Lumbung tidak menjawab lagi. Ia segera berjalan menuju dapur. Malam itu, Lumbung ingin bicara banyak dengan Aven.Â
Â
Aven menunggu di dalam kamar. Ia merenungi semua yang sudah terlewat. Mir, aku sudah di sini. Malam ini. Aku tidak merencanakan semua ini. Tapi ini terjadi. Tidak, Ven. Yang perlu kamu pahami adalah manusia itu memiliki jaring laba-laba yang saling mengikat. Terhubung. Berbagi energi. Boleh jadi, yang terjadi hari ini adalah pengabulan dari kalimat-kalimatmu dulu yang terlempar tanpa tendensi. Kamu tidak sedang mabuk, kan, Mir? Asu. Tapi ada benarnya juga. Jadi, dudamu itu juga jawaban? Mungkin. Â Kok, mungkin? Jadi, kamu ragu? Pasti kamu ragu, Mir. Perempuan semempesona kamu bisa jatuh blingsatan dengan duda brengsek itu. Asu. Asu. Asu.
Â
Lalu, ia teringat Cemara. Ia ingin menyapa. Melalui langit. Gemintang. Kelelawar. Apa pun itu. Yang penting tersampaikan.
Â
 "Ini kopinya. Satu gelas saja. Kita berbagi rasa saja!" Suara Lumbung membuyarkan lamunan Aven.
Â
"Cuk. nggilani[2]. Miskin kopi? Hah."
Â
"Membuat perutmu kembung juga bisa. Aku ingin mengulang seperti yang dulu lagi."