Mohon tunggu...
Andin Alfigenk AnsyarullahNaim
Andin Alfigenk AnsyarullahNaim Mohon Tunggu... Administrasi - biasa saja

orang biasa saja, biasa saja,,,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenal Klan Aristokrat Hulu Sungai Kalimantan Selatan

2 November 2024   00:22 Diperbarui: 2 November 2024   00:22 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
koleksi diambil dari Buku Francoin Valentyn

Laporan pertama mengenai hulu sungai ada dalam buku karangan van De roy terbit tahun 1700 berdasar laporan perjalanan tahun 1690[2], dalam laporan ini memberikan informasi mengenai tokoh, kota-kota di hulu sungai, penguasa dan ekonomi  Hulu Sungai. Kapten Harvard tahun 1790 an memberikan laporan di Tabalong terdapat besi , Batu bara, minyak yang keluar dari tanah, serta timah[3]. Selama abad ke 18 atau tahun 1700an, Kota Negara Daha menjadi ibukota Banua lima atau kota-kota di bantaran sungai negara dan sungai tabalong dan menjadi pusat perdagangan lada di pedalaman, lada menjadi salah satu penyebab utama konflik ekseternal dan internal di Kerajaan Banjar pada abad ke 18, karena itu wilayah di sungai Bahan dan sungai Tabalong merupakan wilayah Kesultanan banjar yang dipimpin oleh seseorang yang ditunjuk oleh istana Martapura yang terkadang penguasa di Negara Daha lebih berpengaruh dari sultan di martapura atau kayutangi. Banyak tokoh-tokoh pemimpin Kota Negara Daha yang menjadi pemimpin berpengaruh dan menjadi saingan sultan di martapura[4], sebut saja seperti seorang saudara sultan yang Bernama Sultan Negara, pangeran mas dipati, Dipati Jaya Negara, raden pembayun,[5] Kiai adipati singasari, tumenggung dipanata atau yang kemudian setelah pembubaran kesultanan Banjar bergelar Raden adipati danureja dibawah pemerintahan belanda lansung. dilaporkan sering sekali konflik antara para mantri di Negara dan Sultan Martapura mengenai perdagangan Lada berakhir dalam pemberontakan dan perang.[6] 

 

Dalam laporan perjalanan muller ke Hulu sungi tabalong tahun 1840, beliau melaporkan mengenai lokasi candi laras yang sangat luas, tapi tidak memberikan informasi mengenai posisi candi di amuntai, pada saat di negara beliau dijemput pemimpin negara yang Bernama Raja Mahmud Saleh,  beliau juga menambahkan bahwa wilayah yang hari ini disebut Barito Timur merupakan bagian dari kekuasaan hulu sungai.[7]

 

Hari ini jika kita memudiki Sungai Bahan, kita akan menemui beberapa perkampungan dengan penduduk yang mulai memadat semakin ke hulu, Distrik-distrik terkenal seperti Distrik Margasari, dan Distrik Negara.

 

Pada Distrik Margasari terdapat Muara Muning yang merupakan hilir dari Sungai Tapin, pada Distrik Margasari jua terdapat situs Candi Laras yang luasnya menurut  Muller hampir 100x100 meter, sebuah peninggalan dari Kerajaan bercorak Hindu Budha yaitu Kerajaan Dipa. Sungai muning mengalir jauh ke timur memanjangi rawa-rawa dan menuju daratan yang lebih kering dan menaiki Pegunungan Meratus. Ada beberapa anak Sungai muning yang bisa kita ketahui seperti Sungai Tapin dan Sungai Tatakan. 

 

dan mempunyai legenda tersendiri mengenai asal usul Namanya[8]. Sebutan "Margasari" terdengar sangat sansekerta yang diduga sudah ada semenjak awal pengaruh Hindu-Budha memasuki daerah Hulu Sungai, Margasari menjadi pintu gerbang menuju pedalaman Hulu Sungai dan menjadi batas khayal perbatasan Distrik Hulu Sungai dan daerah-daerah Kuala atau Pesisir. Seorang sejarawaran berdarah Margasari Pa Nanang pernah berujar di Margasari lah peradapan orang Hulu Sungai dimulai dan diakhiri, sebuah anekdot yang beliau sarikan berdasar data historis Margasari yang dimulai ketika bangunan Candi dibangun oleh orang-orang keling,[9] kemudian membangun Kerajaan modern dengan gaya hindu budha, dari margasari lah mereka memasuki lebih jauh kedalam menuju pusat hulu Sungai yang lebih banyak penduduknya dan menyatukan mereka dalam kesatuan politik baru dengan terbangunnya Kerajaan-kerajaan seperti Man Sarunai, Tanjung Puri, Dipa, Daha. 

 

Margasari pernah menjadi pelabuhan kerajaan Dipa dan Daha, membawa kemakmuran bagi kerajaan tersebut, dalam sebuah massa revolusi politik dimasa-masa akhir Kerajaan Daha di Margasari lah tempat pertempuran terakhir antara Pangeran Tumenggung dan Pangeran Samudera yang mengakhiri kerajaan Daha dan dimulainya stabilitas Dinasti baru Wangsa Suriansyah dalam Kesultanan Banjar yang bercorak Islam dan mewarisi seluruh wilayah kerajaan Daha yang menguasai hampir tiga per-empat pulau Kalimantan. Beberapa ratus tahun kemudian di Margasari yang terlupakan kembali membuka pintunya dengan Pemberontakan Datu Aling di Tambai Makkah dekat kampung Lawahan di anak Sungai Muning Margasari, yang mengakibatkan kesultanan banjar akhirnya dibubarkan oleh Kolonial belanda dan menyambut era pemerintahan modern ala Kolonial Hindia Timur Belanda.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun