"Obat itu hanya membuatku lemas! Pagi dengan segala celotehnya adalah obat terbaik."
Â
"Masih saja egois begitu!"Â
Â
"Egois bagaimana? Tuhan saja over baik padaku. Umur dipanjangkan sampai malam ini."
Â
"Bentuk kasih saya Tuhan, kan, beragam. Melalui obat misalnya." Lumbung membuat penegasan. Dua bahunya diangkat tinggi-tinggi.
Â
Kamu dengar, kan, Mir? Ia tidak berubah. Lebih tepatnya tidak mau berubah. Selalu saja begitu. Tidak seperti kamu. No coment, kan. Mau aku sekarat. Kejet-kejet. Buatmu asik-asik saja. Andai kamu tahu, Ven. Ada gemuruh di hatiku tiap kali melihatmu sekarat. Tapi aku tahu. Kamu tidak suka dikasihani. Aku tahu itu. Makanya, aku memilih diam saja. Kalau mati ya dikubur.
Â
"Selama kopi masih enak, bagiku cukup!" Suara Aven meninggi.