Mohon tunggu...
Anis alya
Anis alya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

...

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Book Review Hukum Islam (Dinamika Seputar Hukum Keluarga)

18 Maret 2024   16:55 Diperbarui: 18 Maret 2024   20:02 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dibahas juga dalam bab ini tentang masa iddah bagi perempuan. Masa iddah perempuan yaitu:

Iddah perempuan hamil yang ditalak adalah sampai melahirkan, sedangkan iddah yang dikarenakan kematian adalah sampai melahirkan, jika kurang dari 4 bulan 10 hari maka harus dipenuhi. Iddah bagi wanita yang masih haid karena talak adalah 3 kali quru’, sedangkan yang ditinggal mati adalah 4 bulan 10 hari. Iddah bagi perempuan yang sudah menopause karena talak adalah 3 bulan, sedangkan karena kematian adalah 4 bulan 10 hari. Iddah bagi perempuan yang belum dicampuri karena talak yaitu tidak ada masa iddah, sedangkan karena kematian adalah 4 bulan 10 hari. 

Rujuk berarti kembali kepada wanita yang telah diceraikan, baik dalam masa iddah maupun setelah wanita tersebut menikah dengan orang lain dan bercerai lagi. Menurut Pasal 163 KHI. Prosedur Rujuk diatur dalam pasal 67 KHI. Ketika pasangan bercerai, ibu lebih berhak atas hak asuh anak selama tidak ada alasan yang menghalangi ibu untuk memiliki hak asuh anak atau karena anak tersebut dapat memilih dengan siapa ia ingin tinggal. Masalah ini diatur dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam. Jika seorang ibu meninggal dunia ataupun terbukti tidak mampu mengasuh anak, pengasuhan anak dialihkan kepada orang lain sesuai ketentuan Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam. Jika menurut putusan pengadilan agama, hak asuh anak diserahkan kepada salah satu pihak yang diakui secara hukum, sebagai konsekuensi hukumnya, wali dari anak tersebut berkewajiban untuk mengurus beberapa hal yang berkaitan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pasal 106 KHI.

Bab V Membahas Harta Kekayaan Daalm Hukum Perkawinan Islam

Secara yuridis formal harta kekayaan dalam perkawinan diatur pada UU perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan juga diatur di dalam buku I Kompilasi Hukum Islam. Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) harta asal disebut dengan harta bawaan pembahasan ini dapat dilihat pada pasal 87 ayat 1. Sedangkan menurut UU perkawinancnomor 1 Tahun 1974 dilihat pada pasal 35 ayat 2.

Penghasilan yang berasal dari aset awal istri tidak diragukan lagi dianggap sebagai komponen dari aset awal tersebut, termasuk mahar yang ia terima dari suaminya atau warisan yang ia terima saat mereka menikah. Sementara itu, aset awal suami dianggap sebagai modal yang ia butuhkan untuk menghidupi keluarganya. 

Ketika sebuah ijab qabul pernikahan telah ucapkan, harta bersama juga dikenal sebagai harta gono-gini. UU No. 1 Tahun 1974 yang mengatur hukum perkawinan mengatur harta bersama dalam pernikahan di Indonesia. Pasal 35, 36, dan 37 Bab VII. Dalam KUH Per. data Pasal 119, definisi harta bersama yaitu, sejak saat dilaksanakannya perkawinan. Di sisi lain, Pasal 1 huruf e Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang hukum harta bersama. Pasal ini menyatakan bahwa harta yang didapatkan secara individi atau bersama oleh suami dan istri selama pernikahan mereka dikenal sebagai syirkah, atau harta bersama. Pasal ini tidak meragukan properti yang terdaftar atas nama orang lain. Harta yang diperoleh selama pernikahan - sebagai lawan dari hadiah atau warisan - disebut sebagai harta bersama. Yang penting untuk diingat adalah bahwa semua properti yang diperoleh selama pernikahan, terlepas dari apakah itu diperoleh dari usaha suami atau istri, adalah properti bersama. Namun, harta pribadi suami atau istri adalah hibah atau warisan. Dalam sebuah pernikahan, perbedaan antara harta asal dan harta bersama diperlukan untuk memastikan bagian masing-masing pasangan atas harta tersebut, sedangkan dalam warisan, perlu untuk memastikan apakah aset tersebut termasuk dalam kategori warisan. Pasal 89 dari Kompilasi hukum Islam menyatakan bahwa suami dan istri bertanggungjawab untuk memelihara harta bersama. Pengadilan Agama memiliki yuridikasi atas sengketa yang melibatkan pembagian harta gono-gini. Namun, jika terjadi perceraian pasangan suami istri, masalah gono-gini, atau harta bersama, diselesaikan melalui diskusi atau negosiasi, dan pembagiannya kemudian dapat diputuskan sesuai dengan kerelaan atau kesepakatan para pihak. Sementara itu, pasal 94 KHI mengatur tentang harta bersama dalam pernikahan poligami. 

BAB VI Membahas Hukum Waris IsIam

Hukum waris Islam memuat peraturan mengenai pembagian harta warisan orang yang meninggal dan menentukan ahli waris yang berhak menerimanya. Bidang studi ini juga mengkaji setiap aspek warisan dalam sudut pandang keyakinan Islam. Hukum waris Islam didasarkan pada lima prinsip, yang meliputi: 

1. Asas Ijbari. Bahwa harta benda berpindah secara otomatis dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya sesuai dengan kehendak Allah.

2. Asas bilateral. Gagasan ini menyoroti bahwa diwarisi atau mewarisi sesuatu, tidak tergantung pada jenis kelamin seseorang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun