Mohon tunggu...
Mustofa Ludfi
Mustofa Ludfi Mohon Tunggu... Lainnya - Kuli Tinta

Bapak-bapak Beranak Satu :)

Selanjutnya

Tutup

Roman

Siluet-Buku I (Tuhan Maha Pemberi Kejutan)-11

3 September 2024   23:58 Diperbarui: 4 September 2024   00:10 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Jika kita keliling kota ini, kita akan menemukan apa?" tanya Lalang angin-anginan. Aven menoleh. Hendak merespon. Ia segera berhenti mengunyah. Lalu memandangi wajah cantik itu. Lumbung terkesiap. Ia menyambar pertanyaan itu.

"Kedamaian." Lumbung tertawa kecil.

"Seperti apa?" Aven menyumbang tanya. 

"Ya, Mas. Kedamaian seperti?" tegas Lalang. 

"Ini kota pinggiran. Jauh dari bising apa pun. Mulai politik sampai deru mesin-mesin pemecah baja. Jika orang Jakarta sesak napas, maka mereka ke sini. Itulah kedamian yang mereka cari."

"Lalu hal yang paling menarik?" Lalang tampak belum puas. Aven beralih pandang ke Lumbung. Mirna, tampaknya ini bukan takdir yang kamu maksud. Di semesta ini, bukan hanya aku yang hidup. Ada dua manusia di depanku. Nah. Selalu begitu sejak dulu. Apa takdir sudah usai? Belum, kan? Gini. Gini, Ven. Yang kamu butuhkan hanya percaya. Kamu sendiri? Duda itu. Asu!

"Maka jadilah menantu Bu Fatma!" Lumbung mengerling. Tawanya aneh. Lalang tampak geli. Itu bukan joke, teman. Itu jayus. Lihat, Mirna. Lihatlah. Sahabatku. Kamu juga kenal. Ia Lumbung. Takdir itu memilihnya. Belum. Ini bukan akhir sebua film. Skenario masih panjang, Ven. Sejak kapan, kamu serapuh itu? 

"Aven boleh cemburu." Lumbung menepuk bahu Aven. "Kamu waras, kan, Ven?"

Mir. Aku baru saja dililit api. Panas. Kulitku mengelupas. Takdir apa ini? Lebbay! Menjijikkan, Ven. Sudah-sudah. Aku mau dudaku. Aku sudah tidak sanggup menggantung rindu. Setan!

"Kita habiskan makanan ini. Lalu keliling kota sebentar. Dan pulang. Perjalanan kalian masih panjang. Butuh istirahat ekstra." 

"Sok tau!"

Setelah menyelesaikan administrasinya, mereka segera berlalu dari warung Pak Djan. Mereka akan menyusuri jalan Gatot Subroto yang merupakan pusat kota Kertosono. 

Mobil mulai berjalan lagi.

Aven tidak bersemangat. Lalang hanya sesekali melihat kanan-kiri jalan. Wajahnya tampak lesu. Lumbung menyadari keadaan dua manusia yang bersamanya. Dari sudut keramaian dan gemerlap kota, Kertosono memang sangat tidak bisa diandalkan.  

Kertosono hanya punya satu cahaya dan itu adalah pecel tumpang. Memakannya seperti sedang menawar kedamaian yang akan dirasakannya. Tuhan sungguh Maha Adil, di redup dan gelapnya kota Kertosono Tuhan masih menciptakan lilin yang bisa menghasilkan cahaya sampai ke Jakarta.

"Aku kira cukup. Ini bukan Jakarta atau Malang. Jangan berharap lebih, yah! Kita pulang saja. Kasihan Lalang. Ia ngantuk sekali. Bukan begitu?"

"Kita pulang saja. Aku jadi mual lihat keredupan kota ini!"

"Kita pulang saja." Lalang menguap.

Lalang menutup obrolan di mobil malam itu. Lumbung melajukan mobilnya lebih kencang lagi. Tidak ada suara lagi di dalamnya. Redup. Semua meredup. Mir, tetiba saja aku menjadi takut. Aku tidak tahu takdir model apa yang sudah kurajut. Dasar lelaki lemah. Kamu tidak seperti dudaku. Keren sekalai ia. Kuat. Kukuh. Tidak hancur dihantam karang. Tapi ia brengsek, kan?  

Beberapa menit kemudian, mobil sudah terparkir di halaman rumah. Pintu terkunci rapat. Bu Fatma sudah terlelap. Lumbung harus mengetuk pintu dengan kencang. Tidak beberapa lama, ibunya muncul sambil membukakan pintu. Mereka bertiga masuk.

"Lalang. Itu kamar kamu, ya!" kata Bu Fatma sambil menunjuk kamar yang ada di tengah. 

"Aku tidur sama Lalang ya, Bu?" sahut Aven cepat.

"Iya. Tapi aku khitan dulu." 

"Baiklah!"

Lalang dan Bu Fatma bergegas masuk ke kamar masing-masing. 

"Aven. Kamu tidur sama aku, ya?" 

"Apa tidak ada tempat yang lebih berharga lagi?"

Lumbung menarik bahu Aven dan bergegas beranjak ke kamar. Suasana menjadi sunyi. Hanya suara curut yang kadang terdengar. Meraung-raung ingin kawin. Lucu. Menggemaskan. 

Beberapa saat setelahnya, sayup-sayup percakapan antara Lumbung dan Aven mulai terdengar.

"Kamu mau kopi?" tanya Lumbung. 

"Kamu punya kopi apa?"

"Seperti biasa. Di sini cuma ada kopi tubruk. Asli deplokan[1] sendiri. Aku beli di Mbah Alimah. Kamu tahu warung itu, kan?"

 

"Mana mungkin aku lupa. Apa lagi dengan BH-nya yang sudah molor dan kumuh itu."

 

"Husst. Itu orang tua!"

 

"Cepat kamu bikin kopi!"

 

"Setan!"

 

"Ada Lalang, bicaramu seperti malaikat. Denganku kamu jadi Iblis. Sebenarnya kamu siapa? Jujur!" 

 

Lumbung tidak menjawab lagi. Ia segera berjalan menuju dapur. Malam itu, Lumbung ingin bicara banyak dengan Aven. 

 

Aven menunggu di dalam kamar. Ia merenungi semua yang sudah terlewat. Mir, aku sudah di sini. Malam ini. Aku tidak merencanakan semua ini. Tapi ini terjadi. Tidak, Ven. Yang perlu kamu pahami adalah manusia itu memiliki jaring laba-laba yang saling mengikat. Terhubung. Berbagi energi. Boleh jadi, yang terjadi hari ini adalah pengabulan dari kalimat-kalimatmu dulu yang terlempar tanpa tendensi. Kamu tidak sedang mabuk, kan, Mir? Asu. Tapi ada benarnya juga. Jadi, dudamu itu juga jawaban? Mungkin.  Kok, mungkin? Jadi, kamu ragu? Pasti kamu ragu, Mir. Perempuan semempesona kamu bisa jatuh blingsatan dengan duda brengsek itu. Asu. Asu. Asu.

 

Lalu, ia teringat Cemara. Ia ingin menyapa. Melalui langit. Gemintang. Kelelawar. Apa pun itu. Yang penting tersampaikan.

 

 "Ini kopinya. Satu gelas saja. Kita berbagi rasa saja!" Suara Lumbung membuyarkan lamunan Aven.

 

"Cuk. nggilani[2]. Miskin kopi? Hah."

 

"Membuat perutmu kembung juga bisa. Aku ingin mengulang seperti yang dulu lagi."

 

"Ngapain kamu cepet-cepet lulus kuliah?"

 

"Jatahku abis. Hanya untuk empat tahun. Pingin nambah, modal sendiri. Aku pulang saja!"

 

"Kesepian, kan?"

 

"Hampir. Makanya, aku mau ambil S-2. Nunggu ada beasiswa salah alamat."

 

"Baiklah. Meski itu tidak sefrekuensi denganku." 

 

Aven mulai menikmati kopinya. Suaranya tidak berubah. Seruputannya masih sama. Tetap membahana badai. Menabrak apa saja.

 

"Gimana? Kopiku tak berubah, kan?"

 

"Hebat. Campuran gula dan kopimu tetap seperti dulu. Tidak berubah dan tetap mengerikan. Sadis. Tapi ini keren. Bangsat. Jiwamu tidak luntur."

 

"Aku tidak mati, Ven. Aku hanya pulang."

 

"Kamu pinjam kalimatnya siapa itu?"

 

"Wes. Nggak usah banyak omong."

 

"Kamu itu tak punya bakat buat marah."

 

"Ah." 

 

"Ha ha ha." Aven hanya terbahak.

 

"Eh. BTW, kamu masih rajin berobat?" tanya Lumbung serius. Aven terkejut. Ia tak menduga Lumbung menanyakan hal itu lagi. Sejak dulu. Ia selalu begitu. 

 

Aven cepat-cepat menetralkan wajahnya yang mendadak tegang. Ia Lumbung. Bukan orang lain. Ia selalu melihat saat dirinya sekarat.

 

"Obat itu hanya membuatku lemas! Pagi dengan segala celotehnya adalah obat terbaik."

 

"Masih saja egois begitu!" 

 

"Egois bagaimana? Tuhan saja over baik padaku. Umur dipanjangkan sampai malam ini."

 

"Bentuk kasih saya Tuhan, kan, beragam. Melalui obat misalnya." Lumbung membuat penegasan. Dua bahunya diangkat tinggi-tinggi.

 

Kamu dengar, kan, Mir? Ia tidak berubah. Lebih tepatnya tidak mau berubah. Selalu saja begitu. Tidak seperti kamu. No coment, kan. Mau aku sekarat. Kejet-kejet. Buatmu asik-asik saja. Andai kamu tahu, Ven. Ada gemuruh di hatiku tiap kali melihatmu sekarat. Tapi aku tahu. Kamu tidak suka dikasihani. Aku tahu itu. Makanya, aku memilih diam saja. Kalau mati ya dikubur.

 

"Selama kopi masih enak, bagiku cukup!" Suara Aven meninggi.

 

"Masa depan tak harus berakhir di cangkir kopi, Ven! Ingat, bagaimana jika Tuhan menakdirkanmu untuk punya istri dan anak? Kamu membebani mereka dengan sakitmu? Pikirkan itu!" Suara Lumbung tak kalah tinggi.

 

"Tuhan itu Mahakuasa! Jika Ia menikahkanku, Ia yang akan memberi jalan. Itu konsepnya. Kamu juga harus paham itu!"

 

"Aku tahu itu. Apa salahnya jika kamu berusaha mulai dari sekarang?"

 

"Tidak ada yang salah!"

 

"Lalu?"

 

Aven tidak menjawab. Hanya dua bahunya yang terlihat bergerak. Tapi Lumbung tidak ingin berhenti di situ. Ia terus mengejar Aven.

 

"Kenapa kamu diam?"

 

"Aku hanya berpikir. Kenapa aku harus sakit? Kenapa aku tidak seperti kamu yang baik-baik saja? Kenapa orang tuaku meninggal saat aku masih kecil? Kenapa? Kamu bisa bantu aku jawab?" Aven berbalik mengejar Lumbung. Lumbung menyurut. Mulutnya tidak bergerak. Hanya tangannya menepuk bahu Aven.

 

"Kenapa diam?" Pertanyaan itu berbalik menyerang Lumbung. Ia tidak siap. Senjata makan tuan! 

 

 Lumbung masih terpaku. Sedangkan Aven memilih untuk menikmati kopi. Baginya, lidah masih bisa merasakan nikmatnya kopi adalah anugerah Tuhan yang tak terhingga.

 

Aven tidak ingin lagi gemerlap dunia seperti yang diinginkan banyak manusia. Aven hanya ingin berpesta dengan senyum mentari saat pagi datang menjemputnya. Ia hanya ingin menari bersama sejuknya embun dan riuhnya cericit pagi yang ada di belakang rumah. Aven ingin kehidupan yang bisa disyukuri. Ikhlas. Tanpa melawan. Tanpa tekanan. Mir, aku ingin tidur di bahumu. Aku lelah. Lumbung, temanmu, teman kita, belum juga paham dengan takdirku. Sudah. Sudah. Anggap saja itu kado pertemuan kalian. Artinya, Tuhan masih menjaga ia dengan sifatnya. Itu yang kelak akan kamu rindui. Selalu. Siang malam. Eh, tumben. Kamu bisa sehalus ini. Suaramu merdu. Dingin. Menenangkan. Jangan-jangan kamu mabuk? Asu!

 

 Tapi Aven sadar, ia bukan malaikat. Saraf-sarafnya normal. Ia merasakan pedih. Sakit. Berdarah-darah. Lalu ia bertanya, kenapa monster itu suka sekali menggigit livernya?

 

Ratusan detik telah berlalu. Tapi jawaban tentang pertanyaan itu tidak kunjung tiba. Aven tidak pernah menyerah. Ia tetap yakin jika suatu saat nanti akan ada orang yang bisa menangkap monster itu. Ia yakin, orang itu adalah kiriman Tuhan. Tidak seperti Kun, Lumbung, Mirna, dan masih banyak lagi. 

 

Hidup itu tak ubahnya teka-teki Tuhan yang tidak mudah untuk dipecahkan. Dalam perjalanan hidup, Aven harus mencari jawaban kenapa Tuhan harus menitipkan monster itu di tubuhnya. Lalu kenapa Tuhan mengambil orang tuanya cepat-cepat.  

 

"Siapa sebenarnya Lalang?" tanya Lumbung pelan. 

 

"Jangan tanya tentang ia. Aku muak dengan itu!"

 

"Kamu muak dengan Lalang?"

 

"Bukan. Tapi dengan kamu!"

 

"Kamu selalu begitu!"

 

"Apa aku salah?"

 

"Tidak. Aku yang salah. Aku minta maaf!"

 

"Sudahlah!"

 

"Baiklah."

 

"Jangan bertanya tentang sakitku lagi! Aku tahu kamu khawatir sama aku. Tapi aku selalu tersinggung jika ada yang tanya tentang itu. Aku juga ingin sembuh. Aku juga ingin jatuh cinta. Aku juga ingin punya anak. Tapi semua itu nanti," kata Aven panjang dengan wajah penuh harap. Lumbung mengambil sikap.

 

"Tapi kamu tidak boleh cepat mati! Jika kamu mati, siapa yang akan memuji kopiku?"

 

Suasana hening sejenak.

 

Dua sahabat itu akhirnya berpelukan erat. Ketegangan di antara mereka sirna sudah. Riuh seruputan kopi yang terdengar memenuhi kamar. Dua bibir itu bergantian menikmati garangnya kopi tubruk. Benar-benar malam yang syahdu.

 

"Kamu mau ke mana?" tanya Lumbung cepat saat melihat Aven berdiri dan melangkah ke luar kamar.

 

"Aku ingin menikmati bintang. Lotengmu masih bisa dibuat mengkhayal, kan?"

 

"Aku boleh ikut?"

 

"Hei, Mbung! Kemaluan kita masih sama!"

 

"Aku tahu! Tapi mungkin punyamu sudah reot. Ha ha ha"

 

"Terserahlah!"

 

Dua sahabat itu berjalan beriringan. Menaiki Tangga yang terbuat dari kayu mahoni. Tidak diplamir dan tidak diplitur. Dibiarkan natural. Hanya bekas sentuhan amplas saja yang tampak nyata di mata. 

 

Kaki itu terus naik. Mata Aven mengedar ke mana-mana. Suasana dua tahun lalu tidak berubah. Dinding di dekat tangga juga masih perawan, belum menikah dengan lukisan ataupun ukiran. Dinding itu putih mulus. Sawang-sawang kecil terlihat sangat akrab dengan lugunya warna dinding. Semua sama, tidak berubah. Sejak dulu, pemandangan itu selalu memikat dua matanya.

 

"Ibumu apa kurang duit?"

 

"Maksudmu?"

 

"Gendeng, kon. Ditanya malah ganti tanya!"

 

"Itu bukan tanya, tapi ngece![3]"

 

"Masak dari dua tahun yang lalu dinding ini tidak berubah? Harusnya sedikit dirias!"

 

"Itu pesan Abah!"

 

"Ah, ngarang!"

 

"Abah ingin tangga dan yang di sekitarnya tetap natural dan alami."

 

"Tetep aja ini bukan seleraku."

 

"Nah, besok kamu harus angkat kaki dari sini, to?"

 

"Iya juga, sih! Semoga besok Lalang menggandeng tanganku mesra!"

 

"Gendeng! Semprul!"

 

"Ini cita-cita besar, Mbung! Ini bukan orasi politik yang memuakkan itu."

 

"Kamu hanya beretorika. Buktikan kalau tanganmu memang pas di genggaman tangannya."

 

"Semua butuh waktu. Tidak sederhana. Rumit. Rumit."

 

"Semoga!"

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun