Â
Meskipun terdengar asing bahkan di Kalimantan sendiri, Sumber utama mengenai Kerajaan Jatuh sejauh yang bisa didapat ada dalam laporan De Roy yang terbit pertama kali pada tahun 1700, laporan De Roy kemudian dijadikan sebagai referensi utama dibanyak buku-buku Barat dalam berbagai bahasa di sepanjang tahun 1700an. Kemudian laporan Francoin Valentyn yang terbit tahun 1726 yang menyebutkan Kerajaan Jatuh bersama Kerajaan lain di Pulau Kalimantan seperti Kerajaan Sambas, Kerajaan Landak dan Kerajaan Karimata, sebagai entitas Kerajaan yang berbeda dengan Kerajaan Banjarmasin, Bahkan dengan memunculkan ilustrasi peta Pulau Kalimantan dengan tulisan Rijk van Jatoeh, atau kerajaaan jatuh yang berada di pedalaman Pulau Kalimantan. Sebuah laporang lain juga menyebut nama raja alai, yang diisukan bekerjasama dengan pangeran Amir.
Penamaan Kerajaan jatuh atau Kerajaan Alai kemungkinan besar berdasar informasi de Roy diatas, yang menjelajahi Kerajaan-Kerajaan di sepanjang pesisir barat dan selatan Kalimantan pada tahun 1690 M , De Roy mengunjungi wilayah Hulu Sungai tepatnya di Kota Negara di pedalaman Sungai Bahan, Kota Negara sendiri merupakan wilayah utama dari Kerajaan Daha, Kerajaan yang dahulu pernah menjadi Kerajaan paling kuat dan berkuasa di Pulau Kalimantan. dari Kota Negara de Roy memasuki lebih ke pedalaman ke wilayah yang disebut dengan Alai, wilayah yang saat itu terkenal sebagai wilayah tambang emas, disana De Roy bertemu dengan Tumenggung Gusti di keratonnya yang berada di Banua Asam, kemudian De Roy bersama Tumenggung Gusti menghadap Raja di kampung Jatuh. Mungkin saja karena Raja wilayah Alai ini berada di Kampung Jatuh, wilayah ini kemudian disebut Kerajaan Jatuh.
Kampung Jatuh juga disebutkan dalam perjalanan Kapten Harvat, seorang kapten yang diutus VOC melakukan Survey setelah perjanjian 1778 dengan perjalanan darat menyusuri wilayah-wilayah di kaki Pegunungan Meratus, perjalanan dimulai dari Martapura menuju utara hingga sampai ke Sungai Tabalong di tahun 1790 atau seratus tahun setelah perjalan de Roy. Meski tidak singgah ke Jatuh, harvat juga melaporkan nama Kampung Banua Padang di Sungai Tapin , Kandangan dan Karang Jawa di Sungai Amandit, lalu menyinggahi banua tengah lalu melanjutkan ke Jambu ( dekat kampung Ilung) kemudian menuju Balangan dan Tabalong, dari sana  turun ke selatan ke daerah Amuntai ke Negara dan pergi sebentar ke Pamangkih, beliau menyebut wilayah Banua Assam dan Jatuh. Perjalanan perwira VOC ini mungkin sebagai pemeriksaan setelah perjanjian tahun 1782.
Laporan wilayah lain mengenai Jatuh, semakin intens selama perang banjar, sebagai salah satu lokasi atau kampung yang melakukan perlawanan terhadap belanda. Juga dibuku Tijdschrift voor Neerland's Indi jrg 23, 1861 (bagian ke-1), no 4 Majalah untuk Neerland's Indi halaman 210, yang menyebut wilayah jatuh di daerah Alai dekat pegunungan meratus sebagai salah satu wilayah yang dianggap penting.
Francoin Valentyn secara tegas menyebutkan Jatuh adalah sebuah Kerajaan tersendiri dipedalaman, wilayah-wilayah yang disebutkan De Roy pada dasarnya adalah wilayah yang hari ini masuk daerah yang disebut Alai, sebuah daerah yang menurut hikayat banjar dikuasai oleh Pangeran Tumenggung, Penguasa Kerajaan Daha terakhir. Kerajaan jatuh atau Kerajaan Alai adalah penerus asli dari Kerajaan Daha.
Dalam pembahasan lain, Berdirinya Kerajaan Daha merupakan sesuatu yang sampai hari ini masih merupakan dianggap misteri dengan sedikit diskusi kritis terhadap hikayat yang ada. Dalam hikayat-hikayat yang kita dapatkan memberikan informasi yang kabur, Sumber hikayat memberikan garis besar yang sama, bahwa Kerajaan Daha didirikan oleh Raden Sekar Sungsang, yang menikahi putri Kerajaan Dipa, dan kemudian mendirikan Kerajaan Daha, bagaimana transformasi dari Kerajaan Dipa menjadi Kerajaan Daha juga menjadi misteri. Sementara ini dipercaya bahwa secara sederhana perubahan ibukota atau keraton ini kemudian merubah nama Kerajaan dari Kerajaan Dipa dan menjadi Kerajaan Daha.
Namun jika kita telaah lebih dalam, perubahan ibukota Kerajaan atau pembetukan Kerajaan Baru ini tidak bisa kita letakkan sesederhana dan seindah cerita dalam hikayat. Gambaran mengenai Kerajaan Dipa pun tidak sesederhana yang kita percaya pula, dalam hikayat berdirinya Kerajaan Dipa tidak terlepas dari campur tangan dari unsur luar Pulau, yaitu orang-orang dari Pulau Jawa diseberang, namun pertanyaan yang lebih penting adalah, kenapa daerah Hulu Sungai yang menjadi wilayah rebutan utama dan kemudian menjadi pusat kekuasaan di kalimantan, kenapa bukan daerah lain? beberapa hal bisa menjawab, bahwa Hulu Sungai adalah daerah yang sangat mendukung untuk berdirinya sebuah peradapan besar, geografi Hulu Sungai sangat unik sehingga mampu untuk menampung sebuah peradapan untuk tumbuh. geografi alamnya unik, mempunyai sumber daya pangan yang memadai dan mandiri, mempunyai sumber ekonomi seperti pertambangan emas dan lainnya sebagai suatu sumber ekonomi, serta bentang alamnya yang secara alami bisa menjadi pertahanan dan keamanan. Berbagai sumber daya alam yang unik tersebut mampu untuk menghasilkan penduduk yang banyak dan menyediakan sumber daya manusia untuk menaklukan wilayah lainnya dikawasan.
Dengan begitu, Kerajaan Dipa tidak bisa dikatakan sebagai sebuah Kerajaan kecil, luasnya wilayah yang mereka kuasai dan pengaruhi menunjukkan Kerajaan Dipa sangat kuat dan besar, ibukota Kerajaan Dipa yang berada di Hulu Sungai yang dipercaya dekat daerah sekitaran Kota Amuntai, tidak bisa pula kita lihat sebagai sebuah perkampungan biasa, dimana istana berada tentu akan terpentuk struktur tertentu yang melambangkan kebesaran dan kekuasaan Dipa.
Melihat hal tersebut diatas, maka hikayat mengenai Raden Sekar Sungsang yang melarikan diri dari istana setelah dipukul kepalanya oleh ibunya dan ikut sebuah kapal dagang ke Surabaya akan sulit untuk diterima, karena tentu hal tersebut akan tidak mudah dilakukan, dan pula informasi tersebut sangat tendensi memperlihatkan Kerajaan Dipa sebagai sebuah Kerajaan Lemah dalam pertahanan dan keamanan.
Seorang Pangeran kecil melarikan diri dari istana dengan begitu mudahnya, juga sulit diterima secara rasional, apakah Pengawal istana tidak mengenali tanda dan atribut seorang Pangeran, apakah ibunya tidak mencarinya, apakah para pelayan istana tidak mencarinya juga, dan apakah pula pedagang yang membawanya ke Surabaya tidak bisa membedakan seorang anak biasa dan Pangeran status tinggi? Pedagang tersebut tentu mempertaruhkan nyawanya dengan membawa seorang Pangeran kecil tanpa izin, selain itu jarak antara Hulu Sungai sampai ke Muara Barito di laut Jawa membutuhkan waktu berminggu-minggu. Sungguh itu suatu aksi yang tidak biasa, dan sangat aneh jika istana atau Raja Daha akan berdiam diri melihat cucunya hilang dengan tiba-tiba.