Kampung Jatuh juga disebutkan dalam perjalanan Kapten Harvat, seorang kapten yang diutus VOC melakukan Survey setelah perjanjian 1778 dengan perjalanan darat menyusuri wilayah-wilayah di kaki Pegunungan Meratus, perjalanan dimulai dari Martapura menuju utara hingga sampai ke Sungai Tabalong di tahun 1790 atau seratus tahun setelah perjalan de Roy. Meski tidak singgah ke Jatuh, harvat juga melaporkan nama Kampung Banua Padang di Sungai Tapin , Kandangan dan Karang Jawa di Sungai Amandit, lalu menyinggahi banua tengah lalu melanjutkan ke Jambu ( dekat kampung Ilung) kemudian menuju Balangan dan Tabalong, dari sana  turun ke selatan ke daerah Amuntai ke Negara dan pergi sebentar ke Pamangkih, beliau menyebut wilayah Banua Assam dan Jatuh. Perjalanan perwira VOC ini mungkin sebagai pemeriksaan setelah perjanjian tahun 1782.
Laporan wilayah lain mengenai Jatuh, semakin intens selama perang banjar, sebagai salah satu lokasi atau kampung yang melakukan perlawanan terhadap belanda. Juga dibuku Tijdschrift voor Neerland's Indi jrg 23, 1861 (bagian ke-1), no 4 Majalah untuk Neerland's Indi halaman 210, yang menyebut wilayah jatuh di daerah Alai dekat pegunungan meratus sebagai salah satu wilayah yang dianggap penting.
Francoin Valentyn secara tegas menyebutkan Jatuh adalah sebuah Kerajaan tersendiri dipedalaman, wilayah-wilayah yang disebutkan De Roy pada dasarnya adalah wilayah yang hari ini masuk daerah yang disebut Alai, sebuah daerah yang menurut hikayat banjar dikuasai oleh Pangeran Tumenggung, Penguasa Kerajaan Daha terakhir. Kerajaan jatuh atau Kerajaan Alai adalah penerus asli dari Kerajaan Daha.
Dalam pembahasan lain, Berdirinya Kerajaan Daha merupakan sesuatu yang sampai hari ini masih merupakan dianggap misteri dengan sedikit diskusi kritis terhadap hikayat yang ada. Dalam hikayat-hikayat yang kita dapatkan memberikan informasi yang kabur, Sumber hikayat memberikan garis besar yang sama, bahwa Kerajaan Daha didirikan oleh Raden Sekar Sungsang, yang menikahi putri Kerajaan Dipa, dan kemudian mendirikan Kerajaan Daha, bagaimana transformasi dari Kerajaan Dipa menjadi Kerajaan Daha juga menjadi misteri. Sementara ini dipercaya bahwa secara sederhana perubahan ibukota atau keraton ini kemudian merubah nama Kerajaan dari Kerajaan Dipa dan menjadi Kerajaan Daha.
Namun jika kita telaah lebih dalam, perubahan ibukota Kerajaan atau pembetukan Kerajaan Baru ini tidak bisa kita letakkan sesederhana dan seindah cerita dalam hikayat. Gambaran mengenai Kerajaan Dipa pun tidak sesederhana yang kita percaya pula, dalam hikayat berdirinya Kerajaan Dipa tidak terlepas dari campur tangan dari unsur luar Pulau, yaitu orang-orang dari Pulau Jawa diseberang, namun pertanyaan yang lebih penting adalah, kenapa daerah Hulu Sungai yang menjadi wilayah rebutan utama dan kemudian menjadi pusat kekuasaan di kalimantan, kenapa bukan daerah lain? beberapa hal bisa menjawab, bahwa Hulu Sungai adalah daerah yang sangat mendukung untuk berdirinya sebuah peradapan besar, geografi Hulu Sungai sangat unik sehingga mampu untuk menampung sebuah peradapan untuk tumbuh. geografi alamnya unik, mempunyai sumber daya pangan yang memadai dan mandiri, mempunyai sumber ekonomi seperti pertambangan emas dan lainnya sebagai suatu sumber ekonomi, serta bentang alamnya yang secara alami bisa menjadi pertahanan dan keamanan. Berbagai sumber daya alam yang unik tersebut mampu untuk menghasilkan penduduk yang banyak dan menyediakan sumber daya manusia untuk menaklukan wilayah lainnya dikawasan.
Dengan begitu, Kerajaan Dipa tidak bisa dikatakan sebagai sebuah Kerajaan kecil, luasnya wilayah yang mereka kuasai dan pengaruhi menunjukkan Kerajaan Dipa sangat kuat dan besar, ibukota Kerajaan Dipa yang berada di Hulu Sungai yang dipercaya dekat daerah sekitaran Kota Amuntai, tidak bisa pula kita lihat sebagai sebuah perkampungan biasa, dimana istana berada tentu akan terpentuk struktur tertentu yang melambangkan kebesaran dan kekuasaan Dipa.
Melihat hal tersebut diatas, maka hikayat mengenai Raden Sekar Sungsang yang melarikan diri dari istana setelah dipukul kepalanya oleh ibunya dan ikut sebuah kapal dagang ke Surabaya akan sulit untuk diterima, karena tentu hal tersebut akan tidak mudah dilakukan, dan pula informasi tersebut sangat tendensi memperlihatkan Kerajaan Dipa sebagai sebuah Kerajaan Lemah dalam pertahanan dan keamanan.
Seorang Pangeran kecil melarikan diri dari istana dengan begitu mudahnya, juga sulit diterima secara rasional, apakah Pengawal istana tidak mengenali tanda dan atribut seorang Pangeran, apakah ibunya tidak mencarinya, apakah para pelayan istana tidak mencarinya juga, dan apakah pula pedagang yang membawanya ke Surabaya tidak bisa membedakan seorang anak biasa dan Pangeran status tinggi? Pedagang tersebut tentu mempertaruhkan nyawanya dengan membawa seorang Pangeran kecil tanpa izin, selain itu jarak antara Hulu Sungai sampai ke Muara Barito di laut Jawa membutuhkan waktu berminggu-minggu. Sungguh itu suatu aksi yang tidak biasa, dan sangat aneh jika istana atau Raja Daha akan berdiam diri melihat cucunya hilang dengan tiba-tiba.
Kelanjutan cerita hikayat pula bisa kita lihat lebih jauh, bertahun-tahun kemudian Raden Sekar Sungsang menikah di Pulau Jawa, kemudian beliau pulang ke ibukota Kerajaan Dipa untuk berdagang, lalu bagaimana ceritanya tiba-tiba beliau bisa menikahi seorang putri utama Kerajaan Dipa, secara kasta saja seorang pedagang tidak akan mungkin menikahi seorang Putri Raja, atau pun jika beliau memang dianggap Bangsawan yang hilang, bagaimana mungkin pula bisa menikahi seorang Putri Raja dengan kasta tertinggi dan mempunyai wilayah terluas di Pulau Kalimantan, apakah semudah itu Raja Dipa menikahkan putrinya dengan seorang pedagang yang belum tentu beliau ketahui asal usulnya, apakah Raja Dipa sebagai Raja dari sebuah Kerajaan besar tidak memikirkan dampak politiknya, tentu saja seorang Raja dan bawahannya bukanlah seorang yang bodoh yang mudah terkesima, kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki oleh raja Dipa mungkin tidak bisa dibandingkan dengan harta seorang pedagang biasa.
Penulis melihat bahwa Kerajaan Dipa tidak tunduk kepada Kerajaan di Jawa dalam arti bertekuk lutut, kronologis serangan Majapahit ke Hulu Sungai yang kemudian berhasil mendirikan Kerajaan Dipa sebagai "Kerajaan Persatuan"menunjukkan gambaran yang penuh drama, serangan dari Pulau Jawa tidak berhasil mengalahkan dan menaklukan Kerajaan di Hulu Sungai, apakah Kerajaan itu Kerajaan nan sarunai ataupun Kerajaan lainnya, yang terjadi hanya perdamaian dengan perkawinan politik yang disimbolkan antara seorang Pangeran Jawa atau Majapahit dengan seorang Putri Bangawan setempat yang terkenal dengan nama Putri Junjung Buih.
Pasti ada proses politik, ketika raden sekar sungsang berhasil mendirikan Kerajaan baru yang bernama Kerajaan Daha, bagaimana proses perpindahan kekuasaan ke Raden Sekar Sungsang yang datang dari Pulau Jawa dan berhasil mengambil alih kekuasaan sebaiknya harus ada penjelasan.