Mohon tunggu...
Anis alya
Anis alya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

...

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Book Review Hukum Islam (Dinamika Seputar Hukum Keluarga)

18 Maret 2024   16:55 Diperbarui: 18 Maret 2024   20:02 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul Buku: Hukum Islam Dinamika Seputar Hukum Keluarga

Penulis : Aulia Muthiah, S.H, M.H.

Penerbit: Pustaka Baru Press

Tahun Terbit: 2017

Cetakan: 2021

Abstract: 

Kajian Hukum Islam dalam buku ini difokuskan pada perdebatan Hukum Keluarga yang terkait dengan Hukum pernikahan, hukum kewarisan, harta kekayaan dalam perkawinan, wasiat dan hibah. Teori tersebut didasarkan pada pendapat para fuqaha yang kemudian diintegrasikan oleh penulis dengan setiap aturan yang terdapat pada Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hukum keluarga mempunyai tujuan membuat aturan yang mengatur hubungan antar anggota keluarga. Oleh karena itu, hukum keluarga adalah hukum yang berkaitan dengan hubungan antara orang dan anggota keluarga, mulai dari pernikahan hingga berakhirnya pernikahan karena kematian atau perceraian. Namun, tidak semua orang memahami dengan cara yang sama terkait persepsi nilai dalam hukum keluarga, sehingga pada dasarnya tujuan hukum keluarga adalah untuk mendefinisikan benar dan salah dari sudut pandang etika. Hukum Islam di Indonesia tentunya mempunyai kekuatan hukum yang tidak dapat dielakkan atau dianggap remeh. Hukum ini akan mengatur setiap aspek kehidupan untuk menyelenggarakan kehidupan yang baik. Dasar hukum tersebut adalah UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), Keputusan Presiden Nomor 1 Thn. 1991 yang digunakan oleh peradilan agama dalam perkara perselisihan masalah umat Islam.

Keywords: Hukum; Islam;Keluarga; Perkawinan.

Introduction

      Pada dasarnya tujuan hukum keluarga adalah untuk mendefinisikan benar dan salah dari sudut pandang etika. Kata keluarga terbentuk karena hubungan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita, sehingga menumbuhkan kekeluargaan, yang kemudian terdapat perbedaan berdasarkan hubungan darah atau hubungan suami dan istri, dan juga akan timbul hubungan waris. Hal ini merupakan hal yang wajar dalam hukum keluarga. Ini juga merupakan salah satu masalah Negara yang perlu diatur oleh hukum positif.

       Di Indonesia perkembangan hukum keluarga Islam cukup berkembang. Sebagai sebuah hukum, hukum Islam pun mempunyai asal muasal di balik pemberlakuannya. Hukum Islam di Indonesia tentunya mempunyai kekuatan hukum yang tidak bisa dielakkan atau dianggap remeh. Hukum ini akan mengatur setiap aspek kehidupan untuk menyelenggarakan kehidupan yang lurus. Sumber hukum yang dimaksud adalah UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), Keputusan Presiden Nomor 1 Thn. 1991 yang digunakan oleh peradilan agama dalam perkara perselisihan masalah umat Islam.

      Dikarenakan hukum Islam dapat beradaptasi dengan sistem hukum sipil sebagai suatu sistem hukum dan juga karena hadirnya KHI sebagai sistem yang mengarahkan inovasi atau pengembangan hukum Islam, maka perkembangan hukum Islam ini cukup terbuka di Indonesia. 

    Penulis membagi buku setebal 240 halaman ini secara terstruktur ke dalam 9 (sembilan) bab untuk memudahkan pembaca. 9 (sembilan) bab tersebut diantaranya adalah kajian teoritis hukum Islam, kompilasi hukum Islam (KHI) sebagai hukum positif di Indonesia, hukum perkawinan, perceraian dan akibatnya dalam hukum, harta kekayaan dalam hukum perkawinan Islam, hukum waris islam, penyelesaian berbagai kasus hukum waris Islam di Indonesia, pelaksanaan wasiat pada hukum waris islam, hibah dan hubungannya dengan hukum waris islam.

Di bab awal buku ini membahas Kajian Teoritis Hukum Islam

Islam, sebagai sebuah agama, berfungsi sebagai fondasi hukum Islam. Islam adalah sistem yang komprehensif berdasarkan Al-Quran, yang memandu kehidupan spiritual dan material. Islam didasarkan pada ajaran Nabi, yang mencakup aqidah, akhlak, dan juga syariah. Hal ini didasarkan pada tiga sumber utama: al-Qur'an, Sunnah, dan Ijtihad. Sebagai teks yang paling penting dalam Islam, Al-Qur’am memandu ajaran Islam dalam berbagai aspek seperti struktur tubuh manusia, ajaran Nabi Muhammad SAW, ajaran Ijtihad, dan ajaran Hadis. Tujuan utama Islam adalah untuk memastikan kesejahteraan semua orang, baik di dunia maupun di tempat tinggal mereka, dengan mengakui hak-hak mereka dan memberikan tindakan yang diperlukan untuk membantu mereka dalam masalah ini.

Bab 2 Membahas Kompilasi Hukum Islam

Gagasan Kompilasi Hukum Islam muncul sesudah Mahkamah Agung membina bidang yudisial Pengadilan Agama. Tugas ini berdasarkan pada UU Nomor 14 Tahun 1970. Selama pembinaan teknis justicial Pengadilan Agama oleh MA dirasakan adanya kelemahan, seperti permasalahan hukum Islam yang digunakan di Pengadilan Agama yang cenderung simpang siur akibat adanya pendapat para Ulama yang berbeda hampir di semua masalah. Hadirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai hukum materiil bagi Pengadilan Agama telah lama menjadi ide dan upaya Kementerian Agama. Al-Qur'an dan as-Sunnah merupakan sumber utama yang digunakan untuk membuat KHI. 

Panitia perumus selalu mempertimbangkan asbabul wurud sebuah hadis dan asbabun nuzul sebuah ayat dalam Al Qur'an ketika merumuskan garis-garis hukum dari Al Qur'an dan Sunnah. Para perumus KHI menggunakan materi dari penalaran fuqaha yang terdapat dalam beberapa kitab fikih yang telah mereka pelajari melalui jalur pertama sebagai sumber kedua. Kaidah fikih al-adah muhakkamah, yang menyatakan bahwa adat kebiasaan yang baik dapat dianggap sebagai hukum Islam, juga digunakan oleh para perumus KHI. Para hakim agung, cendekiawan Muslim, ulama, dan birokrat dari Kementerian Agama adalah empat pihak yang terlibat dalam pembentukan KHI. Kajian teks-teks fikih Islam merupakan langkah awal dalam proses penyusunan KHI. Para ulama di sepuluh ibukota provinsi di Indonesia akan menunjukkan koherensi dengan kaidah hukum yang berjalan di masyarakat pada langkah kedua. Tahap ketiga adalah meninjau kembali kasus-kasus Pengadilan Agama dari zaman Hindia Belanda hingga penyusunan KHI. Analisis komparatif mengenai penerapan hukum Islam yang ditegakkan di berbagai negara Muslim merupakan langkah keempat.

Hanya tiga bagian dari hukum materiil Islam-hukum perkawinan (munakahat), hukum waris (faraidh), dan hukum wakaf yang dimasukkan ke dalam kompilasi hukum Islam ini. 

Bab III Membahas Mengenai Hukum Perkawinan

Tahap awal pernikahan dalam hukum Islam adalah lamaran atau khitbah, di mana seorang pria memahami seorang wanita dari keluarganya atau menyatakan cinta padanya. Proses ini bersumber pada Q.S. Al-Baqarah ayat 235 dan KHI Pasal 13. Wanita yang boleh dikhitbah dijelaskan dalam pasal 12 KHI. Khitbah tidak membahas hak dan kewajiban pihak pira dan wanita, karena belum adanya akad nikah. Jika khitbah dibatalkan, para fuqaha sepakat bahwa peminang dapat meminta mahar kembali. Selama ijab qabul belum sepenuhnya dilaksanakan, mahar masih menjadi milik peminang.

Pernikahan merupakan ikatan yang mempersatukan pria dan wanita untuk membentuk sebuah keluarga yang bahagia. Hukum perkawinan dalam KHI mengandung tujuh asas, antara lain: asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal; asas sahnya perkawinan didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan; asas monogami terbuka; asas calon suami dan calon istri telah masak jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan; asas mempersulit terjadinya perceraian; asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri; dan asas pencatatan pernikahan. Asas-asas tersebut merupakan tujuan pernikahan yang disebutkan dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam. Dalam rangka mewujudkan keluarga yang bahagia, ikatan pernikahan ini memiliki konsekuensi hukum setelah seorang pria mengucapkan ijab qabul, kemudian timbullah hak dan kewajiban para pihak.

Harus terpenuhinya syarat dan rukun pernikahan oleh calon pengantin sebelum melakukan pernikahan. Menurut mayoritas ulama, rukun nikah ada lima, yaitu calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab kabul. Masing-masing rukun tersebut memiliki syarat-syarat tertentu, yaitu: 

Calon suami, syarat-syaratnya :

1) Beragama Islam.

2) Laki-laki, musykil

3) Jelas identitas orangnya dan berada ditempat saat akan dilaksanakan akad pernikahan. 

4) Dapat memberikan persetujuan, berakal, memahami makna pernikahan dan ijab qabul yang akan diucapkan.

5) Tidak terdapat halangan perkawinan.

Calon Isteri, syarat-syaratnya:

1) Beragama Islam

2) Perempuan, musykil

3) Jelas identitas orangnya 

4) Dapat dimintai persetujuannya, berakal, tidak gila memahami setiap makna dari perkawinan itu.

5) Tidak terdapat halangan perkawinan

Terkait umur pasangan calon pengantin diatur dalam pasal 15 ayat 1 KHI. 

Syarat wali nikah:

1) Laki-laki.

2) Beragama Islam

3) Dewasa

4) Mempunyai hak perwalian.

Syarat saksi nikah:

1) Minimal dua orang laki-laki.

2) Hadir dalam ijab qabul.

3) Dapat mengerti maksud akad.

4) Islam dan adil.

5) Dewasa, berakal, tidak terganggu ingatan, tidak tuna rungu atau tuli.

Ijab kabul, syarat-syaratnya:

1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.

2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai.

3) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut.

4) Antara ijab dan qabul bersambungan.

5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya.

6) Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah.

Salah satu hak pertama yang dimiliki perempuan adalah menerima mahar dari suaminya. Mahar artinya nafkah awal yang wajib dibayarkan suami kepada istri sebelum nafkah rutin dimulai. KHI memberikan pengertian mahar sesuai dengan Pasal 1 huruf d. Mahar adalah pemberian wajib yang ditetapkan syariat yang diberikan oleh seorang laki-laki yang menikahi seorang perempuan. Mahar bertujuan mengangkat derajat perempuan dan menekankan pentingnya akad nikah. Fuqaha bersepakat bahwa tidak ada batasan mahar dan tergantung pada kemampuan suami. Kompilasi Hukum Islam menjelaskan cara menentukan mahar dalam pasal 31.

Pembatalan pernikahan berlaku untuk semua jenis pernikahan yang tidak sah, baik itu nikahul fasid maupun nikahul batil. Salah satu penyebab nikahul fasid adalah ketika seorang pria menikahi seorang wanita yang dilarang untuk dinikahi, baik untuk sementara maupun permanen. Alasan-alasan keharaman wanita untuk selamanya antara lain karena hubungan darah, hubungan perkawinan, dan hubungan persusuan, sebagaimana diatur dalam pasal 39 KHI. Di sisi lain, perempuan yang dilarang menikah untuk sementara waktu dijabarkan dalam pasal 40 KHI, seperti perempuan yang masih ada ikatan pernikahan dengan laki-laki lain, perempuan yang sedang masa iddah, atau perempuan yang beragama selain Islam.

Jika suatu saat terdapat kekeliruan dari syarat sahnya perkawinan, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Pembatalan pernikahan akan mengakhiri ikatan pernikahan yang ada. Menurut Pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974, "Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan." Akibat hukum dari pembatalan perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 juncto Pasal 75 Kompilasi Hukum Islam meliputi berbagai dampak bagi suami dan istri. 

Terjadinya akad nikah tentunya akan menimbulkan banyak akibat, antara lain: mahar; hak suami, hak istri; Kewajiban suami, kewajiban istri. Kewajiban suami dalam perkawinan dijelaskan dalam Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam. Menurut Prof. Dr. Hj Huzaemah T Yango, M.A¹¹ dalam bukunya Fiqih Perempuan Kontemporer, hak istri diantaranya yaitu: Mengambil mahar dan nafkah dari suami, diperlakukan baik oleh suami, dirawat dan diasuh oleh suami. Kewajiban istri dijelaskan dalam Pasal 83 Kompilasi Hukum Islam. Selain hak dan kewajiban suami istri, ada pula beberapa hal yang merupakan hak bersama, yaitu:

1. Halalnya pergaulan sebagai suami isteri

2. Perlakuan dan pergaulan yang baik.

3. Haram musaharah, yaitu istri haram dinikahi oleh ayah suaminya, datuknya, anaknya dan cucunya, begitu juga ibu isteri anak perempuannya dan seluruh cucunya haram dinikahi oleh suaminya.

4. Saling mewarisi.

5. Sahnya menasabkan anak kepada suami.

Poligami adalah pernikahan yang didedikasikan untuk seseorang yang memiliki lebih dari satu pasangan dalam kehidupan keluarganya. Peraturan Islam menetapkan poligami sebagai tindakan yang dibolehkan atau mubah, dan juga dibatasi paling banyak 4 orang istri. Dalam poligami, seorang suami diwajibkan untuk berlaku adil kepada semua istrinya. Landasan hukum poligami terdapat dalam surat An-Nisa ayat 3. Dalam kehidupan sehari-hari, kewajiban seorang suami yang beristri lebih dari satu orang telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 82.

Kemudian bab ini juga membahas tentang nusyuz. Menurut pasal 80 KHI yang telah disebutkan diatas kewajiban suami terhadap isteri akan gugur jika isteri nusyuz. Adapun perilaku isteri yang dianggap nusyuz adalah:

1. Jika suami telah menyediakan rumah yang sesuai dengan kemampuan suami, tetapi isteri tidak mau pindah ke rumah itu

2. Isteri meninggalkan rumah tanpa izin suami

3. Isteri yang bepergian tanpa izin suami

4. Isteri yang menolak diajak ke tempat tidur

5. Isteri yang melakukan perselingkuhan.

Perjanjian pra nikah juga termasuk dalam bahasan pada bab ini. Pasal 45 Kompilasi Hukum Islam membahas perjanjian perkawinan dan menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat oleh suami dan istri dapat diberlakukan asalkan tidak mengandung unsur keterpaksaan atau melanggar hukum Islam. Pasal 48 KHI membahas perjanjian perkawinan dalam kaitannya dengan harta, termasuk harta yang didapatkan sebelum pernikahan (harta bawaan) dan harta yang diperoleh setelah pernikahan (harta bersama). Namun, KHI memperbolehkan suami dan istri untuk membuat perjanjian tersebut selama tidak melanggar hukum Islam.

Bab IV Membahas Perceraian Dan Akibatnya Dalam Hukum Perkawinan

Menurut Pasal 113 KUH Perdata, perkawinan dapat dibubarkan karena ditinggal mati, perceraian, dan putusan pengadilan. Jika salah satu pasangan meninggal dunia, pernikahan secara otomatis bubar, dan pihak lain mewarisi harta pasangannya. Perceraian memiliki arti yang sama dengan talaq, yang berarti pelepasan atau perpisahan. Melepaskan ikatan pernikahan berarti mengakhiri hubungan antara suami dan istri. Hukum perceraian dalam Islam sering menimbulkan kesalahpahaman, seolah-olah agama Islam memberikan hak yang lebih besar kepada pria daripada wanita. Perceraian boleh dilakukan hanya karena mengandung unsur maslahatan, jika semua jalan damai antara suami istri yang berperkara tidak ada titik temu. Islam memberikan kebebasan penuh kepada kedua belah pihak untuk mempertimbangkan segala sesuatunya secara matang dalam batas-batas yang dapat dipertanggungjawabkan. Hukum Islam memberikan hak mutlak kepada seorang pria untuk menceraikan istrinya, namun seorang wanita juga memiliki hak untuk menceraikan suaminya. Dalam sistem hukum Islam di Indonesia, ketika seorang pria menceraikan istrinya, itu disebut permohonan cerai, dan ketika seorang wanita berniat menceraikan suaminya, itu disebut cerai gugat. 

Dilihat dari berat ringannya talak yaitu: pertama, Talak Raj'i yaitu suami menjatuhkan talak kepada isteri yang telah dicampuri. Suami dapat langsung kembali kepada isterinya yang dalam masa iddah tanpa harus melakukan akad nikah yang baru. Kedua, Talak ba'in adalah talak yang tidak dapat dirujuk oleh suami, kecuali dengan perkawinan yang baru walaupun sedang masa iddah. Talak ba'in terbagi menjadi dua macam, talak ba'in sughra yaitu pernikahan dapat terputus dengan talak ini, artinya jika isteri telah ditalak, setelah masa iddah selesai isteri dianggap bebas dalam menentukan pilihannya.Suami pertama dapat rujuk dengan ijab qabul pernikahan yang baru, dan talak ba'in kubra adalah talak yang membuat suami tidak dapat rujuk dengan isterinya kecuali isterinya telah bercerai dengan laki-laki lain dalam pernikahan kedua. Ketiga, Talak khulu' sama dengan talak tebus (iwadh) yang berarti talak yang diucapakan suami dengan pembayaran dari pihak isteri kepada suami. 

Perceraian dengan keputusan hakim di pengadilan agama dapat disebut dengan fasakh. Kamal Mukhtar mendefinisikan fasakh sebagai penghapusan atau pembatalan, yang berarti perceraian yang disebabkan terjadinya keadaan yang oleh suami atau isteri atau keduanya dianggap penting, sehingga tidak dapat memenuhi kehidupan suami isteri untuk tujuan rumah tangga. 

Salah satu putusnya perkawinan juga ada li'an. Ketentuan Hukum Lian adalah jika seorang pria menuduh istrinya berzina, tetapi istrinya tidak mau mengakuinya dan pria tersebut tidak mau mencabut tuduhannya, maka Allah mengharuskan adanya kenajisan bagi keduanya. Menurut Pasal 125 KHI, li'an menyebabkan putusnya perkawinan. Li'an dapat terjadi jika, pertama, seorang suami menuduh istrinya berzina, tetapi suami tidak memiliki empat orang saksi yang dapat memastikan kebenaran tuduhannya. Prosedur li'an berdasarkan perintah pengadilan agama tertuang dalam pasal 127 KHI. 

Dibahas juga dalam bab ini tentang masa iddah bagi perempuan. Masa iddah perempuan yaitu:

Iddah perempuan hamil yang ditalak adalah sampai melahirkan, sedangkan iddah yang dikarenakan kematian adalah sampai melahirkan, jika kurang dari 4 bulan 10 hari maka harus dipenuhi. Iddah bagi wanita yang masih haid karena talak adalah 3 kali quru’, sedangkan yang ditinggal mati adalah 4 bulan 10 hari. Iddah bagi perempuan yang sudah menopause karena talak adalah 3 bulan, sedangkan karena kematian adalah 4 bulan 10 hari. Iddah bagi perempuan yang belum dicampuri karena talak yaitu tidak ada masa iddah, sedangkan karena kematian adalah 4 bulan 10 hari. 

Rujuk berarti kembali kepada wanita yang telah diceraikan, baik dalam masa iddah maupun setelah wanita tersebut menikah dengan orang lain dan bercerai lagi. Menurut Pasal 163 KHI. Prosedur Rujuk diatur dalam pasal 67 KHI. Ketika pasangan bercerai, ibu lebih berhak atas hak asuh anak selama tidak ada alasan yang menghalangi ibu untuk memiliki hak asuh anak atau karena anak tersebut dapat memilih dengan siapa ia ingin tinggal. Masalah ini diatur dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam. Jika seorang ibu meninggal dunia ataupun terbukti tidak mampu mengasuh anak, pengasuhan anak dialihkan kepada orang lain sesuai ketentuan Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam. Jika menurut putusan pengadilan agama, hak asuh anak diserahkan kepada salah satu pihak yang diakui secara hukum, sebagai konsekuensi hukumnya, wali dari anak tersebut berkewajiban untuk mengurus beberapa hal yang berkaitan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pasal 106 KHI.

Bab V Membahas Harta Kekayaan Daalm Hukum Perkawinan Islam

Secara yuridis formal harta kekayaan dalam perkawinan diatur pada UU perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan juga diatur di dalam buku I Kompilasi Hukum Islam. Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) harta asal disebut dengan harta bawaan pembahasan ini dapat dilihat pada pasal 87 ayat 1. Sedangkan menurut UU perkawinancnomor 1 Tahun 1974 dilihat pada pasal 35 ayat 2.

Penghasilan yang berasal dari aset awal istri tidak diragukan lagi dianggap sebagai komponen dari aset awal tersebut, termasuk mahar yang ia terima dari suaminya atau warisan yang ia terima saat mereka menikah. Sementara itu, aset awal suami dianggap sebagai modal yang ia butuhkan untuk menghidupi keluarganya. 

Ketika sebuah ijab qabul pernikahan telah ucapkan, harta bersama juga dikenal sebagai harta gono-gini. UU No. 1 Tahun 1974 yang mengatur hukum perkawinan mengatur harta bersama dalam pernikahan di Indonesia. Pasal 35, 36, dan 37 Bab VII. Dalam KUH Per. data Pasal 119, definisi harta bersama yaitu, sejak saat dilaksanakannya perkawinan. Di sisi lain, Pasal 1 huruf e Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang hukum harta bersama. Pasal ini menyatakan bahwa harta yang didapatkan secara individi atau bersama oleh suami dan istri selama pernikahan mereka dikenal sebagai syirkah, atau harta bersama. Pasal ini tidak meragukan properti yang terdaftar atas nama orang lain. Harta yang diperoleh selama pernikahan - sebagai lawan dari hadiah atau warisan - disebut sebagai harta bersama. Yang penting untuk diingat adalah bahwa semua properti yang diperoleh selama pernikahan, terlepas dari apakah itu diperoleh dari usaha suami atau istri, adalah properti bersama. Namun, harta pribadi suami atau istri adalah hibah atau warisan. Dalam sebuah pernikahan, perbedaan antara harta asal dan harta bersama diperlukan untuk memastikan bagian masing-masing pasangan atas harta tersebut, sedangkan dalam warisan, perlu untuk memastikan apakah aset tersebut termasuk dalam kategori warisan. Pasal 89 dari Kompilasi hukum Islam menyatakan bahwa suami dan istri bertanggungjawab untuk memelihara harta bersama. Pengadilan Agama memiliki yuridikasi atas sengketa yang melibatkan pembagian harta gono-gini. Namun, jika terjadi perceraian pasangan suami istri, masalah gono-gini, atau harta bersama, diselesaikan melalui diskusi atau negosiasi, dan pembagiannya kemudian dapat diputuskan sesuai dengan kerelaan atau kesepakatan para pihak. Sementara itu, pasal 94 KHI mengatur tentang harta bersama dalam pernikahan poligami. 

BAB VI Membahas Hukum Waris IsIam

Hukum waris Islam memuat peraturan mengenai pembagian harta warisan orang yang meninggal dan menentukan ahli waris yang berhak menerimanya. Bidang studi ini juga mengkaji setiap aspek warisan dalam sudut pandang keyakinan Islam. Hukum waris Islam didasarkan pada lima prinsip, yang meliputi: 

1. Asas Ijbari. Bahwa harta benda berpindah secara otomatis dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya sesuai dengan kehendak Allah.

2. Asas bilateral. Gagasan ini menyoroti bahwa diwarisi atau mewarisi sesuatu, tidak tergantung pada jenis kelamin seseorang. 

3. Asas Individual. Asas individual dalam hukum waris Islam berarti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan.

4. Asas keadilan berimbang. Asas ini mengandung arti harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya.

5. Asas semata akibat kematian. Asas ini menggambarkan bahwa hukum waris Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan, yaitu kewarisan sebagai akibat dari adanya kematian dan tidak mengenal atas dasar wasiat yang dibuat saat pewaris masih hidup.

Golongan waris dan bagiannya:

Ashabul furudh adalah para ahli waris yang bagian yang sudah ditentukan oleh ayat-ayat Al-Quran, bagian yang sudah ditentukan adalah 1\2, 2\3, 1\4, 1\8, 1\3, 1\6. 

Ahli waris yang mendapatkan bagian 1\2 adalah sebagai berikut:

- Suami dengan syarat pewaris tidak ada anak.

- Satu anak perempuan dengan syarat anak tunggal, dan pewaris tidak ada anak laki-laki. 

- Satu cucu perempuan dari keturunan laki-laki dengan syarat pewaris tidak ada anak dan cucu laki-laki

- Satu saudara perempuan kandung dengan syarat pewaris tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki, anak perempuan lebih dari seorang, cucu perempuan lebih dari seorang, saudara laki-laki sekandung bapak dan kakek.

- Saudara perempuan seayah dengan syarat pewaris tidak ada (sama dengan syarat huruf d), ditambah dengan saudara perempuan sekandung dan saudara laki-laki sebapak.

Ahli waris yang mendapatkan bagian 2/3 adalah:

- Dua atau lebih anak perempuan dengan syarat pewaris tidak ada anak laki-laki.

- Dua atau lebih cucu perempuan dari keturunan laki-laki dengan syarat pewaris tidak ada anak dan cucu laki-laki.

- Dua atau lebih saudara perempuan kandung dengan syarat pewaris tidak ada anak, cucu, bapak, kakek dan saudara laki- laki kandung.

- Dua atau lebih saudara perempuan seayah dengan syarat pewaris tidak ada anak perempuan kandung, cucu perempuan dari keturunan laki-laki, saudara kandung, bapak, kakek dan saudara seayah.

Ahli waris yang mendapatkan bagian 1\4 adalah:

- Suami dengan syarat pewaris ada anak

- Isteri dengan syarat pewaris tidak ada anak

Ahli waris yang mendapatkan 1\8: 

Isteri dengan syarat pewaris ada anak

Ahli waris yang mendapatkan bagian 1/3 adalah:

- Ibu dengan syarat pewaris tidak ada anak, cucu, dan saudara lebih dari seorang.

- Saudara laki-laki dan perempuan seibu dengan syarat pewaris tidak ada anak, cucu, bapak, dan kakek.

Ahli waris yang mendapatkan bagian 1/6 adalah:

- Ayah dengan syarat pewaris ada anak dan cucu.

- Ibu dengan syarat pewaris ada anak, cucu, dan saudara lebih dari seorang.

- Kakek dengan syarat pewaris ada anak, cucu dan tidak ada ayah.

- Nenek dengan syarat pewaris tidak ada anak, cucu dan tidak ada ibu

- Satu saudara seibu laki-laki atau perempuan dengan syarat pewaris tidak ada anak, cucu, bapak dan kakek.

- Cucu perempuan dari keturunan laki-laki dengan syarat pewaris tidak ada anak laki-laki atau anak perempuan lebih dari seorang.

- Satu saudara perempuan seayah atau lebih dengan syarat pewaris dan satu perempuan kandung dan tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki, bapak saudara laki-laki kandung, dan saudara laki-laki seayah.

      2. Ashabah

Ashabah menurut istilah para fuqaha ialah ahli waris yang tidak disebutkan banyaknya bagian di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan tegas. Ahli waris ashobah dibedakan menjadi 3 golongan yaitu: 

1) Ashobah binafsi (dengan sendirinya)

Anak laki-laki, cucu laki-laki dan seterusnya ke- bawah, ayah, kakek dan seterusnya keatas, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara kandung dan seterusnya kebawah, anak dari saudara seayah dan seterusnya kebawah, paman kandung, paman seayah, anak laki-laki dari paman kandung dan seterusnya kebawah, anak laki-laki dari paman seayah dan seterusnya kebawah.

2) Ashabah Bilghairi (bersama dengan orang lain). Mereka adalah para perempuan yang menjadi ashobah bersama dengan ahli waris laki-laki yang sederajat dengannya. Untuk lebih jelasnya adalah:

- Anak perempuan bersama dengan anak laki-laki

- Cucu perempuan bersama dengan cucu laki-laki. 

- Saudara perempuan kandung bersama dengan saudara laki-laki kandung.

- Saudara perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah. 

3) Ashobab ma'alghairi (karena orang lain) 

-Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) bersama dengan anak perempuan (seorang atau lebih) atau bersamaan dengan cucu perempuan atau lebih. Maka saudara perempuan yang menjadi ashobah ma'al ghair. Sesudah ahli waris yang lain mengambil bagiannya masing-masing.

- Saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih) bersama dengan anak perempuan (seorang atau lebih) atau bersama dengan cucu perempuan (seorang atau lebih). Maka saudara perempuan sebapak menjadi ashobah ma'al ghair.

Dalam KHI, hukum kewarisan Islam diatur dalam buku II yang terdiri dari 6 bab dan terperinci dan 44 pasal.

BAB VII Membahas Penyelesaian Berbagai Kasus Hukum Waris Islam di Indonesia

Pada bab ini membahas tentang penyelesaian berbagai perkara Hukum waris Islam di Indonesia. Terdapat beberapa pembahasan dalam bab ini. Yang pertama yaitu kewajiban anak adopsi dan anak tiri. Anak adopsi tidak dapat menjadi keturunan biologis, dan hak waris tidak akan berpindah kepada mereka. Memiliki anak yang sah adalah salah satu syarat untuk mewarisi sesuatu. Dalam hukum Islam, anak angkat tidak dianggap sebagai ahli waris. Melalui surat wasiat wajibah, anak angkat akan mewarisi harta orang tua angkatnya, dan orang tua angkat akan mewarisi harta anak angkatnya. Wasiat wajibah di Indonesia diatur dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam. Serupa dengan hal ini, anak tiri hanya memiliki ikatan dengan orang tua tunggal mereka; mereka tidak mempunyai genetik dengan pasangan orang tua mereka; namun, karena orang tua mereka menikah, anak tersebut secara otomatis berada di bawah pengasuhan orang tua tirinya. Namun demikian, karena tidak ada hubungan keturunan yang menghasilkan warisan, anak tiri tidak dapat mewarisi properti, meskipun orang tua tiri mereka bertanggung jawab atas mereka selama proses pewarisan. Kedua, Kewarisan kasus mafqud. Mafqud ada dalam dua keadaan: hidup dan mati. Hukum-hukum tertentu berkaitan dengan kedua kondisi tersebut, termasuk hukum-hukum yang berkaitan dengan pernikahannya dengan istrinya, warisannya dari orang lain, warisan orang lain darinya, dan warisan bersama dengan orang lain. Jika pertanyaan apakah dia masih hidup atau sudah mati tidak dapat dijawab, maka harus ditetapkan batas waktu untuk memastikan keberadaannya dan memberikan waktu untuk mencari pasangannya. Ketiga, Kewarisan anak luar kawin, mengenai hal tersebut ada dalam pasal 100&186 Kompilasi Hukum Islam. Keempat, waris pengganti ada kajian Kompilasi Hukum Islam. Ahli waris pengganti dalam Hukum Waris Islam terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 185 ayat 1 dan 2 KHI. 

Bab VIII Membahas Pelaksanaan Wasiat Pada Hukum Waris Islam

Bab ini membahas tentang pelaksanaan wasiat pada Hukum waris Islam. Wasiat merupakan pernyataan seseorang kepada orang lain untuk memberi hartanya, membebaskan hutang atau memberikan manfaat suatu barang miliknya setelah meninggal dunia. Ayat al-Qur'an yang menerangkan tentang wasiat ada pada Q.S. Al-Baqarah ayat 180-181 dan Q.S. Al-Maidah ayat 106. Dalam melaksanakan wasiat, harus terpenuhinya rukun dan syarat sah wasiat, diantaranya yaitu:

1)pewasiat, orang yang berwasiat diatur dalam pasal 194 KHI

2) penerima wasiat

3) Barang yang diwasiatkan, syaratnya yaitu: pertama, semua harta yang bernilai baik dan terdapat manfaat berupa benda. Kedua, ditentukan pada Pasal 195 ayat 2 KHI. Ketiga, harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat. Keempat, pemilikan terhadap harta benda tersebut baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia. Kelima, ditentukan dalam pasal 198 KHI. 

3) Sighat 

Pembatalan wasiat terdapat penjelasan menurut Kompilasi Hukum Islam yaitu pada pasal 197. Pencabutan wasiat diatur dalam pasal 199 KHI. Larangan wasiat diatur dalam pasal 207 KHI. 

BAB IX Membahas Hibah dan Hubungannya dengan Hukum Waris Islam 

Bab ini membahas hibah dan hubungannya dengan Hukum waris Islam. Hibah dapat berupa pemberian cuma-cuma, dan pemberian ini harus dilakukan pada saat pemberi hibah masih hidup dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi, dan juga merupakan pemahaman satu pihak (tidak bersesuaian), karena yang memberikan hibah seolah-olah hanya satu orang saja yang berkewajiban untuk melaksanakannya.

 Ciri-ciri hibah: :

1. Hibah adalah suatu pemberian dari pihak satu ke pihak yang kedua

2. Pemberi hibah tidak mengharapkan imbalan apapun dari penerima hibah

3. Pelakasanaan hibah harus dilakukan pada masa pemberi dan penerima hibah masih hidup

4. Hibah merupakan perjanjian sepihak karena hanya ada salah satu pihak yang melaksanakan kewajiban (prestasi) yaitu pemberi hibah. 

Dasar Hukum hibah terdapat pada Q.S. al-Maidah ayat 2.

Rukun dan syarat dari hibah adalah:

1. Pemberi hibah. Syaratnya yaitu: 

a) Penghibah adalah orang yang memiliki dengan sempurna sesuatu atas harta yang dihibahkan.

b) Penghibah itu adalah orang yang mursyid

c) Penghibah tidak berada di bawah perwalian orang lain.

d) Penghibah harus bebas tidak ada tekanan dari pihak lain dipaksa karena hibah disyaratkan kerelaan dalam kebebasan.

e) Seseorang melakukan hibah itu dalam mempunyai iradah dan ikhtiar dalam melakukan tindakan atas dasar pilihannya bukan karena dia tidak sadar atau keadaan lainnya. 

2. Harta yang Dihibahkan, syaratnya yaitu: 

a) Barang hibah itu telah ada dalam arti yang sebenarnya waktu hibah dilaksanakan.

b) Barang yang dihibahkan itu adalah barang yang boleh dimiliki secara sah oleh ajaran Islam. c) Harta yang dihibahkan itu dalam kekuasaan yang tidak terikat pada suatu perjanjian dengan pihak lain 

3. Penerima Hibah Orang, syaratnya yaitu : yang bertindak sebagai penerima hibah harus benar- benar sudah ada. 

4. Sighat, syaratnya adalah Ijab Kabul harus didasarkan pada kesepakatan bebas dari para pihak, tanpa adanya unsur paksaan, kekhilafan, atau penipuan. 

Kompilasi Hukum Islam membahas batas maksimal pemberian hibah pada als 210 adalah 1/3 harta yang dimiliki. 

Conclusion

Buku tentang hukum Islam ini berfungsi sebagai sumber daya bagi mahasiswa hukum, mahasiswa Syariah, dan praktisi Hukum yang perlu menerapkan prinsip-prinsip Islam untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum yang melibatkan hukum perkawinan dan warisan. Buku ini juga memberikan pemahaman kepada masyarakat umum untuk mempelajari prinsip-prinsip kedua hukum ini yaitu perkawinan dan kewarisan, yang berusaha untuk mengatur yang benar dan yang salah dalam bidang moral dan etika masyarakat Muslim.

Hukum Islam sebagai solusi potensial untuk beberapa masalah. Pada dasarnya, hukum Islam dimaksudkan untuk mendidik umat Islam sehingga mereka dapat mempraktikkannya. Hukum Islam bersifat solutif, yang berarti bahwa hukum Islam menawarkan jawaban atas berbagai masalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.

Bibliography

Muthiah, Aulia. 2017. Hukum Islam Dinamika Seputar Hukum Keluarga. Bantul: Pustaka Baru Press. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun