Mohon tunggu...
Andi Muhammad Husein Mazhahiri
Andi Muhammad Husein Mazhahiri Mohon Tunggu... Mahasiswa - tidak tampan tapi suka mandi dan suka kamu

love of my life

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jiwa dalam Teleologi Presepsi

28 Juni 2021   21:20 Diperbarui: 30 Juni 2021   02:06 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dinkes.bulelengkab.go.id

Yang dimaksud siraht al-Mustaqim menurut Mulla Sadra adalah jalan Imam Ali A.s. berwilayah kepada nabi dan keluarganya. Shirat ini dicapai melalui perbuatan atau ukurannya adalah amal. Maksud dari "tunjukilah kami ke jalan yang lurus" adalah petunjuk-petunjuk agama yang mengantarkan pada yang lurus, oleh karena itu agama adalah informasi petunjuk bagi jiwa untuk menemukan jalan, agama meliputi iman, islam dan ihsan. Agama sebagai petunjuk berarti menunjukkan jalan kepada kita di sirath. Ada dua bentuk petunjuk dalam agama yaitu Takwiniyah (penciptaan) petunjuk ini bisa di ingkari dan Tasyri'I (tertulis) atau penjelasan kitab, petunjuk ini bisa diingkari, contohnya, manusia makhluk yang diberikan kebebasan (takwini) sedangkan penerapannya (Tasyri'i).  

Konsep sirath ini diambil dari Al-Qur'an dan hadits, keduanya merupakan imajinasi kenabian, maka seluruh bentuk perbuatan baik manusia seharusnya bersumber dari Al-Qur'an. Sejauh mana manusia memahami Al-Qur'an disitulah ia bergerak dengan Ma'rifatnya. Lalu apa ukuran bahwa seseorang dikatakan sukses dalam melewati sirath. Mulla Sadra mengatakan dalam kutipannya bahwa "ketiadaan keadaan yang berlebih-lebihan" merupakan "awal kesuksesan melewati sirath. perkataan ini berkaitan dengan kesederhanaan dalam perbuatan hanyalah salah satu bagian dari sirath. tentu saja ini bukan jaminan. Kesederhanaan perbuatan ini berarti keadilan sebagai syarat yang tidak menjamin keselamatan manusia Ketika melintasi sirath di hari akhir. Sama halnya Ketika mahasiswa mendaftarkan dirinya kuliah dan memenuhi syarat, belum tentu ia lulus. Dari ilustrasi ini berbuat baik bukan jaminan keselamatan, oleh karena itu harus ada iman dan ma'rifat.

Maka keadilan sebagai syarat harus dibawa pada keadilan dalam pandangan dunia tauhid ilahiah. Keadilan horizontal hanya mengantarkan kita pada moral idiologi sebelum pandangan agama yang diperoleh dengan kecenderungan rasionalitas manusia seperti konsensus, olehnya manusia harus melintasinya dan membawanya pada keadilan dalam pandangan ilahiah. Maka ada dua bentuk keadilan yaitu vertical (ilahiah) dan horizontal (alam). Orang yang ingin menuju tuhan haruslah adil. Pandangan dunia ilahiah bisa diperoleh melalui Al-Qur'an dan hadits atau perkataan imam maksum, disitulah sumber keadilan ilahiah. Jalan manifestasi ini ada pada Imam Ali A.s. untuk mengetahuinya harus melalui ma'rufat atau pengetahuan, yang fungsinya adalah ilmu menjaga manusia (penyatuan antara subjek dengan objek). Maka keadilan berarti tidak hanya baik tetapi harus juga benar. Jika kita kaitkan dengan sirath dunia berarti pertama, jiwa dipersiapkan untuk menerima wujud sejati yang sebelumnya belum dimiliki, syaratnya harus adil. Kedua, sirath sebagai persiapan untuk menuju kematian.

Mulla Sadra menjelaskan sirath di akherat sebagai berikut: lebih tajam daripada pedang (praktis), lebih kecil daripada rambut (teoritis). Sirath mencakupi praktis dan teoritis. Agama mempertemukan teori dan praktik, manusia perlu banyak mencari banyak petunjuk untuk memasuki sirath. kuncinya adalah ikhtiyar manusia, melalui keadilan horizontal dan vertical untuk mendapatkan cahaya. Maka simpulnya sirath adalah Ma'rifat dalam bentuk teori dan praktik. Ma'rifat teoritis dan praktis dituntut untuk teliti, jangan sampai Kembali lagi ke akal bil-fiil, karena ma'rifat sudah sampai pada akal mustafad, maka perlu berhati-hati pada hal-hal particular yang menjadi instrument. Akal mustafad meliputi aspek rasionalitas, spiritualitas dan iman. Artinya hubungan ketiganya tidak terpisahkan. Manusia harus meneliti betul secara pengetahuan begaimana sirath yang digunakannya, mampu atau tidak dijadikan suluk untuk mencapai akal. Oleh karena itu beriman harus jelas ma'rifatnya, seperti keimanan pada hari akhir berarti bentuk kualitas ma'rifat manusia. Mulla Sadra menjelaskan bahwa dengan sirath Imam Ali jiwa menjadi actual, Imam berada di jalan itu sebagai pejalan dan membimbing manusia.

Teori Mulla Sadra tidak lepas dari kerangka dan penjelasan dalam Al-Qur'an ia banyak diilhami pemahamannya melalui Al-Qur'an. Secara khuusus penulis akan memaparkan bagaimana doktrin teori persepsi Mulla Sadra berkaitan dengan pembahasan Al_Qur'an dengan mengutip ayat tentang cahaya (QS. 24:35). Namun sebelum masuk pada pembahasan cahaya secara riil disarankan untuk memahami ayat ke-72 surah Al-Ahzab yang bisa memberikan penjelasan permasalahan ini.

Sesungguhnya kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, (QS. 33:72).

Dari ayat di atas Mulla Sadra menafsirkan amanah disitu sebagai wujud yang ada di dalam diri manusia sebagai wujud aktif, seperti kehadiran pada manusia sama dengan tingkatan wujudnya, amanah yang diberikan oleh allah kepada manusia berkaitan dengan system persepsi wujud yang ada pada manusia saja.

Dalam penafsiran ayat cahaya, Mulla Sadra sangat kritis terhadap makna cahaya yang disampaikan oleh pemikir-pemikir muslim sebelumnya, seperti parepatetik, iluminasi dan kaum sufi. Mulla Sadra menggunakan definisi cahaya menurut Imam Ghazali yaitu "cahaya adalah sesuatu yang melaluinya mewujud segala sesuatu" defisnisi ini mengisyaratkan dua makna kesempurnaan . Dalam hal ini, cahaya dapat dihubungkan dengan sesuatu yang riil atau metaforis. Cahaya metaforis terdapat dua eksistensi yaitu pemberi dan penerima cahaya, sedangkan dalam hubungan riilnya yang ada hanya pemberi cahaya saja (sumber). Yang riil adalah cahaya, segala sesuatu tidak mampu menampakkan dirinya tanpa adanya cahaya, selama tidak ada cahaya maka akan gelap, keberadaan manusia bergantung pada cahaya oleh karena itu yang riil adalah cahayanya, karena segala sesuatu bergantung pada cahayanya atas keberadaaanya, cahaya disini diartikan sebagai petunjuk dalam sirath (ilmu pengetahuan).

Cahaya disini berkaitan dengan inderawi manusia, cahaya melingkupi manusia, seluruh eksistensi di alam ini adalah cahaya. Kegelapan bergantung pada cahaya, sama seperti keburukan bergantung pada kebaikan, artinya cahaya yang riil atau yang memiliki sedangkan kegelapan merupakan kekurangan dari cahaya. Yang menjadi pertanyaan kenapa manusia tidak bisa melihat cahaya yang tinggi? Karena intensitas kita lebih rendah. Allah tidak bisa dilihat karena intensitas tuhan lebih tinggi sedangkan indera manusia terbatas intensitasnya. Seperti ayat AlQur'an yang berbunyi "allah cahaya langit dan bumi".

Cahaya disini diartikan sebagai wujud hakiki, artinya alam dan imajinasi manusia bergantung pada akal sebagai sumber cahaya, dari sinilah lahir gradasi karena adanya pengetahuan tingkatan persepsi dari alam, imajinasi dan akal. Maka semuanya menjadi wujud dalam intensitasnya. Hubungan antara alam dan imajinasi manusia itulah yang disebut dengan makro kosmos sedankan hubungan imajinasi ke akal disebut mikro cosmos. maka urutannya adalah jiwa dengan akal yang memahami alam, sedangkan di barat kebalikannya, karena akal intensitas tertinggi yang melingkupi hal-hal inderawi, tentunya cara pandang manusia sangat luas pada persepsi akal. Orang yang di level inderawi tidak mampu menyaksikan apa yang disaksikan oleh orang yang di level akal. Disinilah pentingnya mencari intensitas cahaya yang tinggi sebagai pembimbing sirath dan pentunjuk. Artinya cahaya menunjukkan sesuatu kepada manusia yang belum disaksikan sebelumnya. Intensitas cahaya manusia bergantung pada pengetahuannya.

Dalam ilustrasinya Mulla Sadra menjelaskan alam alam semesta, ceruk atau misykat, yang meliputi Jism (paling rendah) sampai Ruhul A'dzam yang di dalamnya meliputi singgasana, pelita. Semuanya merupakan cahaya dalam gradasinya masing-masing. Atau semua yang ada di misykat merupakan cahaya dalam intensitas gradasi tertantu, semuanya wujud (cahaya). Artinya semua keberadaan ini adalah cahaya. Akal yang aktif meliputi jism sampai Ruhul A'dzam. Artinya orang pada tingkatan akal mampu melihat, berbicara atau bahkan mendengar semua makhluk, sebagaimana nabi sulaiman, sama seperti hati yang dikaitkan dengan cahaya, itu berarti hati berkaitan dengan Arsy. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun