati sekelilinginya - kosong . Tak ada apapun yang mencurigakan , selain piring bekas yang tergeletak di sana . Dirinya mulai terusik dengan hembusan angin yang meniup tengkuknya . Tak betah rasanya berlama - lama di sana . Ia mengambil langkah seribu meninggalkan dapur .

Kejadian aneh yang menimpa dirinya , membuat rasa takut perlahan menguasai pikirannya . Ia berniat untuk mematikan TV nya dan cepat - cepat pergi ke kamar tidurnya .

TV yang menyala itu kini mati ketika ia menekan tombol OFF pada papan remote . Saat meletakkan remote itu di atas TV , telinganya mendengar suara lirih amat pilu dan menoleh ke samping .

Ya Tuhan !

Sesosok wanita dengan long dress kuning pisang lusuh berbau tanah , tengah menatap garang ke arahnya . Wajahnya pucat pias , bola mata terbeliak hampir keluar dan leher membusuk itu mengeluarkan aroma amis darah . Ia tak sanggup menahan rasa mual yang bergejolak di perutnya dan muntahannya mengotori lantai .

Ia terus mendekat dengan langkah tertatih menuju ayah . Tatapannya tak bisa lepas darinya . Ia hanya bisa menyaksikan kengerian makhluk itu karena kedua kakinya bagaikan menyatu dengan lantai . Ia menyunggingkan seringai lebar menyeramkan menatap ketidakberdayaannya . Degupan jantung keras dan tak beraturan seperti mau meledak . Darahnya berdesir deras mengalir ke ujung kepalanya . Bulir - bulir keringat jagung membasahi wajahnya , ia tak tahan lagi dengan semua kengerian yang dialaminya . Makhluk itu tinggal dua jengkal dari hadapannya .

Keajaiban pun datang . Ia kembali bisa menggerakkan kembali tubuhnya . Namun naas . Saat ia coba berlari , ia tak menyadari ada tembok di belakangnya . Kepalanya berbentur keras dengan tembok itu , membuat darah segar mengucur dari keningnya . Ia meringis kesakitansebelum dirinya tergelak tak berdaya bersandar di dinding . Makhluk itu tertawa cekikikan , puas menyaksikan kesengsaraan yang ditanggungnya , makhluk itu lenyap .

Keesokan harinya , Endra sibuk mencari keberadaan ayahnya untuk meminta uang jajan . Ia tak menemukan ia di kamarnya , namun dirinya teringat bahwa ayahnyasemalam menonton pertandingan bola di ruang tamu . Mungkin saja ayah ketiduran di ruang tamu dan dirinya berniat membangunkannya .

Setiba di sana , ia terperanjat . Ayahnya tergeletak tak sadarkan diri di ruang tamu . Wajahnya tertutup darah kering yang mengalir dari keningnya . Endra panik dan langsung membuka pintu , meminta pertolongan pada orang - orang yang kebetulan melintas di jalan .

Dirinya masih cemas menunggu hasil pemeriksaan dokter . Tak henti - hentinya ia  berdoa dan memohon pada Tuhan agar keadaan ayah baik - baik saja dan dokter sudah keluar dari ruang pemeriksaan .

" Bagaimana keadaan ayah saya , dok ? " tanyanya memelas .

" Ayah Anda masih belum sadarkan diri . Namun , kita berdoa saja agar ayah Anda cepat pulih . " ujar sang dokter .

Ia hanya bisa tertunduk lesu melihat keadaan ayahnya memprihatinkan dan dokterr beralih dari hadapannya . Dari kaca tipis yang tertempel di pintu kamar , dirinya melihat sesosok perempuan tengah memandang ayahku . Wujudnya tetap mengerikann sama seperti saat ia melihatnya di sekolah .  Sadar ia telah dipergok , ia menghilang .

" Ini pasti ada hubungannya dengan lukisan itu . Aku harus menyelesaikannya sebelum terlambat . " tukasnya dalam batin .

Endra memacu sepeda motorku ke tempat kami membeli lukisan itu - Pasar Horas . Banyaknya kendaraan bermotor padat merayap di jalan , membuatnyaharus berhati - hati dan mengurangi kecepatan .

10 menit waktu yang ditempuh dari Rumah Sakit Vita Insani ke Pasar Horas dan ia telah tiba . Dirinya memarkir dan mengunci sepeda motornya di tempat parkir yang disediakan . Ia menuju ke dalam bangunan utama pasar . Sarat akan pedagang dan manusia yang hilir balik memenuhi koridor jalan . Dirinya memutar mata , mencari toko di mana ayahnya membeli lukisan itu . Padat dan sesak yang mendesak dada di antara ratusan orang lalu lalang dan - aku melihatnya - toko itu dan maju ke sana .

Tapi sialnya toko itu sudah tutup hanya tersisa plang yang menempel di atas dinding . Salah satu pedagang yang melihat dirinya kebingungan , menghampirinya .

" Cari siapa ya bang ? "

" Oh , kira - kira yang punya toko ini ke mana ya , kak ? "

" Yang punya toko ini sudah tidak berjualan lagi , tapi ia sebelum ia pergi , sang pemilik menitipkan ini pada saya untuk di sampaikan pada abang . " tutur perempuan pemilik butik di sampingnya .

Endra menerima kertas yang diberikan perempuan itu dan membacanya .

Komplek Mega Land

Jalan Kertas blok 67 A .

Ia mengucapkan terima kasih kepada perempuan itu dan menuju ke tempat parkir . Setelah dirinya membayar uang parkir , ia langsung melesat ke komplek Megaland .

Ribuan derap langkah pejalan kaki dan desauan mesin menambah keriuhan kota kecil di mana aku berada sekarang . Ini bukan pemandangan yang asing lagi baginya , namun inilah gambaran kecil kehidupan orang - orang di sana .

Ia memacu sepeda motornya kencang dan tiba juga di alamat yang tertulis dalam kertas itu . Ia bertanya - tanya pada setiap orang yang berjalan di sepanjang jalan itu untuk mencari rumah pemilik lukisan itu .

Tapi dirinya hanya melihat sebuah rumah mewah  bercat ungu bertingkat 2 yang telah dipasang garis polisi . Endra sempat ragu apakah ini alamat yang dituju dalam kertas itu , benar . Namun keraguannya hilang , ketika seseorang dari belakang mendekatinya .

" Rumah ini sudah lama disegel pihak kepolisian . " ujar lelaki berambut pendek itu .

" Anda siapa ? " tanyanya .

" Saya Kristanu , penjaga rumah ini . "

Sepintas , wajah lelaki itu tampak pucat dengan tatapan bulat memandangku . Ia agak risih dipandang seperti itu , namun dirinya bersikap biasa - biasa dan lelaki itu melanjutkan ceritanya .

" Menurut berita yang tersiar , dua hari yang lalu , di rumah ini ditemukan seorang laki - laki dan perempuan tewas mengenaskan . Mayat lelaki itu tergantung dengan seutas tali tambang di depan mayat perempuan yang tubuhnya bersimbah darah . Kuat dugaan , mayat perempuan itu sudah dibunuh oleh lelaki itu . " ujar lelaki itu datar .

Namun , ia merinding mendengarkan cerita yang dituturkannya . Mungkin mimpi yang dialaminya 3 hari yang lalu adalah cuplikan pembunuhan yang dilakukan sang pelukis itu . Terbesit pertanyaan apakah yang membuat sang pelukis itu tega menghabisi wanita itu dan ia bertanya lagi pada lelaki itu .

" Tapi apa yang membuat sang pelukis itu tega membunuh wanita itu ? "

" Sang pekulis mengalami sejenis penyakit jiwa langka  - Obsesif Compulsif Disorder - gangguan otak dan perilaku di mana seseorang mengalami kecemasan yang begitu parah sampai membunuh orang lain . "

Aku menelan ludah kering mendengar penjelasan seputar penyakit jiwa yang dialami oleh sang pelukis . Ia tak menyangka ada seseorang yang terkena penyakit jiwa yan membahayakan tersebut .

" Tapi apakah anda tahu ke mana perginya lukisan - lukisan miliknya ? " sambungnya lagi .

" Lukisan - lukisan itu itu dilelang dengan harga yang murah , tapi salah satu lukisan itu s'perti membawa kutukan sendiri di dalamnya . "

" Kutukan ?! " sentakku .

" Ya . Lukisan - lukisan itu dibeli oleh sepasang suami - istri kaya .Namun , setelah dua hari mereka membeli lukisan itu , mereka meninggal dunia karena kecelakaan , sekarang aku pun bagaimana nasib lukisan - lukisan itu sekarang ... "

Jantungnya mendadak berdegup kencang . Kepalanya serasa ditimpa palu raksasa . Lukisan terkutuk itu sekarang berada di rumahnya . Ia lantas mengucapkan terimakasih pada lelaki itu dan bergegas menjauh darinya . Kini satu - satunya hal yang dapat dilakukan untuk menghentikan teror lukisan terkutuk itu adalah menghancurkannya -- sebelum semuanya berakhir .

Hari cepat berlalu . Sekarang sudah jam 10 malam . Suara kodok bergaung keras , angin malam menerpa kulitnya , membuat ia bergidik ngeri , sesuatu yang buruk pasti akan terjadi . Tapi ditepisnya semua demi mengakhiri teror yang menimpa mereka akhir - akhir ini . Ia tak mau menunggu lama - lama , semuanya harus diselesaikan .

Dirinya mengambil lukisan perempuan yang terpajang di sana dan ditatapnya lekat - lekat .

" Kau akan berakhir di sini . " katanya , tatapnya geram memandang lukisan itu .

Endra membantingnya berkali - kali ke arah dinding . Kayu penyangga lukisan itu patah , kacanya pecah berhamburan di lantai . Belum puas amarahnya , ia mengambil gambar lukisan itu dan dirobeknya sampai yang tersisa hanya sobekan - sobekan kertas .

Ia menuju dapur dan mengambil sebotol minyak tanah yang sudah disiapkan sorenya . Dia menaburkan minyak itu ke atas robekan kertas itu , kemudian mengambil korek api dalam saku celana dan memantiknya .

Kobaran api merah mulai menghanguskan lukisan itu . Perlahan , sosok wanita ayu dalam lukisan itu berubah menjadi abu , begitupun lainnya . Dirinya menghela nafas lega melihat lukisan itu hanya menyisakan abu dan arang -teror hantu lukisan itu sudah berakhir .

" Ke-ke-napa ka-kau me-me-mbakar rumahkuuu  ?!! "

Sontak saja , suara serak kering itu membuatku terperanjat hebat begitu dirinya berbalik ke belakang . Sesosok wanita dengan long dress lusuh , tubuh penuh luka tikaman beraroma busuk , serta rambut panjang kusut , memandangnyapenuh amarah , kebencian , dan dendam yang kian menggelora .

Belahan bibirnya mengatup keras . Ia hanya bisa mengeluarkan erangan tak jelas menyaksikan makhluk dengan penampilan yang mengerikan itu . Jantungnya berdetak hebat , mataku mendelik , darahnya berdesir kencang sampai ke ubun - ubun . Air mata dan butiran keringat mengucur deras membasahi wajah yang dicekam oleh ketakutan luar biasa .

" Kau harus mati ! HAHAHA ! " pekiknya sambil mengeluarkan tawa yang membahana di ruang tamu .

Kini , kedua tangannya sudah mencengkeram lehernya . Endra tak sanggup melawan , menggerakkan jari - jari di kaki pun aku tak bisa . Ia tak punya kekuatan sekadar mengangkat lengan sajatak sanggup  - Checkmate .

Cengkeraman tangannya semakin kuat , napasnya tersendat - sendat . Ia masih berusaha bertahan walaupun yang dilakukannya tampak sia - sia . Dirinya gelagapan , kesesakan sudah menekan dadanya bersamaan dengan urat leher sudah mati rasa .

Wajahnya mulai membiru , sisa nafas yang dimilikinya tak sanggup membuatnya bertahan . Dalam keputusasaannya , ia melihat sesosok lelaki yang ternyata - ia lelaki yang kujumpai tadi siang . Wujudnya begitu mengerikan . Matanya terbeliak , mukanya membiru dengan tetesan air liur dai sudut bibirnya . Ia memandangku nanar melihat penderitaan yang dialaminya .

Hembusan nafas pendek inilah yang menjadi akhir hidupnya . Ia berada di ruang gelap di mana yang kudengar hanyalah ratapan tangis memilukan dan jiwa - jiwa kesepian yang berkeliaran sana - sana sini . Tatapan mereka kosong , tak ada niat kehidupan yang terpancar di dalamnya termasuk perempuan yang sedang bersamanya sekarang .

Ia berharap ayahnya belum menyusulnya .

The End

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun