"Sok tau!"
Setelah menyelesaikan administrasinya, mereka segera berlalu dari warung Pak Djan. Mereka akan menyusuri jalan Gatot Subroto yang merupakan pusat kota Kertosono.Â
Mobil mulai berjalan lagi.
Aven tidak bersemangat. Lalang hanya sesekali melihat kanan-kiri jalan. Wajahnya tampak lesu. Lumbung menyadari keadaan dua manusia yang bersamanya. Dari sudut keramaian dan gemerlap kota, Kertosono memang sangat tidak bisa diandalkan. Â
Kertosono hanya punya satu cahaya dan itu adalah pecel tumpang. Memakannya seperti sedang menawar kedamaian yang akan dirasakannya. Tuhan sungguh Maha Adil, di redup dan gelapnya kota Kertosono Tuhan masih menciptakan lilin yang bisa menghasilkan cahaya sampai ke Jakarta.
"Aku kira cukup. Ini bukan Jakarta atau Malang. Jangan berharap lebih, yah! Kita pulang saja. Kasihan Lalang. Ia ngantuk sekali. Bukan begitu?"
"Kita pulang saja. Aku jadi mual lihat keredupan kota ini!"
"Kita pulang saja." Lalang menguap.
Lalang menutup obrolan di mobil malam itu. Lumbung melajukan mobilnya lebih kencang lagi. Tidak ada suara lagi di dalamnya. Redup. Semua meredup. Mir, tetiba saja aku menjadi takut. Aku tidak tahu takdir model apa yang sudah kurajut. Dasar lelaki lemah. Kamu tidak seperti dudaku. Keren sekalai ia. Kuat. Kukuh. Tidak hancur dihantam karang. Tapi ia brengsek, kan? Â
Beberapa menit kemudian, mobil sudah terparkir di halaman rumah. Pintu terkunci rapat. Bu Fatma sudah terlelap. Lumbung harus mengetuk pintu dengan kencang. Tidak beberapa lama, ibunya muncul sambil membukakan pintu. Mereka bertiga masuk.
"Lalang. Itu kamar kamu, ya!" kata Bu Fatma sambil menunjuk kamar yang ada di tengah.Â