Aven tidak menjawab. Hanya dua bahunya yang terlihat bergerak. Tapi Lumbung tidak ingin berhenti di situ. Ia terus mengejar Aven.
Â
"Kenapa kamu diam?"
Â
"Aku hanya berpikir. Kenapa aku harus sakit? Kenapa aku tidak seperti kamu yang baik-baik saja? Kenapa orang tuaku meninggal saat aku masih kecil? Kenapa? Kamu bisa bantu aku jawab?" Aven berbalik mengejar Lumbung. Lumbung menyurut. Mulutnya tidak bergerak. Hanya tangannya menepuk bahu Aven.
Â
"Kenapa diam?" Pertanyaan itu berbalik menyerang Lumbung. Ia tidak siap. Senjata makan tuan!Â
Â
 Lumbung masih terpaku. Sedangkan Aven memilih untuk menikmati kopi. Baginya, lidah masih bisa merasakan nikmatnya kopi adalah anugerah Tuhan yang tak terhingga.
Â
Aven tidak ingin lagi gemerlap dunia seperti yang diinginkan banyak manusia. Aven hanya ingin berpesta dengan senyum mentari saat pagi datang menjemputnya. Ia hanya ingin menari bersama sejuknya embun dan riuhnya cericit pagi yang ada di belakang rumah. Aven ingin kehidupan yang bisa disyukuri. Ikhlas. Tanpa melawan. Tanpa tekanan. Mir, aku ingin tidur di bahumu. Aku lelah. Lumbung, temanmu, teman kita, belum juga paham dengan takdirku. Sudah. Sudah. Anggap saja itu kado pertemuan kalian. Artinya, Tuhan masih menjaga ia dengan sifatnya. Itu yang kelak akan kamu rindui. Selalu. Siang malam. Eh, tumben. Kamu bisa sehalus ini. Suaramu merdu. Dingin. Menenangkan. Jangan-jangan kamu mabuk? Asu!