Pembahasan mengenai jiwa manusia sudah menjadi bahasan pokok dalam dunia filsafat. Dimulai dari Yunani yang mencoba menganalisa jiwa manusia yaitu Plato. Dalam pandangan Plato jiwa manusia eksis jauh sebelum tubuhnya ada, jiwa tidak akan mati sekalipun tubuh mengalami kehancuran.Â
Plato memandang bahwa badan sebagai penjara bagi jiwa manusia selain sebagai alat dan sarana bagi jiwa. Artinya yang hakiki adalah jiwa bukanlah tubuh, karena semua yang ada di ala mini merupakan bayangan dari alam jiwa yang bukan wujud aslinya sedangkan wujud hakikinya ada pada jiwa yang dikenal dengan sebutan Arketipe. Maka manusia harus beranjak dan meninggalkan alam materi ini untuk menuju pada alam jiwa yang didalamnya terdapat kebahagiaan dan keabadian.
Sejarah perkembangan filsafat Islam tidak luput dari sejarah filsafat Yunani, artinya filsafat islam memiliki ketersambungan dengan filsafat di zaman Yunani. Termasuk pembahasan terkait jiwa manusia. Pandangan Plato tentang jiwa, banyak direspon oleh filosof muslim dengan formulasi yang lebih luas bahkan dalam persepktif yang berbeda. Missal dengan merujuk pada penjelasan-penjelasan Al-Qur'an dan nilai-nilai keislaman.
Imam Al-Ghozali (1058-1111), bahwa jiwa mempunyai sesuatu perbuatan dengan dirinya sediri. Â Hakikatnya, secara umum, jiwa mempunyai dua fungsi: yang satu berhubungan dengan tubuh (mencakup arah atau kontrol terhadapnya), dan yang lain berhubungan dengan prinsip-prinsip dan esensinya (menyangkut pengertian terhadap hal-hal yang dapat dipikirkan [ma'qulat]).Â
Jiwa tidak lenyap sebagaimana lenyapnya tubuh, tubuh hanyalah instrument jiwa dengan berbagai macam fakultas di dalamnya. Maka kehancuran instrument tidak mengakibatkan hancurnya pengguna instrument karena keduanya memiliki alam yang berbeda. Jiwa memiliki dua Tindakan yaitu: 1. Memerlukan Kerjasama dengan instrument dan 2. Tidak membutuhkan bantuan instrument. Oleh karena itu tidak benar jika lenyapnya tubuh lenyapnya jiwa juga.
Menurut ibn Sina (980-1037), jiwa manusia merupakan unit yang terlepas dari badan, namun jiwa akan terus timbul dan tercipta taip badan, yang selaras dengan penerimaan jiwa. Sekalipun jiwa manusia tidak memiliki fungsi fisik tetapi dengan lima panca inderanya atau daya-daya batin dari jiwa binatangnya yang dapat menolong jiwa untuk mendapatkan konsep-konsep dan gagasan-gagasan dari alam sekelilingnya.
Jika jiwa manusia sampai pada titik kesempurnaannya ia tidak butuh lagi pada tubuh, bahkan tubuh hanya menjadi penghalang bagi jiwa untuk actual pada tingkatan yang lebih sempurna. Maka jiwa manusia tidak hancur dengan hancurnya badan.
Jiwa manusia kekal jika mencapai kesempurnaannya sebelum terpisah dari tubuh makai jiwa menemukan kebahagian dan kesenangan, tetapi jika tubuh didominasi oleh hawa nafsu makai ia akan hidup tersesat dan terhimpit dalam kesengsaraan. Artinya penderitaan dan kesengsaraan yang mengikutinya tidaklah kekal karena bergantung pada hubungan aksidental jiwa dengan tubuh, apabila jiwa mampu mengabstraksikan dirinya dari tubuh ia akan menemukan titik kebahagiaannya.
Imam Ar-Razi (854-932), bahwa jiwa jika melampaui hal-hal material pada manusia disitulah letak kebahagiaan saat ini dan yang akan datang, jiwa memiliki otoritas terhadap tubuh dikondisikan oleh hubungan jiwa dengan tubuh.
 Dalam pandangan Ar-Razi jiwa manusia menerima menifestasi pancaran cahaya suci ilahiyah tergantung hubungan jiwa dengan tubuh, hubungan ini bisa berbentuk dua arah yaitu, jiwa pada hal material dan jiwa pada nilai-nilai ilahiyah sedangkan yang menjadi penerang bagi jiwa adalah nilai-nilai ilahiyah. Maka perhatian pada hal-hal yang memiliki nilai ilahiyah dapat menerangi jiwa sedangkan dunia material hanya membuat manusia tersesat. Dengan demikian pengetahuan allah yang membawa pada jalan-jalan kebahagiaan melalui pengetahuan.
Begituah pengertian jiwa dari beberapa filsof Yunani dan Islam yang pada intinya mereka memeiliki kesimpulan yang sama bahwa puncak kesempurnaan manusia ada pada jiwanya yang aktual, bahwa manusia harus menggapai kesempurnaan tersebut agar mendapatkan puncak kesempurnaan dan kebahagiaan yang hakiki. Artinya Sebagian filosof di atas meletakkan jiwa pada posisi tertinggi pada diri manusia yang tidak terbatas pada hal-hal material dengan pendapat mereka masing-masing.
Namun yang menjadi pertanyaan besar, "bagaimana jiwa ini menjadi aktual pada diri manusia hingga sampai pada titik kesempurnaannya?". Kalau kita melihat pada pendapat filosof diatas, mereka hanya memberikan gambaran umum terkait posisi jiwa diatas alam materil, namun mereka tidak menjelaskan secara spesifik bagaimana jiwa manusia ini mampu berevolusi sampai pada puncak kestabilannya. Bahkan Sebagian dari mereka terjatuh pada idealisme dengan meninggalkan alam materi dan memandangnya sebagai tempat keraguan dan bayang-bayang saja.Â
Seperti yang dikampanyekan oleh Imam Al-Ghazali dalam epistemologinya ia memandang bahwa alam ini sumber keraguan dan tidak bisa ditemukan kepastian di dalamnya, maka Al-Ghazali meninggalkan alam material ini ke teologi tasawuf. Menurutnya hanya tasawuf yang mampu mengantarkan manusia pada aktualitasnya sampai pada kesempurnaannya, dengan instrument hati.Â
Bagi Plato jiwa manusia eksis sebelum tubuh ada dan yang hakiki ada pada alam jiwa (arketipe), sedangkan alam ini hanyalah bayang-bayang dari alam arketipe yang sifatnya tidak hakiki, sedangkan yang hakiki adalah alam jiwa, yang di dalamnya terdapat kebahagiaan dan kesenangan hakiki. Artinya baik Al-Ghazali mengingkari nilai pada alam, mereka beranggapan alam tidak memberikan kepastian.
Berbeda dengan pandangan Mulla Sadra tentang jiwa, ia menjelaskan jiwa secara terperinci bahkan mengkritik pandangan-pandangan pendahulunya tentang jiwa. Teori yang terkenal dari Mulla Sadra tentang  "menyetunya subjek dengan objek".Â
Teori ini sebelumnya sudah dikampanyekan oleh Porphyry (Farfarius), seorang filosof Iskandariyah dan merupakan murid dari Plotinus ia lahir pada tahun 232 M di kota Suriah dan meninggal tahun 304 M. Teori ini banyak direspon oleh filosof muslim khusunya seperti Ibn Sina mengemukakan penolakannya terhadap teori ini ia berkata "dan untuk mereka yang memiliki pandangan bahwa tentang teori diatas, seorang lelaki yang dikenal dengan nama Porphyry, telah menulis buku berkaitan dengan akal, subjek, dan objek yang dipuji oleh para filosof parepatetik sebagai kitab yang tidak bernilai tidak paham tentangnya termasuk Pophyry sendiri.
Dan pandangannya telah dikritik oleh seorang tokoh pada zamannya, meskipun kritik itu mendapat jawaban akan tetapi sama sekali tidak merubah kekeliruannya sejak awal" hikayat ini dikemukakan oleh Ibn Sina berkaitan dengan penolakannya terhadap teori Porphyry, namun menurut Mulla Sadra, pada akhirnya Ibn Sina menggunakan konsep ini dengan apa yang dikatakannya di dalam kitab Mabda Wal Ma'ad (kepermulaan dan kebangkitan), "karena dia (eksistensi niscaya) tidak mencerap zatnya kecuali akal murni dan sumber pertama. Dan mencerap eksistensi universal darinya sebagai sumber dirinya, yang merupakan zatnya sendiri dan bukan selainnya. Karena sesungguhnya akal, subjek dan objek darinya adalah satu.
Syaikh Isyraq (Suhrawardi), bahwa ia mengaitkan pembahasan "menyatunya antara subjek dengan objek" dengan ilmu huduri seperti yang ia kutip "hal tersebut menunjukkan bahwa dari Sebagian objek yang dicerap tidak hanya sampainya eksistensi pada subjek dalam proses pencerapan tersebut atau pada hal yang berkaitan dengannya, tetapu hadir spesifik pada jiwa".
Namun Suhrawardi tidak membahas secara spesifik terkait konsep "penyatuan subjek dengan objek", tetapi isyarah yang dipaparkan menunjukkan proses pencerapan terjadi kehadiran objek pada mental subjek yang mengacu pada konsep yang dibicarakan.
Kita melihat betapa rumitnya konsep ini, menimbulkan perdebatan yang akut antar filosof muslim dan terlihat bagaimana mereka memaparkan konsep ini tidak telalu rinci dan komplek. Hingga datanglah Mulla Sadra yang menjelaskan konsep ini dengan sangat luas dan rinci dalam kaitannya dengan evolusi jiwa manusia.
Mulla Sadra memahami jiwa sebagai potensialitas pada setiap manusia yang aktualnya adalah pada akal. Artinya jiwa manusia senatiasa mengalami gerak atau evolusi dari tingkatan yang rendah menuju tingkatan yang tertinggi yaitu akal, akal merupakan tingkatan persepsi tertinggi. Namun evolusi jiwa tidak akan terjadi apabila jiwa tidak memiliki kesadaran akan obejk-objek di luar dirinya, dengan kata lain jiwa tidak akan aktual tanpa melalui pengetahuan terhadap objek-objek jiwa.Â
Pengetahuan ini yang mengantarkan manusia pada tingkatan-tingkatan persepsi yang diperolehnya. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana pengetahuan bisa mengantarkan jiwa pada aktualitasnya?.
Mulla Sadra menjelaskan, jiwa manusia berkaitan dengan tiga tingkatan persepsi yaitu: persepsi inderawi, persepi imajinasi dan persepsi akal. Pengetahuan manusia mampu mengantarkan jiwa pada tingkatan-tingkatan persespsi, sesuai dengan derajat pelepasannya (Tajarrud), semakin tinggi pengetahuan manusia semakin tinggi pula derajat pelepasannya, dari indera, imajinasi dan akal.Â
Artinya menurut teori ini, jiwa manusia senantiasa bertumbuh melalui tiga locus kesadaran manusia yaitu kesadaran inderawi, kesadaran imajinasi dan kesadaran jiwa. Ketiganya haruslah beriringan tidak bisa dihilangkan salah satunya, mulai dari pengetahuan inderawi sebagai landasan masuk pada imajinasi sebagai konstruksi dan akal sebagai stabilitas persepsi. Maka pondasi dari ketiga tingkatan persepsi ini adalah kesadaran itu sendiri.
Persepsi Inderawi
Pada tingkatan ini bentuk objek persepsi ada di alam materi atau hal-hal aksiden, yang mempersepsi menemukan wujud-wujud di alam material, pada posisi ini indera menangkap atribut-atribut dari alam material ini (luaran), indera tidak mampu memahami secara riil dari apa yang ditangkap karena hakikat kemateriannya yang sangat kompleks sedangkan indera hanya menangkap luarannya saja.
Penginderaan manusia terlalu lemah untuk merefleksikan realitas eksternal di dalam pikiran yang kemudian memberikan pengetahuan kepada kita. Indera tidak mampu memberikan pengetahuan kepada manusia karena yang ditangkap hanyalah bayang-bayang, tidak mampu menyamai kuiditas eksternalnya.
Persepsi inderawi memiliki sensitifitas, artinya persepsi inderawi ini bisa dikonstruksi indera tidak deterministic seperti penciuman, perabaan, penglihatan dan pendengaran. Seperti halnya menusia mampu mengenali temannya dari bau badannya, artinya ada perpindahan sensitifitas. Tentu ada hal-hal di luar indera yang berfungsi untuk mengkonstruksi yaitu imajinasi manusia, pengetahuan imajinasi mampu memperuas cakupan indera sekalipun indera tidak lagi mempersepsi gambaran di luat (lepas).Â
Namun dari indera ke imajinasi tidak semerta-merta terjadi proses persepsi, imajinasi manusia akan mengkonstruksi jika ada perhatian dari subjek yang mempersepsi contoh, Ketika manusia berjalan bersamaan ke suatu tempat, tidak sama apa yang mereka tangkap melalui inderanya karena manusia memiliki tingkat perhatian yang berbeda terhadap objek eksternal.
Maka dari itu indera manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi, ia bergantung pada imajinasi, oleh karena itu pengetahuan inderawi tidak mampu menemukan kehakikian dari objek yang dipersepsi, karena apa yang manusia tangkap di luar berbeda dengan dipikirannya, panas di luar pikiran berbeda dengan panas di dalam pikiran. Indera hanya menjadi pemantik atau sumber dari konsep-konsep yang ada di pikiran kita, maka indera tidak bisa disebut sebagai satu-satunya persepsi atau indera tidak bisa diandalkfan dalam pembentukan persepsi manusia, karena terlalu lemah, indera haruslah berkorespondensi dengan imajinasi dan akal agar bisa menemukan kehakikian dari objek yang dipersepsi.
Persepsi Imajinasi (Khayali)
Pada tingkatan ini imajinasi mempersepsi dari apa yang ditangkap oleh indera, namun imajinasi mampu memperluas atau mengabstraksikan objek-objek indera sekalipun objeknya terlepas dari indera, misalnya kita melihat sapi berkepala satu tapi inajinasi kita mampu memperluas itu menjadi sapi berkepala lima misalnya, atau kata lainnya imajinasi mampu memahami suatu objek tanpa perlu mensyaratkan kehadiran objek tersebut bagi indera.
Mulla Sadra berpendapat bahwa jiwa manusia memiliki 5 fakultas batin yaitu indera universal (sensus communis), penggambaran (representative), penilaian  (estimative, wahm), ingatan (retentive) dan khayal (imaginative). Kelimanya memiliki corak tersendiri di dalam imajinasi.Â
Indera universal diartikan sebagai batin manusia yang beralasi langsung dengan persepsi indera luar. Dari kelima fakultas batin manusia memiliki kaitan dengan tiga fungsi yang berbeda yaitu 1. Kapasitas pasif gambaran, imajinasi hanya menangkap dan menyimpan gambaran-gambaran dari luar yang kemudian diproyeksikan ke indera universal, analogi cermin. 2. Kapasitas aktif membantu fakultas penilaian yang di dalamnya manusia membentuk gambaran parsial tetapi kapasitas ini memaksa manusia untuk membuat panilaian yang bertentangan dengan akal. 3. Kapasitas aktif dalam hubungannya dengan akal.
Imaninasi dala artian pasif berarti hanya menerima saja baik dari indera universal atau dalam indera atau luar indera, sedangkan imajinasi aktif adalah membantu fakultas penilaian yang tidak berkorelasi dengan akal seperti contohnya "gak papa kan cumin sekali", tetapi tetap hubungannya dengan indera universal dan fakultas penilaian. Maka ada dua jenis imajinasi aktif yaitu bertentangan dengan akal (turun ke alam) dan imjinasi aktig menyambung ke akal.Â
Pada ranah ini ada du tuntutan taitu objektif dan subjektif karena imaji manusia tidak terbatas, bahkan bisa diperbesar dan karena manusia  mampu mengimajinasikan di luar batas-batas inderanya, artinya sekalipun di luar bertumpuk namun di imaji kita sama yang ada berat dan massa. Intinya imajinasi pasif hanya menerima saja (penyimpanan). Sedangkan jiwa yang aktif bersifat membantu biasa di dalam muridnya. Namun sejatinya imaji aktif ke akal untuk menemukan eksistensinya.
 Maka dari itu imajinasi menjadi penghubung antara alam dengan akal, imajinasi menjadi jembatan dengan syarat imajinasi aktif menuju akal agar imajinasi manusia menjadi transisi antara tubuh dengan akalnya.
Namun persepsi imajinasi memiliki sifat-sifat tertentu yaitu aktif dan passive. Keduanya menjadi penghubung antara alam dengan akal, imajinasi sebagai jembatan tidak mungkin kosong dari potensi untuk menuju akal, oleh karena itu ada kapasitas aktif dalam imaji manusia tetapi bukan yang turun ke alam (bertentangan dengan akal) aktif yang selaras dengan objek-objek akal. Maka fungsi passive imajinasi sebagai penyimpan berarti tidak semua yang masuk pada diri manusia tidak semuanya terwujud di dalam jiwa karena ada kapasitas jiwa aktif yang mampu memberikan penilaian baik ke akal ataupun ke alam sehingga membentuk jiwa.
Jika imajinasi pasif manusia berfungsi menerima, bagaimana objek di luar itu masuk pada manusia apakah itu imajinasi, otak atau abstraksi? Beberapa filsof berbeda pandangan dalam melihat ini. Menurut ibnu Shina berpendapat bahwa ada proses abstraksi yang masuk pada manusia hingga sampai pada anstraksi akal.Â
Ibn Sina menjalaskan bahwa abstraksi ini perpindahan dari hal partikular ke universal bahwa bentuk yang masuk pada jiwa manusia dari hal partikular (materi) ke universal (non materi), tetapi Mulla Sadra berbeda dalam menjalaskan abstraksi ia mengkritik Ibnu Shina tentang pandangannya terkait abstraksi, menurutnya bahwa abstraksi itu bukanlah bentukan akal tetapi bentukan jiwa yang sampai pada titik kuiditasnya.Â
Karena jika abstraksi dipahami hanya perpindahan dari partikular ke universal dari indera ke imajinasi sudah bisa dikatakan perpindahan dari partikular ke universal atau abstraksi dari partikular menuju universal. maka universal disini bukanlah bentukan akal tetapi berhenti pada imajinasi passif karena tidak sampai pada persepsi akal. Maka universal menurut Ibn Sina bukan universal filsafat karena tidak sampai pada pahaman akal, universal yang dimaksud adalah imajinasi manusia yang berhubungan dengan alam dan bersifat tidak stabil. Maka abstraksi dalam pandangan Ibn Sina pengetahuan procedural atau konsepsi belum sampai pada akal. Karena jika masuk pada pahaman akal semuanya manjadi wujud baik partikular ataupun universal dua-duanya bersumber dari jiwa artinya ada yang hadir di dalam jiwa manusia sehingga menjadi subjek=objek.Â
Artinya manusia menjadi subjek dan pahaman jiwanya (kehadiran) menjadi objek. artinya keberadaan mendahuli apa, karena semuanya menjadi wujud sedangkan pertanyaa "apa" itu berkaitan dengan procedural. Maka sebenarnya yang mendahului semuanya ini bukan alam tetapi jiwa. Jiwa dengan kahadirannya memancar ke alam sesuai dengan kehadirannya. Secara procedural alam mendahului keberadaan tetapi secara ontologis jiwalah yang menjadi locus ap aitu "ada"disinilah letak penyatuan antara subjek dengan objek yang disebut dengan persepsi (keberadaan/wujud).
Persepsi Akal
Persepsi ini merupakan tingkatan tertinggi, dalam istilahnya dikenal dengan (Ta'aqqul), pada tingkatan ini akal menjadi tumpuan dari persepsi indera dan imajinasi untuk menemukan titik kestabilannya, jiwa manusia secara potensialitas tidak lepas dari hal-hal psikologis dalam hubungannya dengan alam, maka akal turun untuk menstabilkan jiwa kita karena akal satu-satunya jalan untuk menemukan kestabilan, artinya jiwa sebagai potensi pada aktualitasnya disebut akal, namun aktualitas jiwa tidak diperoleh tanpa adanya perbuatan, perbuatan yang dimaksud adalah realitas alam, artinya perbuatan adalah akal aktif yang mengantarkan manusia pada puncak kestabilannya (kebahagiaan), disinilah perbuatan tidak lagi berkaitan dengan kehampaan dan kegelisah. Berarti ada dua ranah jiwa dalam aktualitasnya yaitu akal aktualitas dari jiwa dan akal adalah jiwa dalam bentuk perbuatan.
Tingkatan wujud selaras dengan tingkatan persepsi artinya tingkatan wujud berkaitan dengan tingkatan eksistensinya wujud fisik, wujud imajinasi dan eksistensi akal, ketiganya maujud dan memiliki acuan masing-masing. Maka indera, imajinasi dan akal semuanya memiliki sumber dengan realitas alamnya masing-masing, manusia mampu hidup di tiga alam ini oleh karena itu ada tiga fakultas alam dalam diri manusia, siapapun yang mampu menggunakan ketiganya dengan baik itulah insan kamil, namun tumpuannya pada pengetahuan. wujud sangat terkait dengan pengetahuan karena tingkatan pengetahuan menentukan tingkatan wujud artinya sesuai dengan apa yang dicapai oleh manusia sampai pada tingkatan tertingginya yaitu akal.
Dalam pandangan Mulla Sadra, kesadaran adalah kehadiran atau pengingatan Kembali kuiditas wujud-wujud eksternal atau objek bagian aspek esensialnya di dalam pikiran manusia. Kesadaran hanyalah jiwa yang sederhana dan immaterial yang di dalamnya dapat dihadirkan diri dan objek-objek lain, karena sifat esensial materi adalah ketidaksadaran jiwa terhadap segala sesuatu. Dengan demikian kesadaran sama halnya dengan kehadiran objek eksternal atau sesuatu yang diketahui secara aksidental di dalam pikiran manusia yang menjelaskan dan menyingkap segala aspek, Mulla Sadra menganggapnya prasyarat persepsi dan pengetahuan. Maka kehadiran merupakan ketersingkapan di dalam kuiditas objek-objek eksternal yang menjadi syarat eksklusif sebagai neraca persepsi antara benar atau salah. Maka menurut Mulla Sadra kesadaran dan keinginan adalah pengetahuan jiwa melalui kehadiran dimana bentuk-bentuk kemudian digambarkan dalam jiwa tersebut. Dengan kata lain, validitas informasi berpengaruh pada kesadaran, artinya harus ada pemilahan terhadap gambaran atau objek indera agar jiwa manusia menjadi stabil.
Bahwa kehadiranlah yang menentukan tingkatan dan wujud persepsi, kehadiran secara inderawi tidak bisa dijadikan sebagai acuan, karena inderawi tidak memiliki fakultas penilaian. Indera hanya menerima objek aksidental dari luar, maka indera terhitung lemah dalam tingkatan ini. apa yang hadir pada indera akan hadir pula pada imajinasi manusia sesuai dengan tingkat perhatiannya terhadap objek. imajinasi menerima bentuk dari luar tetapi bukan bentuk ilmiah melainkan bentuk filosofis atau bentuk yang terpisah dari materi di luar. Imajinasi mampu mengembangkannya dan memperluas bentuk yang diterima dari luar.
Tetapi bentuk yang masuk pada imajinasi manusia juga memiliki dua bentuk yaitu psikologis dan filosofis (akal), imajinasi manusia memiliki dua kapasitas yaitu passive dan aktif. Kapasitas passive jiwa manusia hanya menerima bentuk-bentuk dari indera sedangkan kapasitas aktif merupakan jiwa manusia mengkonstruk apa yang masuk kedalamnya, artinya jiwa merekonstruksi setiap bentuk-bentuk dan membentuk kadalam wujud, jiwa merekonstruksi ke atas atau ke masa depan atau jiwa mengalami penyempurnaan. Inilah kreatifitas jiwa manusia yang mampu menghasilkan hal-hal baru artinya imajinasi aktif memiliki produktifitas pada mental manusia. Seperti halnya, kita melihat orang di luar kita berkacamata lalu kita imajinasikan dengan penambahan-penambahan bermacam-macam misal kita ta,bahkan kepala orang itu menjadi 5. Inilah kekuatan imajinasi manusia yang tidak didapat dari alam materi.
Kapasitas aktif memiliki dua keadaan yaitu jiwa aktif ke alam (psikologis) dan jiwa aktif ke akal. Jiwa aktif ke alam adalah jiwa yang belum stabil atau masih bersifat psikologis tidak stabil. Jiwa dalam hubungannya dengan alam tidak bisa lepas dari aspek psikologis seperti halnya suka dan tidak suka. Tahapan ini jiwa masih pada tingkatan akal bilfi'il atau pengetahuan yang diperolehnya masih bersifat procedural atau pengetahuan yang masih bercampur dengan Wahm, konsep-konsep seperti gambaran-gambaran inderawi, sehingga susah menemukan kestabilannya. Jika jiwa manusia terjebak pada hal-hal inderawi ia akan mengalami dominasi oleh tubuh fisik. Sehingga susah aktual sampai pada akal. Jiwa aktif ke akal merupakan jiwa dalam bentuk perbuatan yang tidak berkaitan dengan hal-hal psikologis, atau jiwa dalam pertimbangan akal.
Dalam pandangan Sadra ide kreatif atau berada di antara imajinasi dan akal tapi locusnya di imajinasi, sedangkan di barat ide kreatif hasil dari perluasan dari alam. Imajinasi kreatif merupakan alam peralihan dari alam Imaji ke akal, apapun yang dilukiskan bersumber dari akal, yang dilihat hanyalah keindahan. Maka setiap kita akan menyaksikan apa yang ada di jiwa kita setelah jiwa sampai pada aktualitas tertingginya yaitu akal.
Ukuran imajinasi kreatif itu harus sampai pada akal bukan hal-hal yang bersifat procedural yang mengasilkan subjektifitas locusnya kestabilan bukan determinasi. Alam ide merupakan perantara imajinasi aktif ke akal yang bertempat di imajinasi. Alam ide juga disebut alam Mitsal atau gambaran. Artinya alam ide ini lahir dari imajinasi aktif sebagai perantara antara alam dan akal, dalam bahasanya platon Arketipe yang di dalamnya terdapat kebahagiaan, keabadian, kestabilan. Alam ide menerima bentuk dari akal atau bahasa lainnya alam ide ini wadah dari akal. Alam ide menjadi stabil karena seluruh isinya berasal dari akal.
Ketika akal  turun pada imajinasi ada dorongan Wahm, yang tidak mau diganti dengan akal, Wahm bertarung dengan alam ide, artinya yang menjadi perantara dikasih ricuh oleh Wahm.  Bagaimana alam ide kita kuatnya ke akal itulah akal kita. Jika manusia sampai pada tataran akal alam idelah yang menggerakkan manusia. Alam ide dipenuhi dengan kestabilan seperti cinta dan benci. Cinta dan benci di alam bersifat estimative yang tidak stabil sedangkan cinta dan benci di alam ide bersifat stabil. Artinya apa saja yang ada di alam ide mengandung kestabilan sedangkan ketidak stabilan itu muncul dari alam material seperti lapar, minum dan ngantuk dari ketiganya mesti ada yang dikorbankan atau konsep ganggu pada mengganggu. Maka diperlukanlah hukum untuk mengatur seluruh tindakan manusia di alam.
Berbeda dengan fisik, imjinasi manusia tidak dibatasi penglihatannya pada hal-hal fisik, bahkan di saat tubuh mengalami kematian imajinasi manusia tidak mati. Setiap sesuatu yang bersifat inderawi atau fisik akan mengalami kehancuran, tetapi imajinasi manusia tidak hancur ia terus bergerak sekalipun tubuh mengalami kematian. Bahkan, ketika fakultas imajinatif dipisahkan dari alam materi ini melalui kematian manusia. Jiwa masih memiliki persepsi individu dan memiliki kesadaran inderawi yang melingkupi semua indera manusia. Artinya imajinasi manusia mampu bergerak tak dibatasi oleh keterbatasan indera manusia.
Mulla Sadra berpendapat bahwasanya, apapun yang dilakukan manusia semasa hidupnya, baik internal ataupun eksternal akan terkumpul pada fakultas imajinasi, dalam bahasanya dikenal dengan istilah "tubuh halus" maka dari itu Ketika jiwa kehilangan fisiknya ia tidak kehilangan wujudnya, justru ia bergerak menuju alam berzakh atau alam peralihan yaitu dunia ide, sesuai dengan sifatnya yang hakiki.Â
Namun perlu digaris bawahi bahwa tidak setiap jiwa mampu actual ke alam ide, jika alam ide dipahami sebagai informasi tuhan atau semuanya mengandung nilai-nilai kebaikan vertkikal maka jiwa yang kualitasnya wahm tidak akan sampai pada alam ide, karena sesuatu yang buruk tidak akan menyatu dengan sesuatu yang baik.Â
Artinya imajinasi manusia memiliki efek nyata dan bersifat tak terbatas, Ketika tubuh halus bertemu dengan fisiknya ia akan menjadi-jadi, karena ada fungsi representative atau gambaran yang memberikan efek kepada manusia seperti takut mati, hal ini terjadi karena jiwa manusia dikuasai oleh wahm atau makhluk halus. Manusia takut akan kematian karena ia takut kehilangan kenikmatan inderawi (jiwa ke alam) atau banyaknya wahm yang menumpuk di jiwanya, maka jiwa yang baik (jiwa ke akal) akan melawan kenikmatan tersebut agar tidak mendominasi jiwa kita, karena jiwa tidak terbatas pada hal-hal inderawi, ia mampu tembus ke alam keabadian (alam ide). jiwa yang bergerak menuju akal (bangkit) adalah jiwa yang rindu akan keabadian dan keindahan non fisik. Jiwa yang tidak bisa bangkit ia akan terhimpit.
Oleh karena itu jiwa yang belum stabil harus dibawa pada akal yang menjadi pusat keseimbangan dan kestabilan. Jika jiwa manusia sampai pada akal ia akan menemukan puncak aktualitas tertingginya. Maka pengetahuan kita harus aktual sampai pada akal kudus, agar pengetahuan kita menjaga kita. Artinya pengetahun dalam teleologi itu kesucian jika sampai pada mustafad.
Kesadaran butuh pada akal, tapi jika tidak sampai pada akal maka itu belum stabil, akal berfungsi untuk membuat kesadaran mejadi stabil. Seperti kita menyadari akan kematian, tetapi bagaimana kita akan berjalan menuju kematian itu inilah kinerja akal.
Maka sekalipun bentuk filosofis perlu adanya pengetahuan dalam tingkatan yang lebih tinggi yaitu akal, jiwa harus diantar pada aktualitas sejati, pada tingkatan ini keberadaan bukan lagi bersifat potensi ada ya ada. artinya keberadaan itu bisa kita pahami yang tidak butuh gambar, forma dan materi tapi ada itu eksis, ada merupakan aktualitas atau juga ada itu adalah acuan. Maka objek pahaman tertinggi dari akal adalam persepsi tentang keberadaan. Maka wujud itu aktif atau akal aktif. Maka ada itu tidak terbatas, bentuk tidak bisa membatasi wujud.
Kalau jiwa sudah aktual itulah akal, maka perbuatan itu adalah akal, semua perbuatan mengantarkan kepada kebahagiaan karena akal adalah aktualitas jiwa yang stabil, maka perbuatan itu tidak lagi berkaitan dengan kehampaan dan kegelisahan. Berarti ada dua ranah yaitu akal adalah aktualisasi jiwa dan Akal adalah jiwa dalam bentuk perbuatan, inilah pentingnya teleologi untuk kestabilan jiwa. Maka seluruh perbuatan manusia adalah tindakan akal, tindakan yang berbasis pada moral ilahiah. Tindakan ini bukan lagi tindakan manusia sebagai subjek yang mempersepsi tetapi tindakan akal atau tindakan tuhan.
Mulla Sadra berpendapat bahwa kehadiran pengetahuan manusia merupakan penyatuan antara apa yang dipahami dengan subjek yang memahami, menjadi satu tak terpisahkan. Maka ada dua subjek  yaitu, sebjek procedural dan subjek akal. Subjek procedural akal Fi'il  adalah penyatuan antara subjek yang mempersepsi dan objek yang dipersepsi artinya subjek ini dalam hubungan jiwa dengan alam objeknya beragam (husuli). Sedangkan penyatuan antara subjek yang mempersepsi dan objek yang dipersepsi pada pengetahuan akal adalah penyatuan wujud (eksistensi) subjek tunggal.Â
Artinya tindakan jiwa merupakan tindakan akal aktif. Seperti contohnya tangan kita yang bertindak atau subjeknya, tetapi sebenarnya yang bergerak adalah kehadiran (huduri) atau pengetahuan yang mendahului tindakan maka keberadaan mendahului segala sesuatu. begitu juga dengan subjek akal, tindakan manusia diawali oleh keberadaan pengetahuan terhadap akal (tuhan) huduri kompleks. Artinya keberadaan ini mendahuli tindakan atau "ada" mendahului "apa". Jiwa haruslah  sampai pada tahap ini karena disinilah pusat ke stabilan dan aktualitas sejatinya. Jiwa pada tahapan ini seuluruh tindakannya adalah tindakan kebenaran, karena jiwa menemukan realitas sejatinya yaitu akal.
Maka kehadiran (huduri) pada diri manusia mengawali segala sesuatu dan hakiki, Maka sifat persepsi dibagi menjadi dua yaitu: kehadiran dan husuli, pengetahuan hakiki berada pada huduri, karena manusia memiliki hubungan langsung dengan jiwanya, tentu pengetahuan ini mendalam artinya tidak berhenti pada aksiden-aksiden. Munculnya husuli karena manusia berhubungan dengan konsep-konsep particular yang harus dibawa pada kehadiran. Secara procedural husuli mengawali huduri, tetapi hakikinya huduri mengawali husuli karena huduri lah yang melingkupi husuli.
Bagaimana kaitan antara pengetahuan husuli dengan pengetahuan huduri? Penulis memberikan jawaban dengan skema contoh, misalkan ada informasi yang dihadirkan dari indera lalu kita respon cepat seperti ketika kita menujukkan jari tangan kita lalu secara spontan kita menjawab ada lima jari, seperti 4x4=16.
Huduri dibagi menjadi dua yaitu huduri sederhana dan huduri kompleks. Huduri sederhana setiap manusia memilikinya seperti rasa suka, benci dan lain-lain. Namun huduri awal bisa berubah sesuai dengan informasi yang diperolehnya. Huduri tidak mengenal salah dan benar karena itu wilayah husuli, artinya perubahan pada huduri itu tergantung pada husulinya atau ketika kita meletakkan suka dan tidak suka di realitas alam maka itu sudah menjadi husuli atau procedural husuli maka benar dan salah ada pada ranah husuli. Ilmu husuli memberikan respon pada huduri baru, sesuai prosedur husuli. Pengaruh-pengaruh dari alam, memberikan respon kepada huduri haruskan kita bertindak atau tidak terhadap pengaruh alam tersebut, tapi sebelumnya bertindak ada tidak itu kerja husuli, maka ushuli menjadi pengukur huduri manusia sampai pada huduri kompleks, urutannya adalah dari sederhana ke kompleks. Urutannya sebagai berikut sesuai dengan tingkatan huduri: indera, imaji dan akal, huduri kompleks berada pada akal.
Dengan kata lain akal mengontrol huduri manusia dengan metode husuli agara sampai pada huduri akutnya. Artinya perasaan suka dan tidak suka manusia itu subjektif, oleh karena itu huduri perlu dikelola oleh husuli. Tugas manusia mencari husuli terbaik untum membentuk huduri yang baik pula, pada puncaknya di akal. Huduri di alam dibawa ke atas menuju tuhan, dalam artian manusia tidak meninggalkan alam tetapi manusia menggunakan fasilitas-fasilitas alam untuk menuju tuhan (huduri kompleks) tentu dengan riyadhah yang dilakukannya.
Penjelasan diatas menunjukkan bahwa, ada kebertingkatan huduri manusia karena kebertingkatan perhatian manusia terhadap objek yang dipersepsi.
Dalam filsafat Mulla Sadra, hal yang paling penting dalam suatu persepsi diperankan oleh pengetahuan dengan kehadiran, maksudnya gambaran yang masuk pada manusia jiwa kemudian merekonstruksi kuiditas objek-objek eksternal dari semua bentuk yang ditangkap. Artinya jiwa manusia memiliki daya kreatif yang dengan itu manusia mampu memahami kinerja indera, otak dan fakultas-fakultas internal. Artinya jiwa manusia memiliki kemampuan mengimajinasikan dan mengkonstruksi baik positif ataupun negative, namun jiwa kreatif manusia tertinggi adalah huduri sebagai subjek tertinggi yaitu tuhan. Lalu bagaimana imajinasi dalam pikiran manusia?
Hal yang perlu diingat bahwa ada perbedaan mendasar antara gerak substansial materi dan jiwa, letak perbedaannya pada kesederhanaan dan ketebagiannya. Identitas jiwa berbeda dengan materi yang dapat dibagi dan tersusundari bagian-bagian. Sedangkan kesederhanaan jiwa bagian-bagian immaterial dan terpisah lainnya yang sana dengan kesadaran diri seseorang, kondisi dan keadaan-keadaannya. Pada tahap ini Mulla Sadra menyatukan dalam prinsip penyatuan beberapa level. Persepsi, yang mempersepsi dan dipersepsi, dari prinsip ini bisa ditarik  penjelasan bahwa, persepsi bukanlah apa-apa melainkan apa yang dipahami yang dipersepsi oleh yang mempersepsi, sedangkan pahaman itu maujud. Eksistensinya sama dengan dirinya (subjek), pada tingkat ini apa yang dipersepsi manusia itulah dirinya atau objek yang dipersepsi menyatu dalam dirinya. Artinya jika kita kaitkan dengan husuli dan huduri ada dua subjek dalam persepsi manusia yaitu, subjek husuli sebagai yang mempersepsi objek alam dan subjek huduri pengetahuan manusia menjadi subjek aktif penyatuan antara pemahaman dan subjek yang memahami hingga dianggap sama antara subjek dan objek kemudian menjadi satu yaitu subjek tunggal.
Dengan demikian, perjalanan husuli menuju huduri merupakan perjalanan dari objek pluralitas (keberagaman alam) menuju subjek unitas huduri (tuhan) pada tahap ini semua yang dipersepsi hanyalah wujud tidak memisahkan objek-objek aksidentalnya karena pemisahan tersebut berada pada ranah epistemology sedangkan wujud tunggal adalah ontologi. Maka apapun yang ditangkap adalah wujud atau keberadaan. Inilah yang dimaksud dengan dengan  "penyatuan antara subjek dengan objek".
Pertanyaan selanjutnya, "bagaimana jiwa manusia mampu menemukan locus kestabilannya atau locus kesempurnaannya atau dengan apa jiwa berovolusi sampai pada puncak kesempurnaannya?"
Mulla Sadra menawarkan sebuah konsep yaitu Agama, Sirath dan dan jalan kesempurnaan. Konsep ini  prinsip dalam filsafat Mulla Sadra adalah doktrin tentang gerak substansial. Doktrin ini membahas gerak esensial wujud di alam. Dalam pandangannya bahwa eksistensi mengalami gerak yang konstandi dalam sifat-sifat dasarnya tanpa memerlukan dorongan. Dengan gerak substansial semua maujud di alam ini "menjadi" bergerak menguat atau bahkan melemah, Gerakan substansial ini adalah aliran wujud yang melintasi perlintasan atau realitas surgawi. Inilah yang membedakan antara manusia dan makhluk lainnya yaitu pada gerak substansial. Manusia dibekali dengan atribut-atribut dan keindahannya misalnya intelejensi yang menjadi intrik pebeda dari ciptaan lainnya. Oleh karena itu, manusia tidak hanya dapat mengatakan bahwa beberapa orang lebih cerdas atau secara fisik lebih baik daripada sekelompok orang lainnya, tetapi memang orang itu lebih baik daripada lainnya, tergantung pada intensitas gerakan wujud di dalam diri mereka.
Manusia secara fitrahnya selalu menuntut kebenaran, termasuk para filosof apa yang mereka cari adalah kebenaran. Mulla Sadra berpandangan bahwa wujud, realiras dan kebenaran memiliki keterikatan satu sama lain. Namun bagaimana manusia mencapai kebenaran itu? Bagaimana manusia memperkuat Gerakan substansialnya agar dapat, menemukan kebenaran?
 Agama sebagai tawaran kepada manusia memberikan indikasi bahwa kehidupan ini tidak hanya terpaut dengan hal-hal material saja, agama menawarkan kepada manusia kesucian yang dilandaskan pada moral ilahiah. Yang berfungsi untuk mengantarkan kita pada puncak kesuciannya. Oleh karena itu masuklah pada pandangan agama karena agama mempunyai konsep kesucian. Maka dari itu agama adalah gerbang menuju kesucian individu. Artinya agama merupakan kebutuhan tetap manusia akan intelektualitas, spiritualitas dan keimanan. Keyakinan agama yang kuat menyebabkan manusia mau mengorbankan kehidupannya dan prestasinya untuk keyakinannya. Hal ini merupakan dorongan dari keyakinannya yang dianggap suci dan layak diperjuangkan, upaya besar ini tidak bisa diraih tanpa adanya kesadaran akan kekuatan agama yang memberi nilai-nilai kesucian kepada keyakinan dan manusia diatur penuh oleh keyakinan sucinya.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa agama dengan aspek intelektualitas, keyakinan dan ibada merupakan kebutuhan mutlak manusia untuk menyempurna. Agama sebagai kebutuhan tetap merupakan sebuah pedoman tetap akan pelaksanaan nilai-nilai agama. Oleh karena itu agama tidak hanya menyediakan perangkat untuk kebutuhan intelektual saja, agama bahkan menjadi sarana spiritual kesucian pada individu manusia. Maka setiap individu memerlukan agama untuk menyucikan dirinya. Artinya agama merupakan jalan (sirath) Â menuju kesempurnaan, pertanyaannya "bagaiman sirath ini bisa diraih?"
Dalam doktrin Mulla Sadra Jawabannya adalah merujuk ajaran islam atau shirat (jalan) para imam maksumin A.s. Tentu kita harus menggali informasi tentang ajaran-ajaran maksumin As dengan berpedoman pada hadis dan Qur'an untuk sampai pada siraht al-Mustaqim. Inilah yang khas dari penjelasan Mulla Sadra ia menggabungkan metafisika dengan praksis islam yang sangat mendalam, pembahasan ini tidak ditemukan pada filosof sebelumnya.
Yang dimaksud siraht al-Mustaqim menurut Mulla Sadra adalah jalan Imam Ali A.s. berwilayah kepada nabi dan keluarganya. Shirat ini dicapai melalui perbuatan atau ukurannya adalah amal. Maksud dari "tunjukilah kami ke jalan yang lurus" adalah petunjuk-petunjuk agama yang mengantarkan pada yang lurus, oleh karena itu agama adalah informasi petunjuk bagi jiwa untuk menemukan jalan, agama meliputi iman, islam dan ihsan. Agama sebagai petunjuk berarti menunjukkan jalan kepada kita di sirath. Ada dua bentuk petunjuk dalam agama yaitu Takwiniyah (penciptaan) petunjuk ini bisa di ingkari dan Tasyri'I (tertulis) atau penjelasan kitab, petunjuk ini bisa diingkari, contohnya, manusia makhluk yang diberikan kebebasan (takwini) sedangkan penerapannya (Tasyri'i). Â
Konsep sirath ini diambil dari Al-Qur'an dan hadits, keduanya merupakan imajinasi kenabian, maka seluruh bentuk perbuatan baik manusia seharusnya bersumber dari Al-Qur'an. Sejauh mana manusia memahami Al-Qur'an disitulah ia bergerak dengan Ma'rifatnya. Lalu apa ukuran bahwa seseorang dikatakan sukses dalam melewati sirath. Mulla Sadra mengatakan dalam kutipannya bahwa "ketiadaan keadaan yang berlebih-lebihan" merupakan "awal kesuksesan melewati sirath. perkataan ini berkaitan dengan kesederhanaan dalam perbuatan hanyalah salah satu bagian dari sirath. tentu saja ini bukan jaminan. Kesederhanaan perbuatan ini berarti keadilan sebagai syarat yang tidak menjamin keselamatan manusia Ketika melintasi sirath di hari akhir. Sama halnya Ketika mahasiswa mendaftarkan dirinya kuliah dan memenuhi syarat, belum tentu ia lulus. Dari ilustrasi ini berbuat baik bukan jaminan keselamatan, oleh karena itu harus ada iman dan ma'rifat.
Maka keadilan sebagai syarat harus dibawa pada keadilan dalam pandangan dunia tauhid ilahiah. Keadilan horizontal hanya mengantarkan kita pada moral idiologi sebelum pandangan agama yang diperoleh dengan kecenderungan rasionalitas manusia seperti konsensus, olehnya manusia harus melintasinya dan membawanya pada keadilan dalam pandangan ilahiah. Maka ada dua bentuk keadilan yaitu vertical (ilahiah) dan horizontal (alam). Orang yang ingin menuju tuhan haruslah adil. Pandangan dunia ilahiah bisa diperoleh melalui Al-Qur'an dan hadits atau perkataan imam maksum, disitulah sumber keadilan ilahiah. Jalan manifestasi ini ada pada Imam Ali A.s. untuk mengetahuinya harus melalui ma'rufat atau pengetahuan, yang fungsinya adalah ilmu menjaga manusia (penyatuan antara subjek dengan objek). Maka keadilan berarti tidak hanya baik tetapi harus juga benar. Jika kita kaitkan dengan sirath dunia berarti pertama, jiwa dipersiapkan untuk menerima wujud sejati yang sebelumnya belum dimiliki, syaratnya harus adil. Kedua, sirath sebagai persiapan untuk menuju kematian.
Mulla Sadra menjelaskan sirath di akherat sebagai berikut: lebih tajam daripada pedang (praktis), lebih kecil daripada rambut (teoritis). Sirath mencakupi praktis dan teoritis. Agama mempertemukan teori dan praktik, manusia perlu banyak mencari banyak petunjuk untuk memasuki sirath. kuncinya adalah ikhtiyar manusia, melalui keadilan horizontal dan vertical untuk mendapatkan cahaya. Maka simpulnya sirath adalah Ma'rifat dalam bentuk teori dan praktik. Ma'rifat teoritis dan praktis dituntut untuk teliti, jangan sampai Kembali lagi ke akal bil-fiil, karena ma'rifat sudah sampai pada akal mustafad, maka perlu berhati-hati pada hal-hal particular yang menjadi instrument. Akal mustafad meliputi aspek rasionalitas, spiritualitas dan iman. Artinya hubungan ketiganya tidak terpisahkan. Manusia harus meneliti betul secara pengetahuan begaimana sirath yang digunakannya, mampu atau tidak dijadikan suluk untuk mencapai akal. Oleh karena itu beriman harus jelas ma'rifatnya, seperti keimanan pada hari akhir berarti bentuk kualitas ma'rifat manusia. Mulla Sadra menjelaskan bahwa dengan sirath Imam Ali jiwa menjadi actual, Imam berada di jalan itu sebagai pejalan dan membimbing manusia.
Teori Mulla Sadra tidak lepas dari kerangka dan penjelasan dalam Al-Qur'an ia banyak diilhami pemahamannya melalui Al-Qur'an. Secara khuusus penulis akan memaparkan bagaimana doktrin teori persepsi Mulla Sadra berkaitan dengan pembahasan Al_Qur'an dengan mengutip ayat tentang cahaya (QS. 24:35). Namun sebelum masuk pada pembahasan cahaya secara riil disarankan untuk memahami ayat ke-72 surah Al-Ahzab yang bisa memberikan penjelasan permasalahan ini.
Sesungguhnya kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, (QS. 33:72).
Dari ayat di atas Mulla Sadra menafsirkan amanah disitu sebagai wujud yang ada di dalam diri manusia sebagai wujud aktif, seperti kehadiran pada manusia sama dengan tingkatan wujudnya, amanah yang diberikan oleh allah kepada manusia berkaitan dengan system persepsi wujud yang ada pada manusia saja.
Dalam penafsiran ayat cahaya, Mulla Sadra sangat kritis terhadap makna cahaya yang disampaikan oleh pemikir-pemikir muslim sebelumnya, seperti parepatetik, iluminasi dan kaum sufi. Mulla Sadra menggunakan definisi cahaya menurut Imam Ghazali yaitu "cahaya adalah sesuatu yang melaluinya mewujud segala sesuatu" defisnisi ini mengisyaratkan dua makna kesempurnaan . Dalam hal ini, cahaya dapat dihubungkan dengan sesuatu yang riil atau metaforis. Cahaya metaforis terdapat dua eksistensi yaitu pemberi dan penerima cahaya, sedangkan dalam hubungan riilnya yang ada hanya pemberi cahaya saja (sumber). Yang riil adalah cahaya, segala sesuatu tidak mampu menampakkan dirinya tanpa adanya cahaya, selama tidak ada cahaya maka akan gelap, keberadaan manusia bergantung pada cahaya oleh karena itu yang riil adalah cahayanya, karena segala sesuatu bergantung pada cahayanya atas keberadaaanya, cahaya disini diartikan sebagai petunjuk dalam sirath (ilmu pengetahuan).
Cahaya disini berkaitan dengan inderawi manusia, cahaya melingkupi manusia, seluruh eksistensi di alam ini adalah cahaya. Kegelapan bergantung pada cahaya, sama seperti keburukan bergantung pada kebaikan, artinya cahaya yang riil atau yang memiliki sedangkan kegelapan merupakan kekurangan dari cahaya. Yang menjadi pertanyaan kenapa manusia tidak bisa melihat cahaya yang tinggi? Karena intensitas kita lebih rendah. Allah tidak bisa dilihat karena intensitas tuhan lebih tinggi sedangkan indera manusia terbatas intensitasnya. Seperti ayat AlQur'an yang berbunyi "allah cahaya langit dan bumi".
Cahaya disini diartikan sebagai wujud hakiki, artinya alam dan imajinasi manusia bergantung pada akal sebagai sumber cahaya, dari sinilah lahir gradasi karena adanya pengetahuan tingkatan persepsi dari alam, imajinasi dan akal. Maka semuanya menjadi wujud dalam intensitasnya. Hubungan antara alam dan imajinasi manusia itulah yang disebut dengan makro kosmos sedankan hubungan imajinasi ke akal disebut mikro cosmos. maka urutannya adalah jiwa dengan akal yang memahami alam, sedangkan di barat kebalikannya, karena akal intensitas tertinggi yang melingkupi hal-hal inderawi, tentunya cara pandang manusia sangat luas pada persepsi akal. Orang yang di level inderawi tidak mampu menyaksikan apa yang disaksikan oleh orang yang di level akal. Disinilah pentingnya mencari intensitas cahaya yang tinggi sebagai pembimbing sirath dan pentunjuk. Artinya cahaya menunjukkan sesuatu kepada manusia yang belum disaksikan sebelumnya. Intensitas cahaya manusia bergantung pada pengetahuannya.
Dalam ilustrasinya Mulla Sadra menjelaskan alam alam semesta, ceruk atau misykat, yang meliputi Jism (paling rendah) sampai Ruhul A'dzam yang di dalamnya meliputi singgasana, pelita. Semuanya merupakan cahaya dalam gradasinya masing-masing. Atau semua yang ada di misykat merupakan cahaya dalam intensitas gradasi tertantu, semuanya wujud (cahaya). Artinya semua keberadaan ini adalah cahaya. Akal yang aktif meliputi jism sampai Ruhul A'dzam. Artinya orang pada tingkatan akal mampu melihat, berbicara atau bahkan mendengar semua makhluk, sebagaimana nabi sulaiman, sama seperti hati yang dikaitkan dengan cahaya, itu berarti hati berkaitan dengan Arsy.Â
Akal A'dzam adalah akal wahyu, maka dari itu manusia bersandar pada Al-Qur'an. Akal ini yang berfungsi menstabilkan melalui sirath Imam Ali sebagai cahaya yang menjad petunjuk kapan jiwa akan berjalan dan arah mana yang harus dilalui. Cahaya ini sangat detail sebagai petunjuk dan nutrisi bagi jiwa, cahaya ini masuk pada intensitas yang spesifik artinya jiwa manusia senantiasa mengurai dari tiga tingkatan persepsi indera, imajinasi dan akal.
Nutrisi jiwa dibagi menjadi tiga yaitu: Rasionalitas, spiritualitas dan iman. Ketiganya merupakan bahasa jiwa. artinya, manusia harus sensitive pada tiga tingkatan persepsinya karena produktivtas jiwa ada pada tiga nutrisi ini. Begitu juga manusia tidak berhenti pada rasionalitas dan spiritual, harus juga sampai pada keimanan sebagai peleburan, penyatuan. Iman yang menyatukan antara kompleksitas dan kesederhanaan, srath menjadi sangat penting makrifat manusia mengantarkannya pada penentuan sirath maka setiap manusia memiliki tingkatan makrifat dalam ibadahnya maka adanya syariat merupakan tawaran tuhan kepada manusia sebagai pedoman untuk menjalankan kompleksitas di alam maka keimana ini meliputi aspek ilmiah dan akal artinya pada keimanan jiwa manusia dipertemukan antara yang husuli dengan huduri (penyatuan).
Dengan kata lain akal aktif (wujud) yang menjadi subjek. Persepsi akal sebagai subjek pasti positif adapun perilaku yang menyimpang dari akal itu perbuatan hawa nafsu. Secara prosedur kita mengatakan bahwa pelakuutamanya adalah akal kita, namun sejatinya secara substansi yang menjadi palaku adalah akal (imajinasi kenabian). Maka kesimpulannya akal yang melingkupi semuanya, jika kita kembalkan pada pembahasan tafsir tentang ayat cahaya di atas akal disini merupakan wujud Universal yang melingkupi semua aspek baik ilmiah ataupun non ilmiah inderawi, imajinasi dan akal. Cahaya merupakan akal tertnggi yang dengannya terciptalah segala sesuatu. Karena cahaya ini apa-apa menjadi ada.
Kesimpulannya, jiwa manusia memiliki sifat meraih, menangkap  dan mempersepsi seluruh realitas. Oleh karena itu jiwa menerima sesuatu dari alam dan dari akal (penyetuan), maka jiwa menampung hal-hal yang particular dan universal. Inilah yang dimaksud dengan "menyetunya subjek dengan objek". Bahwa pada akhirnya makrifat (moral lahiah) manusia yang menjadi subjek dengan itu apa saja yang ada di alam ini merupakan manifestasi  wujud ilahiah.
REFERENSI
Menuju Kesempurnaan, Persepsi Dalam Pemikiran Mulla Sadra. Cetakan pertama 1, Rabuil Akhir 1424/Juni 2003. Diterjemahkan dari beberapa tulisan di dalam Transcendent Philosophy Journal Oleh: Mustamin Al-Mandari. Penerbit: Safinah Makassar.
Toshihko Izutsu, Struktur Metafisika Zabzawari. Cetakan 1 1424 H -- 2003 M. diterjemahkan dar The Fundamental Structure of Sabzawar's Metaphysich Oleh: O. Komarudin. Penerbit: Pustaka Bandung.
Khalid Al-Walid, Tasawuf Mulla Sadra Konsep Ittihad Al-aqil Wa Al-Ma'qul Dalam Epistemologi Filsafat Islam dan Makrifat Ilahiyyah. Cetakan peretama. Diterbitkan dan diedarkan oleh Muthahhari Press Bandung.
Mulla Sadra Jurnal Islam dan Mistisisme, diterbtkan oleh Rausyan Fikr Yogyakarta. Volume 1. Nomor 3, 2010.
 Karya Sayyid Murtadha Mujtahedi Sistani, Mengenal Dengan Makrifat, Penulis situs: WWW.ALMONJi.COM. Diterjemahkan dari Asrare Muwafaqiat. Penerjemah: Idham M.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H