"Jika kita keliling kota ini, kita akan menemukan apa?" tanya Lalang angin-anginan. Aven menoleh. Hendak merespon. Ia segera berhenti mengunyah. Lalu memandangi wajah cantik itu. Lumbung terkesiap. Ia menyambar pertanyaan itu.
"Kedamaian." Lumbung tertawa kecil.
"Seperti apa?" Aven menyumbang tanya.Â
"Ya, Mas. Kedamaian seperti?" tegas Lalang.Â
"Ini kota pinggiran. Jauh dari bising apa pun. Mulai politik sampai deru mesin-mesin pemecah baja. Jika orang Jakarta sesak napas, maka mereka ke sini. Itulah kedamian yang mereka cari."
"Lalu hal yang paling menarik?" Lalang tampak belum puas. Aven beralih pandang ke Lumbung. Mirna, tampaknya ini bukan takdir yang kamu maksud. Di semesta ini, bukan hanya aku yang hidup. Ada dua manusia di depanku. Nah. Selalu begitu sejak dulu. Apa takdir sudah usai? Belum, kan? Gini. Gini, Ven. Yang kamu butuhkan hanya percaya. Kamu sendiri? Duda itu. Asu!
"Maka jadilah menantu Bu Fatma!" Lumbung mengerling. Tawanya aneh. Lalang tampak geli. Itu bukan joke, teman. Itu jayus. Lihat, Mirna. Lihatlah. Sahabatku. Kamu juga kenal. Ia Lumbung. Takdir itu memilihnya. Belum. Ini bukan akhir sebua film. Skenario masih panjang, Ven. Sejak kapan, kamu serapuh itu?Â
"Aven boleh cemburu." Lumbung menepuk bahu Aven. "Kamu waras, kan, Ven?"
Mir. Aku baru saja dililit api. Panas. Kulitku mengelupas. Takdir apa ini? Lebbay! Menjijikkan, Ven. Sudah-sudah. Aku mau dudaku. Aku sudah tidak sanggup menggantung rindu. Setan!
"Kita habiskan makanan ini. Lalu keliling kota sebentar. Dan pulang. Perjalanan kalian masih panjang. Butuh istirahat ekstra."Â