Mohon tunggu...
Anjar Firstandy Fadhlurrahman
Anjar Firstandy Fadhlurrahman Mohon Tunggu... Penulis - Law Student at Universitas Indonesia

Law Student

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Status Quo dan Quo Vadis Isu Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia

31 Juli 2022   19:03 Diperbarui: 31 Juli 2022   23:27 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

A. PENDAHULUAN

Sejarah perkembangan konstitusi di Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia telah mengalami berbagai perubahan dalam konstitusinya, mulai dari UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, hingga perubahan terhadap UUD 1945 yang dilakukan secara bertahap sebanyak empat kali (1999-2002). 

Selain perubahan itu, fakta sejarah mencatat terdapat peristiwa luar biasa yang terjadi sejak jaman kemerdekaan hingga sekarang yang membuat keadaan negara tidak normal. Sebagai contoh, keadaan bahaya untuk daerah Jawa Timur dan Madura yang dikeluarkan Presiden Soekarno pada 7 Juni 1946 melalui Keputusan Presiden ketika pemerintahan berpusat di Yogyakarta.[1] 

Selanjutnya, Supersemar yang merupakan dasar untuk dilakukannya tindakan darurat atau luar biasa (extraordinary measures) oleh Soeharto dalam menghadapi ancaman bahaya sebagai akibat terjadinya G30S/PKI. 

Dinamika ketatanegaraan tersebut menunjukkan bahwa di samping kondisi negara dalam keadaan biasa (ordinary condition) atau normal (normal condition), terkadang juga timbul atau terjadi keadaan yang tidak normal. 

Keadaan yang tidak normal cukup luas dimensinya mulai dari keadaan perang yang menimbulkan kekacauan pemerintahan dan bahaya besar yang mengancam jiwa, raga, dan harta benda rakyat banyak, sampai ke keadaan hal-hal tertentu yang bersifat mendesak, tugas-tugas pemerintahan tertentu di daerah tertentu dan dalam bidang-bidang tertentu, terpaksa melanggar ketentuan hukum yang berlaku. 

Meskipun, peraturan yang harus dilanggar itu dapat saja diubah sebagaimana mestinya, tidak cukup tersedia waktu untuk melakukan perubahan yang dimaksud, sementara pelaksaan tindakan yang bersangkutan sudah mendesak untuk harus segera dikerjakan sebaik-baiknya. 

Keadaan yang demikian itu juga termasuk kategori keadaan tidak biasa yang memerlukan tindakan yang juga tidak biasa. Dalam situasi demikian, mudah timbul keadaan yang tidak lazim, keadaan luar biasa, atau keadaan yang tidak normal lainya, yang semuanya termasuk kategori Keadaan Darurat atau State of Emergency

Berkaca pada Indonesia yang berada di kawasan persimpangan antar-samudera, antar-benua, antar-kebudayaan, dan antar-kekuataan politik yang banyak sekali mengandung potensi bencana dan kejadian yang luar biasa. 

Dengan demikian, dalam Keadaan Darurat berlaku norma-norma yang juga bersifat khusus yang perlu diatur tersendiri sebagaimana mestinya. Baik syarat-syaratnya, tata cara pemberlakuannya, dan tata cara mengakhirinya.

Berlakunya suatu keadaan Keadaan Darurat, menyebabkan perbuatan yang bersifat melawan hukum (onrecht) dapat dibenarkan untuk dilakukan karena adanya reasonable necessity.[2] 

Seperti dikatakan oleh George Jellineck, Bapak Ilmu Negara, "Onrecht word recht", artinya sesuatu yang semula bukan hukum, dengan adanya Keadaan Darurat, menjadi hukum. 

Untuk itu, manakala timbul Keadaan Darurat, negara harus tegas bertindak, dan apabila perlu dengan cara kekerasan yang melanggar hak asasi manusa sekali pun. 

Sebagaimana dikatakan oleh Herman Sihombing, ahli hukum tata negara, dalam bukunya bahwa hukum tata negara darurat dalam arti objektif memungkinkan dilakukannya pengurangan, penyimpangan, dan penghapusan hak asasi tertentu. 

Namun, tentu saja pendapat Herman Sihombing ini perlu dilengkapi karena bukunya berjudul "Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia" terbit pertama kali pada tahun 1995, UUD 1945 belum mengalami perubahan. 

Dengan diadopsinya amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000, terdapat tujuh macam hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Pasal ini berbunyi sebagai berikut:

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Dengan demikian, adanya Keadaan Darurat dalam pelaksanaannya tidak boleh melanggar hak asasi manusia sebagaimana termaktub dalam Pasal di atas. Lebih lanjut, urgensi terhadap Keadaan Darurat itu memerlukan pengaturan yang bersifat tersendiri, agar fungsi-fungsi negara dapat terus bekerja secara efektif dalam Keadaan Darurat tersebut. 

Oleh karena itu, sejak semula Keadaan Darurat itu sudah seharusnya diantisipasi dan dirumuskan pokok-pokok garis besar pengaturannya dalam Undang-Undang Dasar sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia. 

Menurut guru besar tata negara Universitas Indonesia, Jimly Assidhiqie, jika Keadaan Darurat itu benar-benar terjadi dan tidak adanya pengaturan khusus mengenai pelaksanaannya, maka terjadi dua kemungkinan yaitu:[3]

  1. syndroma disfunctie (organ negara dan pemerintahan tdk berjalan sebagaimana mestinya); dan/atau

  2. dictator by accident (penguasa negara berubah menjadi tiran utk kepentigan sendiri dan memperkokoh kekuasaannya).

Berangkat dari permasalahan di atas, menurut penulis dengan adanya ketentuan mengenai Keadaan Darurat dalam UUD 1945 maka menjadi mudah bagi para penyelenggara negara memahami dan menerapkan langkah-langkah yang tepat setiap kali menghadapi Keadaan Darurat itu.

B. PEMBAHASAN

a. Quo Vadis Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia melalui Upaya Amandamen UUD 1945

1. Kewenangan Menyatakan Keadaan Darurat (Declaration of State Emergency)

Dalam Keadaan Darurat yang terpenting adalah menentukan siapa yang seharusnya diberi kewenangan untuk mengambil keputusan guna mengatasi Keadaan Darurat jika negara tiba-tiba berada dalam kondisi darurat. 

Pada pokoknya, di negara-negara yang menganut sistem presidensial kewenangan untuk menanggulangi, mengatasi, dan mengelola Keadaan Darurat terletak di tangan presiden selaku kepala negara.[4] Namun, berdasarkan teori demokrasi, segala urusan negara dan pemerintahan harus berdasar kepada kehendak dan kedaulatan rakyat. 

Seperti pendapat yang dikatakan oleh Bapak Demokrasi, Abraham Lincoln, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Konsep demokrasi ini dapat terlihat maknanya pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." 

Oleh karena itu, jika kewenangan mendeklarasikan berada di tangan presiden tanpa adanya check and balances, maka sangat berpotensi menciptakan abuse of power oleh eksekutif dalam menetapkan suatu Keadaan Darurat. 

Karena hal ini tentunya didasarkan pada subjektifitas presiden semata, yang pada akhirnya dapat menimbulkan dicatator by accident seperti pada kasus pergantian Soekarno kepada Soeharto, dan keadaan masa darurat pada akhir masa Republik Weimar yang menandai kelahiran Nazi Jerman. 

Berangkat dari permasalahan di atas, penulis menggagas sistem deklarasi Keadaan Darurat akan menjadi kewenangan lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat RI (MPR). 

Justifikasinya adalah berdasar pada teori kedaulatan rakyat dimana MPR merupakan lembaga yang merepresentasikan rakyat secara utuh yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Legitimasi kewenangan ini akan sejalan dengan dasar bahwa orientasi penetapan dan pengaturan Keadaan Darurat pada UUD 1945 adalah untuk mengatasi gejolak yang terjadi pada warga negara. 

Dengan demikian, legitimasi MPR sebagai National Assembly memiliki posisi yang kuat dalam menetapkan atau mendeklarasikan pemberlakuan Keadaan Darurat ini. Lebih lanjut, penulis akan mengatur mengenai syarat kuorum MPR untuk dapat menyatakan Keadaan Darurat. 

Kuorum di sini akan penulis ubah menjadi sistem baru yaitu "Sidang Darurat" yang tujuannya adalah untuk menetapkan dan mendeklarasikan Keadaan Darurat, serta membahas dan mengatur tatanan hukum sebagai aturan pelaksana Keadaan Darurat tersebut. 

Menurut analisa penulis, dalam menetapkan Keadaan Darurat maka perlu diatur mengenai syarat kuorum disetujuinya Keputusan Sidang Darurat, sebagai berikut:

  1. Presiden berhak mengusulkan Penetepan Keadaan Darurat kepada MPR.

  2. Sidang Darurat adalah sidang yang diselenggarakan MPR atas usulan Presiden untuk meminta penetapan Keadaan Darurat.

  3. Keadaan Darurat diputuskan dan ditetapkan melalui TAP MPR.

  4. Anggota MPR wajib menyelenggarakan Sidang Darurat apabila telah terjadi Keadaan Darurat sebagaimana yang akan dapat dinyatakan dalam Amandamen UUD 1945;

  5. Sidang Darurat dilaksanakan untuk satu kali masa sidang;

  6. Putusan Sidang Darurat dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat yang hadir;

  7. Jika Putusan Sidang Darurat itu tidak mencapai persetujuan bersama, usul Presiden mengenai Keadaan Darurat tidak dapat diterima. 

  8. Apabila mendapat persetujuan bersama, maka Keadaan Darurat dinyatakan sah secara hukum yang ditetapkan melalui TAP MPR.

Hal ini pada pokoknya, sama seperti pemberlakuan perppu, yaitu terjadinya hal ihwal kegentingan memaksa berdasarkan penilaian subjektif presiden, dan telah setelah dinilai oleh DPR sebagaimana mestinya, akhirnya diterima dan disetujui oleh DPR, barulah dapat dikatakan objektif secara hukum.

2. Ketentuan Pemberlakuan Keadaan Darurat

Pentingnya basis legal dalam keberlakuan Keadaan Darurat dengan segala akibat-akibatnya, faktor ada tidaknya tindakan deklarasi resmi sangat menentukan. Ketiadaan itu berakibat fatal terhadap konstitusionalitas penyelenggara kekuasaan negara yang dijalankan. Jika Keadaan Darurat diproklamasikan secara resmi, Keadaan Darurat bersifat de jure

Akan tetapi, jika tidak resmi diproklamasikan, namun telah ada tindakan-tindakan darurat dipraktikkan dengan melanggar aturan-aturan normal, keadaan semacam itu disebut emergency de facto yang seharusnya dihindari dalam setiap negara hukum, karena akan mudah untuk disalahgunakan oleh subjektifitas Presiden dan lemah dalam legitimasinya. 

Untuk itu, berdasarkan teori rule of law yaitu prinsip hukum yang menyatakan bahwa negara harus diperintah oleh hukum dan bukan sekadar keputusan pejabat-pejabat secara individual. Untuk itu, sejalan dengan konsep negara hukum (rechtsstaat) yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa "Indonesia adalah negara hukum", diperlukan legalitas dalam Keadaan Darurat secara de jure atau dengan di deklarasikan. 

Berangkat dari gagasan penulis, maka setelah adanya proses penetapan Keadaan Darurat melalui TAP MPR, presiden mengumumkan secara langsung kepada rakyat bahwa negara sedang dalam Keadaan Darurat. Hal ini selaras dengan  Konstitusi Weimar di Jerman yang mengatasi jangan sampai terjadi suatu 'constitutional failure in a time of emergency, but left details to that law'.

Dalam UU No 23 tahun 1959, keadaan bahaya dibagi tiga yaitu Keadaan Darurat sipil, militer, perang. Pasal 139 ayat (1) menyatakan, "Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintahan federal yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera." 

Ketentuan yang sama ini diadopsikan pula dalam UUDS 1950, yaitu pada Pasal 96 ayat (1) yang berbunyi, "Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintahan yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera." 

Sementara itu, dalam UUD 1945, salah satu Keadaan Darurat dengan ketentuan keadaan bahaya terdapat pada Pasal 12 UUD yang hanya mengatur terkait ancaman militer. Untuk itu, demi kepentingan harmonisasi dan perluasan ruang lingkup Keadaan Darurat ini, maka diperlukan perubahan frasa "keadaan bahaya" menjadi "Keadaan Darurat." 

Adapun yang dimaksud dengan Keadaan Darurat ini mencakup darurat perang, militer, darurat sipil, darurat bencana alam, bencana biologis, darurat moneter, dan kondisi lainnya yang dapat dikategorikan sebagai Keadaan Darurat. 

Selain itu, ketentuan mengenai "keadaan bahaya" yang ditentukan dalam pasal 12 lebih menekankan sifat bahaya yang mengancam (dangerous threat), sedangkan "kegentingan memaksa" dalam pasal 22 lebih menekankan aspek kebutuhan hukum terkait persoalan waktu yang terbatas. 

Dalam hal syarat subjektif presiden untuk mengusulkan penetapan Keadaan Darurat kepada MPR, dapat mempertimbanhkan tiga unsur penting, sebagai berikut:[5] 

  1. Unsur ancaman atau bahaya yang membahayakan (dangerous threat);

  2. Unsur kebutuhan yang mengharuskan atau adanya legal necessity yang logis; dan

  3. Unsur keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia.

Sementara itu, menurut guru besar tata negara Universitas Indonesia, Jimly Asshidhidqie, terdapat 4 (empat) hal yang dapat menjadi parameter memberlakukan Keadaan Darurat, sebagai berikut:[4] 

  1. bentuk jenis gangguan atau ancaman yang ditimbulkan oleh kejadian yang bersangkutan; 

  2. daya ancam atau tingkatan bahaya yang ditimbulkan oleh kejadian itu;

  3. kualifikasi tindakan yang diperlukan untuk mengatasi kejadian beserta akibat-akibatnya; 

  4. jenis dan tingkatan peraturan yang perlu dilanggar jika tindakan dimaksud benar-benar harus dilakukan karena tidak terdapat alternatif cara atau tindakan lain yang diharapkan efektif mengatasi keadaan.

Unsur-unsur dan faktor di atas merupakan persyaratan logis untuk diberlakukannya Keadaan Darurat dengan tindakan-tindakan yang berada di luar norma hukum yang berlaku dalam keadaan normal (ordinary law). Namun, masih terdapat hal lain yang perlu menjadi tolok ukur dari pemberlakuan Keadaan Darurat, khususnya pasca putusan TAP MPR, yaitu: (a) siapa saja yang menjadi pelaksana kekuasaan negara dalam Keadaan Darurat; dan (b) lingkup daerah  berlakunya Keadaan Darurat (territorial limitation); dan (c) bagaimana mengakhiri Keadaan Darurat yang yaitu dengan dideklarasikan kembali keadaan normal oleh Presiden (jangka waktu pemberlakuan).

3. Inisiasi Peraturan Darurat (Perdar) sebagai Produk Hukum di Bawah UUD 1945 yang Mengatur Keadaan Darurat

Di atas telah diuraikan bahwa pernyataan Keadaan Darurat tidak mungkin dituangkan dalam undang-undang. Karenakeadaan daruat tidak memgkinkan antara ekskuti dan legislatif untuk membahasnya bersama, maka presiden dapat menetapkan secara sepihak tanpa didahului oleh persetujuan parlemen atau DPR. Untuk itu, apabila TAP MPR tentang Keadaan Darurat bertujuan untuk menetapkan Keadaan Darurat yang berarti bersifat beschikking (penetapan), maka Peraturan Darurat (Perdar) akan menjadi produk hukum dari pengaturan keadaan daruat yang bersifat regeling (pengaturan). Mengingat bahwa dalam Keadaan Darurat baik bentuk maupun isi norma hukum esensinya bersifat khusus dan sementara. Untuk itu, Perdar ini adalah produk hukum yang mengatur Keadaan Darurat yang bersifat khusus dan sementara.

Dalam Keadaan Darurat, dapat berlaku doktrin "Abnormal recht voor abnormal tijd" dimana norma yang semula tidak sah dapat dianggap sah atau "onrecht world recht", termasuk apabila diperlukan melanggar, mengurangi, ataupun menunda berlakunya jaminan-jaminan hak-hak asasi manusia tertentu. Namun dalam menentukan pengaturan melalui Perdar haruslah berdasarkan kasus per kasus. Sebagai contoh, bencana Tsunami di Aceh meskipun hanya pada darurat sipil dalam tingkat lokal (daerah), namun dapat dipandang memenuhi syarat untuk pemberlakuan Keadaan Darurat nasional demi upaya mobilisasi segala sumber daya yang diperlukan untuk mengatasi keadaan tersebut. Oleh karena itu, menurut analisis penulis, dalam Perdar ini akan mengatur: (i) hal-hal yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan pemerintahan negara dalam keadaan darurat itu; dan (ii) materi yang hendak diatur dan yang bersifat mengubah materi undang-undang. Dengan demikian, dalam kondisi negara dalam Keadaan Darurat atau bahaya, sumber hukum atat negara yang berlaku adalah:

  1. UUD 1945.

  2. Pernyataan, deklarasi, atau proklamasi keadaan bahaya dalam bentuk TAP MPR Darurat.

  3. Peraturan Darurat.

  4. Peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang;

  5. Peraturan lain yang ditetapkan oleh penguasa Keadaan Darurat sesuai dengan kebutuhan praktik.

  6. Peraturan perundang-undangan lain dari masa sebelumnya Keadaan Daruat dianggap masih tetap berlaku.

b. Studi Komparasi Konstitusi Negara-Negara Lain dalam Muatan Hukum Tata Negara Darurat 

  1. Uruguay

Keadaan Darurat di Uruguay diatur secara tegas dalam konstitusinya pada Uruguay's Constitution of 1966. Dalam konstitusi tersebut terdapat dua Keadaan Darurat yaitu 'state of internal war' dan 'state if suspension of individual security'. State of internal war atau keadaan perang dalam negeri mencakup perang saudara dan konflik bersenjata di dalam negeri sendiri. Sementara, state of suspension of individual security dimaksudkan sebagai Keadaan Darurat di mana hak-hak asasi manusia yang tertentu di bidang keselamatan ditangguhkan jaminan konstitusionalnya.[6] 

  1. Amerika Serikat

Hukum yang berlaku dalam keadaan darurat itu disebut Martial Law. Wujud penerapan martial law tersebut dapat diidentifikasikan dalam empat hal berikut, yaitu: (1) kewenangan presiden untuk mendeklarasikan Keadaan Darurat; (2) judicial review atas keputusan dan peraturan yang dikeluarkan dalam Keadaan Darurat; penggunaan pengadilan militer di daerah-daerah yang diberlakukan Keadaan Darurat; dan (iv) pembatasan-pembatasan yang dibebankan atas kebebasan individu warga negara setelah Keadaan Darurat diberlakukan.[7]

  1. India

Dalam Constitution of India, ketentuan pemberlakuan Keadaan Darurat diatur cukup terperinci. Menurut Artikel 352, jika presiden menganggap telah terjadi Keadaan Darurat yang serius yang mengancam India atau sebagian wilayah India apakah oleh perang, agresi, atau gangguan internal, presiden dapat dengan proklamasi membuat pernyataan Keadaan Darurat. Deklarasi Keadaan Darurat itu (a) boleh diberlakukan dengan pernyataan proklamasi; (b) harus disampaikan kepada kedua kamar parlemen (House of People dan Council of States); (c) akan berakhir dalam waktu dua bulan, kecuali apabila sebelum habis masanya, Keadaan Darurat itu mendapat persetujuan kedua kamar parlemen untuk diakhiri.[8] 

Lebih lanjut, Artikel 353 menentukan selama Keadaan Darurat diberlakukan, pemerintahan eksekutif pusat berwenang memberikan arahan atau bimbingan kepada setiap negara bagian atau provinsi mengenai cara bagaimana fungsi-fungsi pemerintahan di daerah harus diselenggarakan atau dijalankan. Parlemen berwenang untuk membuat UU atau peraturan daerah/negara bagian berkenaan dengan semua hal yang diperlukan yang mencakup pemberian kewenangan dan tugas-tugas kepada pemerintahan terkait meskipun hal tersebut tidak tercantum sebagai kewenangan eksplisit dalam konstitusi sebagai kewenangannya.

  1. Hungaria

Dalam UUD Hungaria ditentukan bahwa National Assembly dapat menyatakan atau mendeklarasikan Keadaan Darurat apabila terjadi: (i) armed rebellion (pemberontakan bersenjata); (ii) natural disaster (bencana alam); dan (iii) industrial disaster (bencana industri). Keadaan Darurat itu hanya berlaku selama 30 (tiga puluh) hari sejak dinyatakan, dan dapat diperpanjang apabila sungguh-sungguh diperlukan.[9] National Assembly di Hungaria sama halnya dengan MPR RI di Indonesia dan menimbang Hungaria yang merupakan negara kesatuan membuat adanya persamaan dengan bentuk negara Indonesia.

C. PENUTUP

Dalam Keadaan Darurat berlaku norma-norma yang juga bersifat khusus yang perlu diatur tersendiri sebagaimana mestinya. Baik syarat-syaratnya, tata cara pemberlakuannya dan tata cara mengakhirinya. Hal ini perlu diatur secara tegas dalam UUD 1945 sebagai dasar konstitusi negara Indonesia. Namun, hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengaturannya adalah (a) kewenangan dalam menyatakan Keadaan Darurat (Declaration of State Emergency); (b) Pengaturan Ketentuan Pemberlakuan Keadaan Darurat; dan (c) Inisiasi Peraturan Darurat (Perdar) sebagai legalitas pengaturan Keadaan Darurat di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan pengaturan hal-hal tersebut melalui UUD 1945, diharapkan dapat membentuk materi muatan ketatanegaraan darurat yang komprehensif di Indonesia kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, “Ketentuan Konstitusional Pemberlakuan Keadaan Darurat dalam Suatu Negara,” Jurnal Konstitusi 6, no. 1 (2009), hlm. 41.

[2] Marwiyah, et al., “Constitutional Authority of the President of Establishing the Government Regulation in Law of Legislation (PERPPU) State of Emergency,” Journal of Law, Policy and Globalization 34, no. 1 (2015), hlm. 109.

[3] Sihombing, H. Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1996), hlm. 36.

[4] Asshiddiqie, J. Hukum Tata Negara Darurat (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 225.

[5] Muhammad Syarif, “Hakekat Keadaan Darurat Negara (State Of Emergency) sebagai Dasar Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,” Jurnal Hukum 18, no. 2 (2011), hlm. 234.

[6] Uruguay, Uruguay's Constitution of 1966 (reinst. 1985, rev. 2004), Ps. 31 jo 253.

[7] William B. “Emergency of the Constituional Law of the United States,” American Journal of Comparative Law 38, no. 1 (1990), hlm. 389.

[8] India, Constitutional Law of India, Ps.352.

[9] Hungaria, Hungary's Constitution of 2011 Law.

Prodjodikoro, W. Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia (Jakarta: Dian Rakyat, 1998).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun