Hal ini pada pokoknya, sama seperti pemberlakuan perppu, yaitu terjadinya hal ihwal kegentingan memaksa berdasarkan penilaian subjektif presiden, dan telah setelah dinilai oleh DPR sebagaimana mestinya, akhirnya diterima dan disetujui oleh DPR, barulah dapat dikatakan objektif secara hukum.
2. Ketentuan Pemberlakuan Keadaan Darurat
Pentingnya basis legal dalam keberlakuan Keadaan Darurat dengan segala akibat-akibatnya, faktor ada tidaknya tindakan deklarasi resmi sangat menentukan. Ketiadaan itu berakibat fatal terhadap konstitusionalitas penyelenggara kekuasaan negara yang dijalankan. Jika Keadaan Darurat diproklamasikan secara resmi, Keadaan Darurat bersifat de jure.Â
Akan tetapi, jika tidak resmi diproklamasikan, namun telah ada tindakan-tindakan darurat dipraktikkan dengan melanggar aturan-aturan normal, keadaan semacam itu disebut emergency de facto yang seharusnya dihindari dalam setiap negara hukum, karena akan mudah untuk disalahgunakan oleh subjektifitas Presiden dan lemah dalam legitimasinya.Â
Untuk itu, berdasarkan teori rule of law yaitu prinsip hukum yang menyatakan bahwa negara harus diperintah oleh hukum dan bukan sekadar keputusan pejabat-pejabat secara individual. Untuk itu, sejalan dengan konsep negara hukum (rechtsstaat) yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa "Indonesia adalah negara hukum", diperlukan legalitas dalam Keadaan Darurat secara de jure atau dengan di deklarasikan.Â
Berangkat dari gagasan penulis, maka setelah adanya proses penetapan Keadaan Darurat melalui TAP MPR, presiden mengumumkan secara langsung kepada rakyat bahwa negara sedang dalam Keadaan Darurat. Hal ini selaras dengan  Konstitusi Weimar di Jerman yang mengatasi jangan sampai terjadi suatu 'constitutional failure in a time of emergency, but left details to that law'.
Dalam UU No 23 tahun 1959, keadaan bahaya dibagi tiga yaitu Keadaan Darurat sipil, militer, perang. Pasal 139 ayat (1) menyatakan, "Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintahan federal yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera."Â
Ketentuan yang sama ini diadopsikan pula dalam UUDS 1950, yaitu pada Pasal 96 ayat (1) yang berbunyi, "Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintahan yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera."Â
Sementara itu, dalam UUD 1945, salah satu Keadaan Darurat dengan ketentuan keadaan bahaya terdapat pada Pasal 12 UUD yang hanya mengatur terkait ancaman militer. Untuk itu, demi kepentingan harmonisasi dan perluasan ruang lingkup Keadaan Darurat ini, maka diperlukan perubahan frasa "keadaan bahaya" menjadi "Keadaan Darurat."Â
Adapun yang dimaksud dengan Keadaan Darurat ini mencakup darurat perang, militer, darurat sipil, darurat bencana alam, bencana biologis, darurat moneter, dan kondisi lainnya yang dapat dikategorikan sebagai Keadaan Darurat.Â
Selain itu, ketentuan mengenai "keadaan bahaya" yang ditentukan dalam pasal 12 lebih menekankan sifat bahaya yang mengancam (dangerous threat), sedangkan "kegentingan memaksa" dalam pasal 22 lebih menekankan aspek kebutuhan hukum terkait persoalan waktu yang terbatas.Â