Seperti dikatakan oleh George Jellineck, Bapak Ilmu Negara, "Onrecht word recht", artinya sesuatu yang semula bukan hukum, dengan adanya Keadaan Darurat, menjadi hukum.Â
Untuk itu, manakala timbul Keadaan Darurat, negara harus tegas bertindak, dan apabila perlu dengan cara kekerasan yang melanggar hak asasi manusa sekali pun.Â
Sebagaimana dikatakan oleh Herman Sihombing, ahli hukum tata negara, dalam bukunya bahwa hukum tata negara darurat dalam arti objektif memungkinkan dilakukannya pengurangan, penyimpangan, dan penghapusan hak asasi tertentu.Â
Namun, tentu saja pendapat Herman Sihombing ini perlu dilengkapi karena bukunya berjudul "Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia" terbit pertama kali pada tahun 1995, UUD 1945 belum mengalami perubahan.Â
Dengan diadopsinya amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000, terdapat tujuh macam hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Pasal ini berbunyi sebagai berikut:
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Dengan demikian, adanya Keadaan Darurat dalam pelaksanaannya tidak boleh melanggar hak asasi manusia sebagaimana termaktub dalam Pasal di atas. Lebih lanjut, urgensi terhadap Keadaan Darurat itu memerlukan pengaturan yang bersifat tersendiri, agar fungsi-fungsi negara dapat terus bekerja secara efektif dalam Keadaan Darurat tersebut.Â
Oleh karena itu, sejak semula Keadaan Darurat itu sudah seharusnya diantisipasi dan dirumuskan pokok-pokok garis besar pengaturannya dalam Undang-Undang Dasar sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia.Â
Menurut guru besar tata negara Universitas Indonesia, Jimly Assidhiqie, jika Keadaan Darurat itu benar-benar terjadi dan tidak adanya pengaturan khusus mengenai pelaksanaannya, maka terjadi dua kemungkinan yaitu:[3]
syndroma disfunctie (organ negara dan pemerintahan tdk berjalan sebagaimana mestinya); dan/atau
dictator by accident (penguasa negara berubah menjadi tiran utk kepentigan sendiri dan memperkokoh kekuasaannya).