Mohon tunggu...
Andin Alfigenk AnsyarullahNaim
Andin Alfigenk AnsyarullahNaim Mohon Tunggu... Administrasi - biasa saja

orang biasa saja, biasa saja,,,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenal Klan Aristokrat Hulu Sungai Kalimantan Selatan

2 November 2024   00:22 Diperbarui: 2 November 2024   00:22 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akan sangat wajar bagi para elit Hulu Sungai untuk memilih berdamai dan menjalankan kehidupan secara wajar dan stabil Kembali, tidak mudah bagi seseorang atau kelompok tertentu dalam hal ini para bangsawan Hulu Sungai dan Rakyat Hulu Sungai untuk kehilangan kekuasaan dan kestabilitasan yang mereka miliki selama ratusan tahun. apalagi dengan alasan terjadi perang yang sebenarnya tidak menjadi bagian dari politik dan kepentingan mereka, yaitu kisruh perebutan tahta di Kerajaan Banjar yang tidak ada sangkut pautnya dengan mereka, sisi lain pula Kerajaan Banjar secara politik tidak begitu mengikat kepada mereka. Sampai hari ini belum ada analisis logis dari ikut campurnya beberapa bangsawan Hulu Sungai dalam peperangan di Hulu Sungai yang menjadi salah satu perang paling berdarah yang pernah ada di Indonesia.

Memasuki abad ke 20, para aristokrat Hulu Sungai menjadi refrensentasi Kalimantan di pemerintahan kolonial Belanda karena kuantitas mereka yang banyak, hal ini mirip dengan yang terjadi misalnya pada orang-orang Minang dan Bangsawan Jawa yang banyak menempati birokrat modern pemerintahan kolonial Belanda. Laporan mengenai pejabat-pejabat seperti kepala Regent, Mufti, kepala distrik, dan Penghulu rutin dilaporkan dalam almanak tahunan pemerintah Belanda. Sebagian dari keturunan mereka pun sampai hari ini masih bisa kita kenali dengan mudah karena masih menjadi berperan dalam berbagai posisi di Indonesia modern.

Seperti kita bahas sebelumnya diatas, aristokrat Hulu Sungai terus terlibat dalam percaturan Politik di Kalimantan Selatan selama ratusan tahun semenjak kerajaan Daha runtuh, beberapa moment politik yang terjadi seperti naiknya orang 10 dalam tampuk kekuasaan yang stabil di banua lima di pertengahan tahun 1785, dan  perang Hulu Sungai Meletus di tahun 1859-1861 menjadi peran paling krusial dalam naiknya peran bangsawan hulu sungai secara lebih luas dan lebih penting. Meski Pada perang Hulu sungai pula para Bangsawan terpecah dalam beberapa faksi yang bertikai.

Disaat dan setelah perang Hulu Sungai, Kebutuhan pemerintah kolonial terhadap tenaga terdidik untuk mengisi posisi-posisi birokrasi semakin tinggi, sekolah-sekolah sekuler pun banyak dibuka pada awal 1900an di Hulu sungai dan banyak diisi oleh para keluarga birokrat dan keluarga Bangsawan, lulusan dari sekolah-sekolah tersebut sebagian bisa terserap untuk mengisi posisi posisi birokrasi seperti guru, petugas Kesehatan, petugas pertanian dan sebagainya, atau pekerjaan-pekerjaan diluar birokrasi di Kalimantan seperti dalam perusahaan-perusahaan yang hadir di seluruh pulau Kalimantan.

Perlu juga didiskusikan bahwa masuknya Aristokrat Hulu sungai dalam pemerintahan Belanda juga disertai gejolak internal dalam masing-masing keluarga besar. Karena rupanya meski menjadi birokrat pemerintah Belanda, mereka masih menyimpan rasa tidak tunduknya atau ketidaksukaannya kepada pemerintah kolonial, ketundukan mereka terhadap pemerintah kolonial bisa disebut hanya sebagai ketundukan dan kesepakatan politik belaka, tidak sebagai ketundukan dengan sepenuh hati, sehingga mereka masih menganggap Belanda sebagai orang lain yang menguasai mereka

Walau bagaimanapun jejaring aristokrat Hulu Sungai masih menyimpan rasa kekeluargaan, mereka masih melakukan pernikahan antara keluarga besar masing-masing meski berbeda faksi dan pilihan politik, ini menunjukkan rasa kesatuan mereka tidaklah luntur.

Nyatanya dalam sebuah keluarga besar, tidak semua orang bisa mendapatkan jatah jabatan sehingga selalu ada hal yang dikalahkan bahkan terjadi konflik karena berbagai kebijakan pemerintah. Beberapa cabang keluarga melakukan migrasi ke luar Kalimantan selatan untuk mendapatkan posisi kehidupan yang lebih baik, seperti ke Sumatera dan Malaysia. Salah satu alasan migrasi tersebut adalah alasan politik, ekonomi dan marwah kebangsawanan setelah pengambilan paksa tanah ulayat oleh pemerintah. Migrasi ke Pulau sumatera dan Malaysia memang digawangi oleh para Bangsawan Hulu Sungai karena pada dasarnya migrasi ke tempat yang jauh membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan ini hanya bisa dilakukan oleh keluarga-keluarga bangsawan yang mempunyai ekonomi yang kuat.

Beberapa keluarga yang lain malah mulai mengembangkan usaha perdagangan dan indrustri ke luar Hulu sungai bahkan ke Luar pulau Kalimantan, hal ini mampu mereka lakukan dikarenakan mereka mempunyai modal yang mumpuni dari harta yang mereka miliki selama ratusan tahun dan mereka juga memiliki jejaring keluarga dalam pemerintahan, konflik mungkin tidak terlihat jelas disini, karena Kerjasama ekonomi mereka terlihat saling menguntungkan, tapi justru disinilah konsolidasi dalam meredakan ketegangan konflik, jejaring ekonomi yang disering juga disebut jejaring saudagar Hulu Sungai bisa dapat di kota-kota besar Pulau Jawa dan pulau pulau lain di Nusantara.

sampai hari ini diskusi mengenai bagaimana Belanda bisa menjajah Kalimantan selatan belum banyak didiskusikan, siapa yang bertanggung jawab atas hadirnya Belanda di Kalimantan selatan tidak pernah dibuka dengan jujur. Dari sana kita memahami bahwa Ketidaktundukan secara penuh kepada Belanda sebenarnya tidaklah mengejutkan, karena selama ratusan tahun Bangsawan hulu sungai tetap menyimpan kebanggaan sebagai keturunan kerajaan Daha yang dahulu berkuasa, mereka juga mempunyai kebebasan politik selama ratusan tahun dibawah Kerajaan Jatuh meski dengan wilayah kekuasaan yang kecil, kemudian mereka berinteraksi secara politik dengan Kerajaan Banjar dalam berbagai rupa warna dari dari pertikaian, kerjasama politik, pernikahan politik yang mempengaruhi berbagai gejolak politik di Kalimantan selatan, sehingga wajar-wajar saja kemudian mereka tidak mempunyai keterikatan yang kuat dengan Kerajaan Banjar dan Belanda.

Perang besar di Hulu Sungai yang dimulai tahun 1859 bisa menjadi salah satu gambaran yang dapat kita jadikan bahan diskusi, perpecahan Aristokrat Hulu Sungai yang mendukung berbagai faksi menunjukkan mereka cukup kuat dan bebas dalam melakukan berbagai gerakan politik, ada kelompok yang mendukung Belanda dan melawan Belanda, yang melawan Belanda pun terbagi dalam berbagai faksi, seperti faksi Datu Aling, faksi Beratip Beamal, faksi Pangeran Antasari, dan faksi Pangeran Hidayatullah dan Demang Lehman, faksi tumenggung Jalil. Dalam faksi yang mendukung Belanda pun terbagi yang sekurangnya ada dua faksi yaitu faksi yang mendukung Sultan Tamjidillah II seperti kelompok Adipati Danureja dan faksi yang murni mendukung Belanda secara langsung seperti kelompok Tumenggung djang rasmi yang bergelar Tumenggung karta Yuda Negara dan Ahmad Jangol bergelar Kiai demang Wira Negara. Dalam hal ini Sultan Banjar yaitu Tamjidillah II berada pada pihak Belanda, sedangkan para Bangsawan Hulu Sungai seperti  Jang Rasmi dan Ahmad Jangol merupakan pemimpin di Alai (barabai) Hulu sungai yang telah lama memimpin di wilayahnya masing-masing jauh sebelum perang Meletus, merekapun jelas tidak tahu menahu dan tidak mempunyai keterikatan terhadap intrik politik yang terjadi di Martapura dan Banjarmasin sehingga ketika perang Meletus sangat wajar mereka mempertahankan posisi jabatan mereka. Merekapun tidak mempunyai alasan yang logis untuk mendukung salah salah satu faksi yang melawan Belanda, dan tidak ada yang bisa memaksa mereka untuk ikut mendukung salah satu faksi yang melawan Belanda. Bagaimana mungkin orang-orang banjar harus memaksa para bangswan di Hulu sungai untuk melawan Belanda sedangkan sultan di Banjarmasin sendiri berada disamping Belanda. Sedangkan selama ratusan tahun Aristokrat Hulu sungai tidak pernah tunduk kepada Banjar.

Dalam perkembangan berikutnya para birokrat dari aristokrat Hulu Sungai ini juga kemudian menjadi bagian dalam kepemimpinan setelah kemerdekaan Indonesia, karena pengalaman mereka selama di masa Belanda dalam pemerintahan sangat berperan dalam membangun negara baru di Republik Indonesia yang baru, juga dikarenakan kerjasama dan dukungan Sebagian dari mereka selama masa pergerakan kemerdekaan.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun