Laporan pertama mengenai hulu sungai ada dalam buku karangan van De roy terbit tahun 1700 berdasar laporan perjalanan tahun 1690[2], dalam laporan ini memberikan informasi mengenai tokoh, kota-kota di Hulu sungai, Penguasa dan ekonomi  Hulu Sungai. Kapten Harvard tahun 1790 an memberikan laporan di Tabalong terdapat besi , Batu bara, minyak yang keluar dari tanah, serta timah[3]. Selama abad ke 18 atau tahun 1700an, Kota Negara Daha menjadi ibukota Banua lima atau kota-kota di bantaran sungai negara dan sungai tabalong dan menjadi pusat perdagangan lada di pedalaman, lada menjadi salah satu penyebab utama konflik ekseternal dan internal di Kerajaan Banjar pada abad ke 18, karena itu wilayah di sungai Bahan dan sungai Tabalong merupakan wilayah Kesultanan banjar yang dipimpin oleh seseorang yang ditunjuk oleh istana Martapura yang terkadang penguasa di Negara Daha lebih berpengaruh dari sultan di martapura atau kayutangi. Banyak tokoh-tokoh pemimpin Kota Negara Daha yang menjadi pemimpin berpengaruh dan menjadi saingan sultan di martapura[4], sebut saja seperti seorang saudara sultan yang Bernama Sultan Negara, pangeran mas dipati, Dipati Jaya Negara, raden pembayun,[5] Kiai adipati singasari, tumenggung dipanata atau yang kemudian setelah pembubaran kesultanan Banjar bergelar Raden adipati danureja dibawah pemerintahan belanda lansung. dilaporkan sering sekali konflik antara para mantri di Negara dan Sultan Martapura mengenai perdagangan Lada berakhir dalam pemberontakan dan perang.[6]Â
Â
Hari ini jika kita memudiki Sungai Bahan, kita akan menemui beberapa perkampungan dengan penduduk yang mulai memadat semakin ke hulu, dua distrik terkenal seperti Distrik Margasari, dan Distrik Negara ada disini. Â Dalam laporan perjalanan Muller menuju Hulu sungai tabalong tahun 1840, beliau melaporkan mengenai lokasi candi laras yang sangat luas, tapi tidak memberikan informasi mengenai posisi candi di Amuntai karena saat itu lokasi candi di Amuntai masih disebut Gunung Candi yang belum dieksavasi sehingga belum ditemukan adanya bangunan dibawah gundukan tanah tersebut, selain itu gundukan Gunung Candi di Amuntai tidak seluas lokasi candi di Margasari.Â
Pada saat di Negara Muller dijemput dan ditemani pemimpin terkenal dari Negara daha yang Bernama Raja Mahmud Saleh, Â beliau juga menambahkan bahwa pada masa itu wilayah yang hari ini disebut Barito Timur merupakan bagian dari kekuasaan hulu sungai.[7]Â
Beberapa daerah yang disebut dalam laporan De Roy pada tahun 1690 diketahui didaerah yang kita kenal saat ini sebagai Margasari, Muara Piau dan sebagainya,[10] selanjutnya kapten Harvat dalam laporan perjalanannya tahun 1790 atau seratus tahun kemudian setelah perjalanan De roy juga menyebut wilayah di pedalaman margasari seperti Sungai Tapin.[11] di Distrik Margasari terdapat Muara Muning yang merupakan hilir dari Sungai Tapin, pada Distrik Margasari juga terdapat situs Candi Laras yang luasnya menurut Muller hampir 100x100 meter, sebuah peninggalan dari Kerajaan bercorak Hindu Budha yaitu Kerajaan Dipa. Sungai muning mengalir jauh ke timur memanjangi rawa-rawa dan menuju daratan yang lebih kering dan menaiki Pegunungan Meratus. Ada beberapa anak Sungai muning yang bisa kita ketahui seperti Sungai Tapin dan Sungai Tatakan yang kemudian lebih dikenal sebagai bagian dari distrik Banua Ampat.
Distrik Margasari mempunyai legenda tersendiri mengenai asal usul Namanya. Sebutan "Margasari" terdengar sangat sansekerta yang diduga sudah ada semenjak awal pengaruh Hindu-Budha memasuki daerah Hulu Sungai, Margasari menjadi pintu gerbang menuju pedalaman Hulu Sungai dan menjadi batas khayal perbatasan Distrik Hulu Sungai dan daerah-daerah Kuala atau Pesisir. Pa buku karangan M. NIjhoff, berjudul Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch indie OUDHEIDKUNDIG VERSLAG 1926 Eerste en Tweede Kwartaal, penerbit Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Batavia, tahun 1927, di halaman 154 ditulisankan:
 " Menoeroet kabar2 zaman bahari kala. Atsalnja ada 7 boeah kapal orang Hindoe (Kling) dengan seorang Radjanja masoek, roepanja kiraa di watas Marabahan tapi tempo itoe bloem ada Negri daratan tjoema air sadja (laoet). Adapoen maksoednja ka toedjoeh boeah kapal itoe agar mentjari tanah daratan boeat mendirikan Negri sebab menoeroet soerat penoedjoeman kalau terdapat tanah jang baoenja wangi di sitoelah jang baik boeat Negri. Diantara kapal jang ka 7 boeah ada membawa 2 ekor bebek soerati, maka sewaktoe itoe kapal berlaboeh saoeh lantas itoe, kedoea bebek terseboet terbang mentjahari makanan, kemoedian sorenja kombali di kapal; dilihat oleh Radja Kling bahasa badanja itoe bebek bertjeloemoer dengan loempoer oleh demikian teranglah pendapatan Radja Kling tentoe adalah tanah daratan. Pada keesoekan harinja waktoe pagia selaloe di preksa maka kedoea ekor bebek itoe terbang menoedjoe ke Oetara, setalah itoe maka kapalpoen berlajar mengiringkan sahingga sarapai di mana bebek itoe berhenti dimana ada tanah jang timboel (Tjandi Laras). Sesoedahnja Radja Kling naik di atas itoe tanah maka di preksa dan di tjioem tiada berbaoe wangi tetapi Radja Kling adalah berasa senang hati apabila doedoek di atas tanah itoe sahingga tertidoer beberapa djam lamanja, sesoedahnja Radja Kling bangoen tidoer maka baharoelah menitahkan kepada segala anak boeah isi kapal itoe boeat bermoela memboeat Negri disitoe dan di kasih nama Margasari."
Seorang sejarawaran berdarah Margasari Pa Nanang pernah berujar bahwa "di Margasari lah peradapan orang Hulu Sungai dimulai dan diakhiri", sebuah anekdot yang beliau sarikan berdasar data historis Margasari yang dimulai ketika bangunan Candi dibangun oleh orang-orang keling,[9] dari sana kemudian membangun Kerajaan modern dengan gaya Hindu Budha, mereka memasuki lebih jauh ke dalam menuju pusat Hulu Sungai yang lebih banyak penduduknya dan menyatukan mereka dalam kesatuan politik baru dengan terbangunnya Kerajaan-kerajaan seperti kerajaan Nan Sarunai, Kerajaan Tanjung Puri, Kerajaan Dipa dan Kerajaan Daha. Di Margasari pernah ada pelabuhan utama kerajaan Dipa dan Daha, yang menjadi sumber kemakmuran bagi kerajaan tersebut. Namun kemudian pada suatu waktu dimasa-masa akhir Kerajaan Daha terjadi kekisruhan politik di internal, di Margasari lah lokasi pertempuran besar terakhir antara Pangeran Tumenggung dan Pangeran Samudera yang mengakhiri kerajaan Daha sebagai puncak kekisruhan politik tersebut, dan mulailah stabilitas Dinasti baru Wangsa Suriansyah dalam Kesultanan Banjar yang mewarisi seluruh wilayah kerajaan Daha yang menguasai hampir tiga per-empat pulau Kalimantan. Beberapa ratus tahun kemudian di Margasari yang terlupakan kembali membuka pintunya dengan Pemberontakan Datu Aling di Tambai Makkah dekat kampung Lawahan di anak Sungai Muning Margasari, yang mengakibatkan kesultanan Banjar akhirnya dibubarkan oleh Kolonial Belanda dan menyambut era pemerintahan modern ala Kolonial Hindia Timur Belanda.
Berlayar beberapa jam lagi menuju Utara, kita akan mendapati Distrik Negara, dikenal juga dengan sebutan Kota Negara Daha, distrik tua lokasi ibukota Kerajaan Daha, yang berada tepat di ujung Sungai Bahan. Di Negara Daha Sungai Tabalong dan sungai Batang Alai Besar bertemu dalam sebuah pertigaan dan membentuk Sungai Bahan. Kota Negara Daha pernah menjadi pusat ekonomi dan politik utama Hulu Sungai selama ratusan tahun dari masa Kerajaan Daha, Kerajaan Banjar, Kolonial Belanda sampai masa Kemerdekan di tahun 70an.
Â
Kota Negara merupakan bekas ibukota Kerajaan Daha, kota Negara sangat srategis karena berada ditengah-tengah Hulu Sungai, dan merupakan daerah pertemuan Sungai tabalong dan Sungai Alai. Sebagai sebuah kota di tengah rawa-rawa pada dasarnya mempunyai persimpangan banyak aliran Sungai besar maupun kecil, alami ataupun buatan manusia. Negara tidak hanya terhubung ke Sungai barito melalui Sungai bahan yang mengalir ke arah selatan yang bermuara di Muara bahan, tapi juga terhubung ke Sungai barito melalui Sungai Tabalong yang tidak jauh di utara kota Negara. Jika kita menuju utara lagi dengan memudiki Sungai Tabalong, kita akan bertemu distrik Amuntai, dimana kampung-kampung penting berada, seperti Alabio, Sungai Banar, Kota Amuntai, Kalua, Tanjung dan sampai ke ujung wilayah Muara Uya, dan daerah-daerah yang hari masuk wilayah Kabupaten Barito Timur yang dahulu masuk dalam wilayah administratif Hulu Sungai.