Dalam hal syarat subjektif presiden untuk mengusulkan penetapan Keadaan Darurat kepada MPR, dapat mempertimbanhkan tiga unsur penting, sebagai berikut:[5]Â
Unsur ancaman atau bahaya yang membahayakan (dangerous threat);
Unsur kebutuhan yang mengharuskan atau adanya legal necessity yang logis; dan
-
Unsur keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia.
Sementara itu, menurut guru besar tata negara Universitas Indonesia, Jimly Asshidhidqie, terdapat 4 (empat) hal yang dapat menjadi parameter memberlakukan Keadaan Darurat, sebagai berikut:[4]Â
bentuk jenis gangguan atau ancaman yang ditimbulkan oleh kejadian yang bersangkutan;Â
daya ancam atau tingkatan bahaya yang ditimbulkan oleh kejadian itu;
kualifikasi tindakan yang diperlukan untuk mengatasi kejadian beserta akibat-akibatnya;Â
jenis dan tingkatan peraturan yang perlu dilanggar jika tindakan dimaksud benar-benar harus dilakukan karena tidak terdapat alternatif cara atau tindakan lain yang diharapkan efektif mengatasi keadaan.
Unsur-unsur dan faktor di atas merupakan persyaratan logis untuk diberlakukannya Keadaan Darurat dengan tindakan-tindakan yang berada di luar norma hukum yang berlaku dalam keadaan normal (ordinary law). Namun, masih terdapat hal lain yang perlu menjadi tolok ukur dari pemberlakuan Keadaan Darurat, khususnya pasca putusan TAP MPR, yaitu: (a) siapa saja yang menjadi pelaksana kekuasaan negara dalam Keadaan Darurat; dan (b) lingkup daerah  berlakunya Keadaan Darurat (territorial limitation); dan (c) bagaimana mengakhiri Keadaan Darurat yang yaitu dengan dideklarasikan kembali keadaan normal oleh Presiden (jangka waktu pemberlakuan).
3. Inisiasi Peraturan Darurat (Perdar) sebagai Produk Hukum di Bawah UUD 1945 yang Mengatur Keadaan Darurat