Dirga sedikit terenyuh atas perkataan yang keluar dari mulut ayahnya tersebut. Dia hanya bisa menundukkan kepala dan menahan bulir mata yang seakan ingin keluar.
Akhir-akhir ini, memang pikiran Baskara sedang tidak baik-baik saja sehingga luapan emosi yang kadang tidak bisa dikendalikan, membuatnya menjadi orang yang mudah marah. Juga semenjak sudah tidak lagi bekerja, dia hanya merenung menyesali nasib keluarganya sekarang.
"Maafin Dirga, Yah. Dirga salah, tidak seharusnya berkata seperti ini kepada Ayah." Tanpa respons apa pun dari sang ayah, anak dengan nama lengkap Dirga El Baskara itu pun langsung berjalan kembali membelakangi ayahnya. Umurnya yang baru menginjak 14 tahun dan masih duduk di bangku kelas delapan SMP sudah harus mengalami keadaan ekonomi keluarga saat ini yang begitu sulit.
Dengan perasaan pilu yang menyelimuti kalbu anak tersebut, membuat langkahnya tidak berhenti melaju menuju kamarnya. Setelah sampai di tempat tujuan, dia berusaha untuk menghidupkan kembali ponselnya. Lalu, Dirga terduduk di bujur kasur, pikirannya tidak henti memikirkan perkataan yang keluar dari mulut ayahnya tadi.
Beberapa detik kemudian, anak lelaki itu tersadar jika hari ini pelajaran pertama lewat aplikasi Google Meeting sehingga dia harus bergegas untuk berganti pakaian yang dikenakan dengan seragam sekolah.
Setelah berganti pakaian, Dirga langsung mempersiapkan diri karena jam pelajaran pertama akan segera dimulai. Tampilan layar ponsel yang sudah kusam dan banyak sekali retakan yang tercipta pada kaca depannya, tetapi untung masih bisa bertahan untuk menyala karena hanya ini harapan anak lelaki itu untuk bisa mengikuti sekolah daring atau belajar dari rumah.
Benda elektronik mungil tersebut sudah Dirga simpan di atas tumpukan buku dan disandarkan pada dinding di atas meja belajar sehingga tepat kamera mengarah ke arah wajahnya. Dia sudah siap untuk belajar, terlihat dari tangannya yang sudah menggenggam alat tulis. Pembelajaran pun dimulai, suara pengajar di dalam telepon mulai terdengar mengabsen nama siswa satu-persatu.
Di sisi lain, Siska yang merupakan ibu dari Dirga telah selesai rapi-rapi di dapur, langkahnya menghampiri sang suami yang masih duduk di tempat tadi. Wanita dengan setelan baju daster itu langsung terduduk dekat Baskara. "Tadi ibu dengar di dapur Ayah kayak marah ke Dirga. Ada apa emang, Yah?" tanyanya kemudian.
"Sudahlah, Ibu juga jangan tambah beban pikiran ayah." Baskara memalingkan wajah, tidak sedikit pun dia menatap orang yang kini berada di samping duduknya. Lelaki itu malah asyik menyeruput kopi yang sudah tinggal ampas dalam gelas yang berbeda di genggamannya.
"Ibu tahu sikap Ayah berubah menjadi begini akhir-akhir ini, karena ibu paham dengan kondisi kita sekarang. Tapi, kalau Dirga, ibu nggak yakin dia bakal paham juga. Jadi cobalah jangan terlalu keras sama dia, Yah. Dirga masih terlalu kecil untuk menerima cobaan kita sekarang. Apakah pantas seorang anak terlibat ke dalam masalah ekonomi orang tuanya? Nggak, 'kan?" ucap Siska begitu penuh haru.
Baskara yang mendengar perkataan dari sang istri tersebut seketika mematung, bibirnya terasa kelu untuk mengucapkan sesuatu. Lelaki berusia 39 tahun itu hanya menyesali nasibnya kini, dia merasa gagal menjadi seorang suami dan ayah yang bertanggung jawab untuk keluarga. Nasibnya yang sekarang pengangguran hanya menambah beban sang istri, terlebih mereka berkeluarga jauh merantau dari sanak saudara.