Mohon tunggu...
Andi Muhammad Husein Mazhahiri
Andi Muhammad Husein Mazhahiri Mohon Tunggu... Mahasiswa - tidak tampan tapi suka mandi dan suka kamu

love of my life

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jiwa dalam Teleologi Presepsi

28 Juni 2021   21:20 Diperbarui: 30 Juni 2021   02:06 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dinkes.bulelengkab.go.id

Begituah pengertian jiwa dari beberapa filsof Yunani dan Islam yang pada intinya mereka memeiliki kesimpulan yang sama bahwa puncak kesempurnaan manusia ada pada jiwanya yang aktual, bahwa manusia harus menggapai kesempurnaan tersebut agar mendapatkan puncak kesempurnaan dan kebahagiaan yang hakiki. Artinya Sebagian filosof di atas meletakkan jiwa pada posisi tertinggi pada diri manusia yang tidak terbatas pada hal-hal material dengan pendapat mereka masing-masing.

Namun yang menjadi pertanyaan besar, "bagaimana jiwa ini menjadi aktual pada diri manusia hingga sampai pada titik kesempurnaannya?". Kalau kita melihat pada pendapat filosof diatas, mereka hanya memberikan gambaran umum terkait posisi jiwa diatas alam materil, namun mereka tidak menjelaskan secara spesifik bagaimana jiwa manusia ini mampu berevolusi sampai pada puncak kestabilannya. Bahkan Sebagian dari mereka terjatuh pada idealisme dengan meninggalkan alam materi dan memandangnya sebagai tempat keraguan dan bayang-bayang saja. 

Seperti yang dikampanyekan oleh Imam Al-Ghazali dalam epistemologinya ia memandang bahwa alam ini sumber keraguan dan tidak bisa ditemukan kepastian di dalamnya, maka Al-Ghazali meninggalkan alam material ini ke teologi tasawuf. Menurutnya hanya tasawuf yang mampu mengantarkan manusia pada aktualitasnya sampai pada kesempurnaannya, dengan instrument hati. 

Bagi Plato jiwa manusia eksis sebelum tubuh ada dan yang hakiki ada pada alam jiwa (arketipe), sedangkan alam ini hanyalah bayang-bayang dari alam arketipe yang sifatnya tidak hakiki, sedangkan yang hakiki adalah alam jiwa, yang di dalamnya terdapat kebahagiaan dan kesenangan hakiki. Artinya baik Al-Ghazali mengingkari nilai pada alam, mereka beranggapan alam tidak memberikan kepastian.

Berbeda dengan pandangan Mulla Sadra tentang jiwa, ia menjelaskan jiwa secara terperinci bahkan mengkritik pandangan-pandangan pendahulunya tentang jiwa. Teori yang terkenal dari Mulla Sadra tentang   "menyetunya subjek dengan objek". 

Teori ini sebelumnya sudah dikampanyekan oleh Porphyry (Farfarius), seorang filosof Iskandariyah dan merupakan murid dari Plotinus ia lahir pada tahun 232 M di kota Suriah dan meninggal tahun 304 M. Teori ini banyak direspon oleh filosof muslim khusunya seperti Ibn Sina mengemukakan penolakannya terhadap teori ini ia berkata "dan untuk mereka yang memiliki pandangan bahwa tentang teori diatas, seorang lelaki yang dikenal dengan nama Porphyry, telah menulis buku berkaitan dengan akal, subjek, dan objek yang dipuji oleh para filosof parepatetik sebagai kitab yang tidak bernilai tidak paham tentangnya termasuk Pophyry sendiri.

Dan pandangannya telah dikritik oleh seorang tokoh pada zamannya, meskipun kritik itu mendapat jawaban akan tetapi sama sekali tidak merubah kekeliruannya sejak awal" hikayat ini dikemukakan oleh Ibn Sina berkaitan dengan penolakannya terhadap teori Porphyry, namun menurut Mulla Sadra, pada akhirnya Ibn Sina menggunakan konsep ini dengan apa yang dikatakannya di dalam kitab Mabda Wal Ma'ad (kepermulaan dan kebangkitan), "karena dia (eksistensi niscaya) tidak mencerap zatnya kecuali akal murni dan sumber pertama. Dan mencerap eksistensi universal darinya sebagai sumber dirinya, yang merupakan zatnya sendiri dan bukan selainnya. Karena sesungguhnya akal, subjek dan objek darinya adalah satu.

Syaikh Isyraq (Suhrawardi), bahwa ia mengaitkan pembahasan "menyatunya antara subjek dengan objek" dengan ilmu huduri seperti yang ia kutip "hal tersebut menunjukkan bahwa dari Sebagian objek yang dicerap tidak hanya sampainya eksistensi pada subjek dalam proses pencerapan tersebut atau pada hal yang berkaitan dengannya, tetapu hadir spesifik pada jiwa".

Namun Suhrawardi tidak membahas secara spesifik terkait konsep "penyatuan subjek dengan objek", tetapi isyarah yang dipaparkan menunjukkan proses pencerapan terjadi kehadiran objek pada mental subjek yang mengacu pada konsep yang dibicarakan.

Kita melihat betapa rumitnya konsep ini, menimbulkan perdebatan yang akut antar filosof muslim dan terlihat bagaimana mereka memaparkan konsep ini tidak telalu rinci dan komplek. Hingga datanglah Mulla Sadra yang menjelaskan konsep ini dengan sangat luas dan rinci dalam kaitannya dengan evolusi jiwa manusia.

Mulla Sadra memahami jiwa sebagai potensialitas pada setiap manusia yang aktualnya adalah pada akal. Artinya jiwa manusia senatiasa mengalami gerak atau evolusi dari tingkatan yang rendah menuju tingkatan yang tertinggi yaitu akal, akal merupakan tingkatan persepsi tertinggi. Namun evolusi jiwa tidak akan terjadi apabila jiwa tidak memiliki kesadaran akan obejk-objek di luar dirinya, dengan kata lain jiwa tidak akan aktual tanpa melalui pengetahuan terhadap objek-objek jiwa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun