Mohon tunggu...
Ahmad Yudi S
Ahmad Yudi S Mohon Tunggu... Freelancer - #Ngopi-isme

Aku Melamun Maka Aku Ada

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tuhan Tidak Pernah Pelit

31 Oktober 2019   22:06 Diperbarui: 1 November 2019   04:58 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Gudangsket.blogspot.com

Usai shalat subuh, seperti biasa Mak Mur, wanita yang telah berkepala lima dan rambut yang telah dipenuhi uban itu akan membuat dapur mengebul dengan asap dari tungku kayu. Menyiapkan segala bahan-bahan yang didapat dari pasar Bangus sebelum adzan subuh berkumandang, kemudian diolahnya menjadi sebuah makanan tradisional yang melegenda, sebut saja cucur. Makanan tradisional itu akan dititipkannya diwarung, kios, atau dijajakannya sendiri berkeliling kampung.

Pekerjaan menghantarkan ataupun berjualan kue adalah tugasnya Ipeh, putri semata wayang Mak Mur setelah Pak Sum (dipanggil Abah), suaminya menopause premature. Kakak-kakak Ipeh telah berumah tangga sendiri dan merantau ke luar kota. Tinggal Ipeh sendiri yang menemani orang tuanya, sembari menimba ilmu di salah satu perguruan tinggi yang tidak jauh dari rumah.

"Peh.. Ipeh!", panggil Emak dari dapur.

"Iya Mak!" sahut Ipeh dari kamar.

"Bantu mamak ngemasin cucur gih."

Ipeh keluar dari kamar kemudian menemui Emak didapur dan membantu memasukkan cucur ke dalam plastik.

"Pas mau berangkat kuliah, jangan lupa cucurnya juga dibawa ya Peh, titip di warung atau kantin saja." kata Emak.

Ipeh hanya mengangguk kecil lalu menggapai handuk di gantungan dan menutup diri di kamar mandi.

Dari teras terdengar suara kursi berjingkrak-jingkrak riang ditunggangi pria tua dengan mengenakan kopiah yang dimiringkan, Abah, dengan santai membuka lembaran surat kabar dan meneguk kopi hitam manis. "Heuheu.. panas ih."

Abah merupakan seorang veteran. Sudah lama ini gaji pensiunannya macet, akhirnya Abah banting tulang sebagai kusir delman di sekitaran stasiun Debus untuk penyambung hidup keluarga.

"Mak, Abah, Ipeh berangkat dulu ya.."

"Heuheu.. hati-hati dijalan, jaga diri, jaga hati.." ucap Abah.

"Apaan si Bah! Jangan bikin baper Ipeh pagi-pagi gini deh.." jawab Ipeh.

"Kamu bisa saja baper, tapi Tuhan tidak pernah baper."

Angin sepoi-sepoi berhembus dingin dipekarangan rumah, udara segar menjadi penghela napas untuk memulai hari. Emak mulai menampakkan diri dipekarangan rumah sedang menyirami bunga dan beberapa tanaman keluarga lainnya, Ipeh melempar senyum kemudian meninggalkan Abah seorang diri di teras dengan kursi tuanya.

Sebelum masuk ke dalam kelas, Ipeh menitipkan cucur ke pemilik warung dan bengkel perut di sekitaran kampus serta mengambil uang hasil penjualan cucur yang laku terjual. Walau tidak banyak, Ipeh tetap mensyukurinya.

Biaya perkuliahan pun tak jadi persoalan, sebab biaya kuliah Ipeh sendiri ditanggung oleh beasiswa, tinggal Ipeh menjaga dan meningkatkan prestasi belajarnya agar beasiswa terus membantunya melanjutkan kuliah hingga selesai, Seperti pertolongan Tuhan yang tidak pernah putus selama hambanya mempertahankan dan  meningkatkan ketaqwaannya kepada Sang Maha Pemberi.

Hampir sebagian besar teman-teman Ipeh sudah memiliki gebetan, tinggal Ipeh yang masih betah dengan kelajangannya. 

"Sendiri mulu, masih betah Peh? Lihat yang lain, sudah mempersiapkan masa depannya. Apa gak takut jomblo sampai ngenes?" ledek salah satu teman Ipeh,
Ipeh tersenyum.

"Ditanya kok malah nyengir, atau jangan-jangan ada sesuatu nih? Ehee.."

"Bagaimana bisa aku takut jomblo. Sedangkan aku menghamba pada Tuhan yang Maha Pemberi Rezeki, sebab jodoh ada ditangan Tuhan." jawab Ipeh.

"Iya sih. Tapi kalau gak ada usaha, ikhtiar, yang ada kamu begini terus, jomblo. Wkwkwk.."

Ipeh terdiam sejenak.

"Apa yang kamu katakan memang benar. Namun sebagai seorang intelektualis, cobalah mensinkronkan antara spiritual dan logika agar hidup ini dapat lebih bermakna dan berwarna." timpal temannya.

Dari kejauhan, teman laki-lakinya, Rio sedang membolak-balik halaman buku, saking asyiknya membaca, kacamata yang dikenakannya pun terbalik. Teman-teman sekelasnya yang melihatnya seketika pecah menertawainya. Tak ada yang inisiatif membenarkan kacamatanya, akhirnya tangan Ipeh bergerak menarik kacamata tersebut dan membetulkan posisi kacamata yang terbalik itu.

"Hmm.. Hmm.. Ciee.." ruangan menjadi gaduh.

Karena menjadi pusat perhatian, tingkah Ipeh dan Rio menjadi sedikit agak kikuk.
Tak lama kemudian perkuliahan dimulai.
~~

Sepulang kuliah, Ipeh mematung di depan gerbang kampus menanti delman Abah untuk ikut pulang. Matahari perlahan bergeser ke arah barat menandakan hari semakin senja. Tak jauh dari posisi Ipeh berdiri nampak seorang pengumpul sampah yang mengais sampah plastik dari tong-tong sampah. Ia seorang Ibu paruh baya dengan seorang anak kecil yang berada di atas gerobak sampah yang ditariknya. Sesekali Ibu itu menyapu keringat yang mengalir dari dahinya. Merasa Iba, Ipeh kemudian menghampirinya dan memberikan sisa cucur yang tidak terjual.

"Ibu terlihat lelah, ambilah cucur ini, juga buat anak kecil itu." Ipeh memberikan cucur kepada Ibu dan anaknya.

"Terima kasih nak, semoga diganti yang lebih baik oleh Tuhan."

"Amin. Ibu udah berapa lama melakukan ini.." Tanya Ipeh.

"Sudah lama. Kalau sudah begini, ya jalani saja. Tidak perlu takut miskin, karena kita adalah hamba dari Tuhan yang maha kaya" Jawab Ibu itu.
Ipeh terdiam sejenak.

"Kotak, kotak, kotak, kotak!.." suara sepatu kuda delman Abah mulai terdengar dan perlahan mendekati gerbang kampus.

"Semoga selalu diberikan rezeki dan kesehatan ya Bu. Saya pamit dulu ya Bu.." Ipeh menyalaminya dan pamit.

Kemudian Abah kembali melecut kudanya dan delman bergerak ke arah rumah.

"Abah tidak malu dengan pekerjaan ini?" Ipeh memulai pembicaraan.

"Kamu malu tidak punya Abah seperti ini?" Abah bertanya balik.

"Nggak sih. Hanya saja, terkadang Ipeh melihat sebagian orang tidak mengeluarkan keringat sedikit pun namun tetap mendapatkan uang."

Abah terdiam sejenak, memerhatikan jalanan yang disesaki kendaraan kemudian Abah tersenyum.

"Semua orang bekerja, itu adalah mulia. Yang tidak bekerja tidak punya kemuliaan." ucap Abah.

Ipeh membisu dan menatap Abah dengan kebijaksanaannya. Kesunyian menyelimuti perjalanan pulang, sedang jalanan kian disesaki keributan lalu lalang kendaraan ke arah kota.
~~

Makan malam kali ini sangat sederhana, namun nikmat lagi mengenyangkan. Emak memilih menu hidangan yang bahannya lokal dengan sedikit rempah-rempah yang didapat dari pekarangan rumah. Semangkuk sayur lodeh, ikan asin dan tempe, ditambah sambal tanpa tomat kesukaan abah sungguh menggiurkan.

"Heuheu.. Ajib nih makanan buatan biniku. Tuhan memang tidak pernah pelit." pungkas Abah.

"Mak, ini hasil penjualan cucur, tidak banyak." Ipeh menyodorkan uangnya ke Emak.

Emak mengangguk kecil dan tersenyum.

"Berapapun hasil dari jerih payah sendiri lebih baik daripada hasil yang didapat bukan dari jerih payah sendiri." jawab Emak menasihati.

"Heuheu... Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalamannya sendiri." potong Abah usai menyesap teh hangatnya.

Ipeh melempar senyum ke Abah dan Emak. Malam itu mereka tidur dalam keadaan perut tidak kosong.
~~

Pagi ini Ipeh tidak kuliah karena hari libur. Ipeh membantu Abah menyiapkan delman.

"Ini Bah sarapan dulu." Ipeh menyodorkan piring nasi.

Abah menerima piring itu dan memberikan makanannya ke kuda.

"Loh kenapa makanan Abah dikasihkan ke kuda, itu kan sarapan Abah." Ipeh kaget.

"Heuheu.. Gakpapa Peh. Abah bisa makan dijalan nanti, kali aja bertemu dengan Nyi Gerah dengan bubur sumsumnya."

"Tapi Abah kan butuh makan biar gak lemes, hmm.."

"Heuheu... Kuda lebih membutuhkan. Bagaimanapun, ia berjasa bagi keberlangsungan hidup keluarga kita."

"Tapi Bah..."

"Peh.. berterima kasihlah pada segala yang memberi kehidupan, walau seekor kuda sekalipun."

Ipeh terdiam sejenak, kemudian berbisik ke Abah.

"...dan jangan lupa berterimakasih kepada Tuhan yang tidak pernah pelit."

"Heuheu...iya Peh. Alhamdulillah."

Cetak, cetak! Abah melecut kuda dan Ipeh turut dibawa pergi bersama delmannya.
~~

Pagi ini cahaya mentari terasa menghangatkan, tidak panas, tidak dingin. Ayam jago mulai berkejar-kejaran dengan ayam betina, bermain petak umpet, hingga menunggangi ayam betina setelah puas bermain petak umpet. Abah memanggil kawanan ayam dari atas gedek dan memberikan makanan sisa semalam ke ayam peliharaannya.

"Suatu waktu tak masalah jika kalian menikmati apa yang tuan kalian makan, kecuali sambel, pasti akan kepedasan. Heuheu..." Abah mengajak bicara ayam-ayamnya. Ayam-ayam itu menanggapinya dengan menceker dan mematuk makanan yang diberikan Abah.

Hari ini merupakan hari memutar kucir toga. Ipeh telah melewati 8 semester dengan hasil yang tidak mengecewakan. Hanya saja yang membuatnya sedikit kecewa ialah ketika melihat teman-temannya akan naik ke pelaminan usai memutar kucir toga, sedangkan dirinya masih dengan status yang sama.

"Euleuh, euleuh.. Kenapa wajahmu masam begitu Peh?" tanya Emak.

"Temen-temenku sudah pada mengirim undangan resepsi, sedangkan Ipeh masih begini aja. Hiks hiks.."

Emak duduk disamping Ipeh dan mengelus lembut rambutnya.

Abah menemui Emak dan Ipeh sedang duduk di ruang tamu dan siap mengantar Ipeh ke acara wisuda.

"Heuheu.. Kenapa wahai dirimu?" tanya Abah.

Emak mencubit Abah dan sedikit mendorong Abah kebelakang, lalu membisikinya.

"Oalah.. Jadi begitu ceritanya. Heuheu.."

"Udah Peh, jangan nangis, nanti make up nya luntur loh. Nanti pas berhadapan dengan Pak Rektor dengan wajah begini apa gak pingsan tuh.." Emak berusaha menenangkan Ipeh.

"Heuheu.. Mengapa harus takut jomblo, sedangkan kita menghamba pada Tuhan yang Maha Pemberi Rezeki, sebab jodoh ada di tangan Tuhan. Trust me.." Abah menasihati Ipeh.

Ipeh menyapu air matanya. Emak membantu mendandani Ipeh sebelum dibawa pergi oleh Abah ke acara wisuda. Tak lama kemudian, Abah mengantarkan Ipeh ke acara perpisahan mahasiswa dan dosen yang sakral itu.

Di acara wisuda, semua teman Ipeh tidak seorang diri, bukan orang tua atau wali yang menemani mereka, melainkan PW (pendamping wisuda). Ipeh berusaha menguatkan imannya, walau sesungguhnya iri hati melihat teman-temannya. Imannya diuji bertubi-tubi selama 6 jam hingga acara beres.

Jam demi jam berlalu. Kucir toga telah pindah posisi lewat tangan rektor. Sebelum meninggalkan tempat, para wisudawan menyempatkan diri mengabadikan momen wisudanya dengan orang-orang terkasih, tak terkecuali PWnya.

"Bah ayo kita pulang." Ipeh merengek.

"Heuheu.. Kamu yakin tidak ingin mengabadikan momen spesial ini?" tanya Abah.

"Nanti aja we di photo studio lain." jawab Ipeh kesal.

"Heuheu... Iya atuh."

Ipeh dan Abah melangkahkan kaki keluar gedung. Sesosok pria dengan jubah wisudanya membuntuti Ipeh dari belakang. Ipeh merasa ada yang mengikutinya dari belakang, Ipeh mulai mempercepat langkah kakinya.

"Pelan-pelan aja jalannya Peh. Heuheu.." ucap Abah
Ipeh tetap melangkahkan kakinya.

"Peh tunggu, ini ada yang mencarimu."

"Siapa?" Ipeh membalikkan badan.

Ternyata Rio berada disamping Abah. Sepertinya akrab. Rio mendatangi Ipeh yang diam termangu, mungkin euforia saat dikelas waktu itu yang membuatnya kikuk. Teman-teman lainnya yang melihat Rio dan Ipeh bertemu mulai mengamati, terlebih bunga mawar yang disembunyikan dibalik badan Rio. Bumi gonjang-ganjing.

"Sebelumnya maaf bila membuatmu membisu bila berada didepanku selama 4 tahun ini, akupun merasa demikian. Entah ada rasa yang sama atau hanya kebetulan." Rio memulai pembicaraan.

"..di depan teman-teman kita, juga orang tuamu menjadi saksi, maukah engkau menjadi penyempurna separuh agamaku." Rio memberikan bunga mawar kepada Ipeh.

Ipeh terdiam sesaat dan pipinya merah dibuatnya. Ipeh tidak menyangka Rio akan mendeklarasikannya diakhir cerita.

"Udeh terima aja, Abah percaya sama kalian. Bisa jadi do'a mu telah terkabul Peh, heuheu.." kata Abah.

"Bagiku agamaku, bagimu aku milikmu." jawab Ipeh menerima pinangan Rio.

"Ter, ter, ter, cie ciee.."

Dalam sekejap, teman-teman Ipeh berbaris dan menyalami Ipeh dan Rio, juga Abah. Kali ini Ipeh dan Rio tidak lagi kikuk, sebab Abah telah merestui mereka yang nantinya akan menggelar pernikahan beberapa pekan kedepan.

"Heuheu.. Tuhan tidak pernah pelit bukan? Bisa jadi rezekimu adalah menikah dengan Rio." Abah menyemangati Ipeh.

"..dan juga kamu, jangan lupa siapkan maharnya sebelum menikahi putriku, dan sebelum konsepsi, wkwkwk.." Abah bersenda gurau dengan calon mantunya.

Semuanya melepaskan tawa.

___________

Note : ada beberapa kata yang dikutip dari karya sastra Pramoedya A.T. Terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun