Ipeh terdiam sejenak.
"Apa yang kamu katakan memang benar. Namun sebagai seorang intelektualis, cobalah mensinkronkan antara spiritual dan logika agar hidup ini dapat lebih bermakna dan berwarna." timpal temannya.
Dari kejauhan, teman laki-lakinya, Rio sedang membolak-balik halaman buku, saking asyiknya membaca, kacamata yang dikenakannya pun terbalik. Teman-teman sekelasnya yang melihatnya seketika pecah menertawainya. Tak ada yang inisiatif membenarkan kacamatanya, akhirnya tangan Ipeh bergerak menarik kacamata tersebut dan membetulkan posisi kacamata yang terbalik itu.
"Hmm.. Hmm.. Ciee.." ruangan menjadi gaduh.
Karena menjadi pusat perhatian, tingkah Ipeh dan Rio menjadi sedikit agak kikuk.
Tak lama kemudian perkuliahan dimulai.
~~
Sepulang kuliah, Ipeh mematung di depan gerbang kampus menanti delman Abah untuk ikut pulang. Matahari perlahan bergeser ke arah barat menandakan hari semakin senja. Tak jauh dari posisi Ipeh berdiri nampak seorang pengumpul sampah yang mengais sampah plastik dari tong-tong sampah. Ia seorang Ibu paruh baya dengan seorang anak kecil yang berada di atas gerobak sampah yang ditariknya. Sesekali Ibu itu menyapu keringat yang mengalir dari dahinya. Merasa Iba, Ipeh kemudian menghampirinya dan memberikan sisa cucur yang tidak terjual.
"Ibu terlihat lelah, ambilah cucur ini, juga buat anak kecil itu." Ipeh memberikan cucur kepada Ibu dan anaknya.
"Terima kasih nak, semoga diganti yang lebih baik oleh Tuhan."
"Amin. Ibu udah berapa lama melakukan ini.." Tanya Ipeh.
"Sudah lama. Kalau sudah begini, ya jalani saja. Tidak perlu takut miskin, karena kita adalah hamba dari Tuhan yang maha kaya" Jawab Ibu itu.
Ipeh terdiam sejenak.
"Kotak, kotak, kotak, kotak!.." suara sepatu kuda delman Abah mulai terdengar dan perlahan mendekati gerbang kampus.