Mohon tunggu...
Andin Alfigenk AnsyarullahNaim
Andin Alfigenk AnsyarullahNaim Mohon Tunggu... biasa saja

orang biasa saja, biasa saja,,,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenal Klan Aristokrat Hulu Sungai Kalimantan Selatan

2 November 2024   00:22 Diperbarui: 12 Februari 2025   09:28 1237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi Pribadi, datu muhammad yusuf bin Tumenggung Yuda karsa palajau

Dalam hal ini penulis menggarisbawahi jika wawasan penulis lebih banyak mengenai keluarga-keluarga di barabai daripada daerah lain, dan penulis masih kurang wawasan mengenai keluarga-keluarga tokoh di daerah lain di hulu Sungai.

Seperti kita ketahui, Perang Hulu Sungai yang dimulai ditahun 1860an terjadi selama puluhan tahun, dan menjadi salah satu perang dengan banyak korban jatuh dari kedua belah pihak, rakyat Hulu Sungai sangat menderita dan menjadi korban utama dalam peperangan, baik korban materi dan non materi. Para elit Hulu Sungai dalam berbagai klan keluarga pun terpecah belah dalam banyak kubu, untuk itu tidak ada cara lain bagi semua orang yang bertikai untuk cepat mengakhiri perang kecuali dengan bekerjasama dan berdamai, termasuk permusuhan dengan Belanda yang menjadi kekuatan utama dan para Bangsawan Hulu Sungai. Untuk stabilitas politik pemerintah belanda memberikan kompensasi bagi sebagian para elit dengan memberikan atau memulihkan kembali jabatan yang pernah mereka miliki dan kemudian keturunan dan keluarganya diberikan privilege untuk menjadi birokrat di pemerintahan kolonial belanda. Dari sana lah asal mula aristokrat Hulu Sungai mengenal birokrasi modern pemerintahan Belanda.

Apakah kemudian aristokrat Hulu Sungai bisa dikatakan Pro Belanda? Pertanyaan ini cukup umum dilontarkan oleh orang awam, Jawabannya mungkin tidak sesederhana pertanyaannya. Apalagi jika kita melihatnya dalam kacamata hitam putih nasionalisme yang dijaman itu tidak dikenal oleh para aristokrat Hulu Sungai. Wacana nasionalisme baru muncul diabad 20, ketika ada kesadaraan baru dikalangan generasi yang lebih muda untuk melawan penjajahan di seluruh Hindia Belanda. Pertanyaan apakah pro belanda atau tidak pro Belanda adalah sangat tidak tepat melihat kondisi saat itu.

Akan sangat wajar bagi para elit Hulu Sungai untuk memilih berdamai dan menjalankan kehidupan secara wajar dan stabil Kembali, tidak mudah bagi seseorang atau kelompok tertentu dalam hal ini para bangsawan Hulu Sungai dan Rakyat Hulu Sungai untuk kehilangan kekuasaan dan kestabilitasan yang mereka miliki selama ratusan tahun. apalagi dengan alasan terjadi perang yang sebenarnya tidak menjadi bagian dari politik dan kepentingan mereka, yaitu kisruh perebutan tahta di Kerajaan Banjar yang tidak ada sangkut pautnya dengan mereka, sisi lain pula Kerajaan Banjar secara politik tidak begitu mengikat kepada mereka. Sampai hari ini belum ada analisis logis dari ikut campurnya beberapa bangsawan Hulu Sungai dalam peperangan di Hulu Sungai yang menjadi salah satu perang paling berdarah yang pernah ada di Indonesia.

Memasuki abad ke 20, para aristokrat Hulu Sungai menjadi refrensentasi Kalimantan di pemerintahan kolonial Belanda karena kuantitas mereka yang banyak, hal ini mirip dengan yang terjadi misalnya pada orang-orang Minang dan Bangsawan Jawa yang banyak menempati birokrat modern pemerintahan kolonial Belanda. Laporan mengenai pejabat-pejabat seperti kepala Regent, Mufti, kepala distrik, dan Penghulu rutin dilaporkan dalam almanak tahunan pemerintah Belanda. Sebagian dari keturunan mereka pun sampai hari ini masih bisa kita kenali dengan mudah karena masih menjadi berperan dalam berbagai posisi di Indonesia modern.

Seperti kita bahas sebelumnya diatas, aristokrat Hulu Sungai terus terlibat dalam percaturan Politik di Kalimantan Selatan selama ratusan tahun semenjak kerajaan Daha runtuh, beberapa moment politik yang terjadi seperti naiknya orang 10 dalam tampuk kekuasaan yang stabil di banua lima di pertengahan tahun 1785, dan  perang Hulu Sungai Meletus di tahun 1859-1861 menjadi peran paling krusial dalam naiknya peran bangsawan hulu sungai secara lebih luas dan lebih penting. Meski Pada perang Hulu sungai pula para Bangsawan terpecah dalam beberapa faksi yang bertikai.

Disaat dan setelah perang Hulu Sungai, Kebutuhan pemerintah kolonial terhadap tenaga terdidik untuk mengisi posisi-posisi birokrasi semakin tinggi, sekolah-sekolah sekuler pun banyak dibuka pada awal 1900an di Hulu sungai dan banyak diisi oleh para keluarga birokrat dan keluarga Bangsawan, lulusan dari sekolah-sekolah tersebut sebagian bisa terserap untuk mengisi posisi posisi birokrasi seperti guru, petugas Kesehatan, petugas pertanian dan sebagainya, atau pekerjaan-pekerjaan diluar birokrasi di Kalimantan seperti dalam perusahaan-perusahaan yang hadir di seluruh pulau Kalimantan.

Perlu juga didiskusikan bahwa masuknya Aristokrat Hulu sungai dalam pemerintahan Belanda juga disertai gejolak internal dalam masing-masing keluarga besar. Karena rupanya meski menjadi birokrat pemerintah Belanda, mereka masih menyimpan rasa tidak tunduknya atau ketidaksukaannya kepada pemerintah kolonial, ketundukan mereka terhadap pemerintah kolonial bisa disebut hanya sebagai ketundukan dan kesepakatan politik belaka, tidak sebagai ketundukan dengan sepenuh hati, sehingga mereka masih menganggap Belanda sebagai orang lain yang menguasai mereka

Walau bagaimanapun jejaring aristokrat Hulu Sungai masih menyimpan rasa kekeluargaan, mereka masih melakukan pernikahan antara keluarga besar masing-masing meski berbeda faksi dan pilihan politik, ini menunjukkan rasa kesatuan mereka tidaklah luntur.

Nyatanya dalam sebuah keluarga besar, tidak semua orang bisa mendapatkan jatah jabatan sehingga selalu ada hal yang dikalahkan bahkan terjadi konflik karena berbagai kebijakan pemerintah. Beberapa cabang keluarga melakukan migrasi ke luar Kalimantan selatan untuk mendapatkan posisi kehidupan yang lebih baik, seperti ke Sumatera dan Malaysia. Salah satu alasan migrasi tersebut adalah alasan politik, ekonomi dan marwah kebangsawanan setelah pengambilan paksa tanah ulayat oleh pemerintah. Migrasi ke Pulau sumatera dan Malaysia memang digawangi oleh para Bangsawan Hulu Sungai karena pada dasarnya migrasi ke tempat yang jauh membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan ini hanya bisa dilakukan oleh keluarga-keluarga bangsawan yang mempunyai ekonomi yang kuat.

Beberapa keluarga yang lain malah mulai mengembangkan usaha perdagangan dan indrustri ke luar Hulu sungai bahkan ke Luar pulau Kalimantan, hal ini mampu mereka lakukan dikarenakan mereka mempunyai modal yang mumpuni dari harta yang mereka miliki selama ratusan tahun dan mereka juga memiliki jejaring keluarga dalam pemerintahan, konflik mungkin tidak terlihat jelas disini, karena Kerjasama ekonomi mereka terlihat saling menguntungkan, tapi justru disinilah konsolidasi dalam meredakan ketegangan konflik, jejaring ekonomi yang disering juga disebut jejaring saudagar Hulu Sungai bisa dapat di kota-kota besar Pulau Jawa dan pulau pulau lain di Nusantara.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun