Oleh: Ahmad SuhaemiÂ
- Maret, 2020.
Mentari mulai menawarkan kehangatannya di hamparan cakrawala. Kicauan burung terdengar begitu syahdu di atas pepohonan dan tiang-tiang listrik. Suasana jalanan di sekitarnya begitu sepi seperti tanpa penghidupan, padahal kampung tersebut begitu padat penduduk, terlihat dari deretan rumah para warga di sana. Semua itu terjadi karena imbauan pemerintah yang mengharuskan agar masyarakat untuk tetap berada di rumah.
Semenjak kabar tersiar mengenai penyebaran virus corona atau sering dikenal dengan istilah Covid-19 yang terjadi begitu tinggi di Indonesia, kondisi kampung dengan nama Kampung Cisaranten itu menjadi tidak seperti biasa yang selalu riuh, perekonomian masyarakatnya pun seakan lumpuh. Banyak orang yang memilih banting setir atas pekerjaannya untuk melanjutkan kehidupan.
Keluarga Baskara adalah salah satu keluarga kecil yang tinggal di kampung tersebut. Pernikahan Baskara dengan Siska sudah berjalan lima belas tahun dan dikaruniai dua orang anak. Penyebaran virus tersebut membuat lelaki yang akrab disapa Bas itu harus kehilangan pekerjaan. Sebelumnya, dia bekerja sebagai buruh di salah satu pabrik yang berada di pusat kota.
Akibat dari kehilangan pekerjaan, Baskara dan keluarganya menjadi hidup dalam serba kesusahan. Segala cara sudah dia lakukan agar mampu membeli beras dan lauk-pauk untuk keluarganya makan, termasuk menjual barang-barang yang amat penting di hidupnya seperti, mas kawin, jam tangan bermerek, bahkan ponselnya.
Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh. Selepas memakan sepotong roti sebagai sarapan di meja makan, Dirga yang merupakan anak pertama Baskara itu merogoh ponsel dalam sakunya seraya beranjak juga melangkah tidak tentu arah. Sebenarnya, perut Dirga masih terasa lapar karena sepotong roti tentu tidak dapat membuatnya kenyang, hanya saja dia lagi-lagi harus bersyukur karena ibunya masih bisa membeli satu buah roti untuk dibagi dua sebagai sarapan dia dan Resya, adiknya.
"Duh, ini hp kenapa mati? Perasaan sering banget mati tiba-tiba gini," ucap Dirga pada diri sendiri, seketika pandangannya melihat sang ayah yang sedang duduk di tempat yang tidak jauh dari posisinya sekarang.
"Ayah ... ini hp Dirga sering mati saat digunakan, kenapa, Yah? Terus, suka kesel kalau mati pas lagi belajar daring gitu. Dirga pengen ganti hp yang baru boleh, nggak, Yah?" pinta anak lelaki bertubuh tinggi dengan badan yang sedikit kurus itu sambil berjalan ke arah sang ayah. Dia pun menyodorkan ponsel yang di genggamannya.
Ayahnya yang sedari tadi duduk termenung beralas tikar di ruang keluarga dengan hanya ditemani segelas kopi itu, merasa jengkel dengan ucapan Dirga. "Kamu ini masih pagi begini sudah nambah pikiran ayah saja. Boro-boro buat beliin kamu hp yang baru, buat makan sekarang saja kita susah, mikir atuh!"
"Masih untung kita dapat bertahan hidup juga, Dirga," sambung Baskara dengan nada yang sedikit tinggi.
Dirga sedikit terenyuh atas perkataan yang keluar dari mulut ayahnya tersebut. Dia hanya bisa menundukkan kepala dan menahan bulir mata yang seakan ingin keluar.
Akhir-akhir ini, memang pikiran Baskara sedang tidak baik-baik saja sehingga luapan emosi yang kadang tidak bisa dikendalikan, membuatnya menjadi orang yang mudah marah. Juga semenjak sudah tidak lagi bekerja, dia hanya merenung menyesali nasib keluarganya sekarang.
"Maafin Dirga, Yah. Dirga salah, tidak seharusnya berkata seperti ini kepada Ayah." Tanpa respons apa pun dari sang ayah, anak dengan nama lengkap Dirga El Baskara itu pun langsung berjalan kembali membelakangi ayahnya. Umurnya yang baru menginjak 14 tahun dan masih duduk di bangku kelas delapan SMP sudah harus mengalami keadaan ekonomi keluarga saat ini yang begitu sulit.
Dengan perasaan pilu yang menyelimuti kalbu anak tersebut, membuat langkahnya tidak berhenti melaju menuju kamarnya. Setelah sampai di tempat tujuan, dia berusaha untuk menghidupkan kembali ponselnya. Lalu, Dirga terduduk di bujur kasur, pikirannya tidak henti memikirkan perkataan yang keluar dari mulut ayahnya tadi.
Beberapa detik kemudian, anak lelaki itu tersadar jika hari ini pelajaran pertama lewat aplikasi Google Meeting sehingga dia harus bergegas untuk berganti pakaian yang dikenakan dengan seragam sekolah.
Setelah berganti pakaian, Dirga langsung mempersiapkan diri karena jam pelajaran pertama akan segera dimulai. Tampilan layar ponsel yang sudah kusam dan banyak sekali retakan yang tercipta pada kaca depannya, tetapi untung masih bisa bertahan untuk menyala karena hanya ini harapan anak lelaki itu untuk bisa mengikuti sekolah daring atau belajar dari rumah.
Benda elektronik mungil tersebut sudah Dirga simpan di atas tumpukan buku dan disandarkan pada dinding di atas meja belajar sehingga tepat kamera mengarah ke arah wajahnya. Dia sudah siap untuk belajar, terlihat dari tangannya yang sudah menggenggam alat tulis. Pembelajaran pun dimulai, suara pengajar di dalam telepon mulai terdengar mengabsen nama siswa satu-persatu.
Di sisi lain, Siska yang merupakan ibu dari Dirga telah selesai rapi-rapi di dapur, langkahnya menghampiri sang suami yang masih duduk di tempat tadi. Wanita dengan setelan baju daster itu langsung terduduk dekat Baskara. "Tadi ibu dengar di dapur Ayah kayak marah ke Dirga. Ada apa emang, Yah?" tanyanya kemudian.
"Sudahlah, Ibu juga jangan tambah beban pikiran ayah." Baskara memalingkan wajah, tidak sedikit pun dia menatap orang yang kini berada di samping duduknya. Lelaki itu malah asyik menyeruput kopi yang sudah tinggal ampas dalam gelas yang berbeda di genggamannya.
"Ibu tahu sikap Ayah berubah menjadi begini akhir-akhir ini, karena ibu paham dengan kondisi kita sekarang. Tapi, kalau Dirga, ibu nggak yakin dia bakal paham juga. Jadi cobalah jangan terlalu keras sama dia, Yah. Dirga masih terlalu kecil untuk menerima cobaan kita sekarang. Apakah pantas seorang anak terlibat ke dalam masalah ekonomi orang tuanya? Nggak, 'kan?" ucap Siska begitu penuh haru.
Baskara yang mendengar perkataan dari sang istri tersebut seketika mematung, bibirnya terasa kelu untuk mengucapkan sesuatu. Lelaki berusia 39 tahun itu hanya menyesali nasibnya kini, dia merasa gagal menjadi seorang suami dan ayah yang bertanggung jawab untuk keluarga. Nasibnya yang sekarang pengangguran hanya menambah beban sang istri, terlebih mereka berkeluarga jauh merantau dari sanak saudara.
"Sudahlah, jangan terlalu dipikirin, Yah. Kita hadapi bersama-sama ujian ini. Insya Allah, semua akan cepat berlalu. Kita kuat karena kita bersama." Siska menggenggam tangan sang suami.
"Ayah tahu tidak, sekarang orang-orang lagi ramai ngomongin soal tanaman hias? Jadi ibu ada ide, gimana kalau kita jual saja tanaman-tanaman hias yang ada halaman rumah? Kebetulan tanaman hias kita, ibu rasa sudah terlalu banyak," lanjutnya.
"Wah, bagus, tuh. Nanti ayah akan bantu untuk mempromosikannya supaya rencana Ibu untuk berjualan tanaman hias itu berjalan."
"Tapi, hp Ayah ‘kan sudah dijual buat kebutuhan sehari-hari kita kemarin, hp ibu juga sudah lama rusak, kalau pakai hp Dirga 'kan nggak mungkin karena selalu dipakai sekolah online. Jadi bagaimana cara kita untuk mempromosikan tanaman hias kita? Terus cara kita berjualan di masa seperti sekarang ini, gimana? Karena yang ibu tahu, banyak sekali aturan dan protokol yang harus kita lakukan, Yah," beber Siska.
Setelah beberapa detik mereka terdiam memikirkan bagaimana cara agar rencana mereka ini dapat berjalan meskipun di tengah masa pandemi, akhirnya Baskara menemukan ide. "Siang nanti ayah akan temui pak RT di rumahnya untuk meminta bantuannya, agar mau membantu promosikan tanaman hias kita ke grup atau komunitas Kampung Cisaranten. Jadi dengan begitu warga tahu kalau kita menjual tanaman hias. Sekalian ayah mau izin dan minta pendapat ke pak RT juga mengenai usaha yang akan kita jalankan nanti," ucap Baskara, tanpa menunggu lama Siska langsung menyetujui idenya.
"Eh, iya, Resya ke mana?" tanya Baskara setelah menyadari anak bungsunya tidak berada di antara mereka.
Siska menjawab kalau anak bungsu mereka, dia suruh untuk menemani Dirga belajar di kamarnya, sekalian Resya ikut belajar juga. Terlebih untuk mengobati rasa kesepian dan kesedihan sang kakak.
***
- April, 2020.
Sang waktu terus melaju, membekas sejarah pada risalah baru untuk dilalui. Sekian purnama telah mampir menerangi setiap inci belahan bumi. Keluarga Baskara kini mulai berhasil melewati masa-masa sulit saat pandemi, mampu bangkit dari hal yang membuat sakit. Sekarang dia mempunyai usaha jual-beli tanaman hias, usaha yang terlahir dari perbincangan singkatnya dengan sang istri.
Semua itu terjadi berkat kegigihan dan usaha kerja kerasnya dengan sang istri. Juga karena bantuan pak RT yang membantu mempromosikan tanaman hiasnya pertama kali kepada warga sekitar. Semenjak saat itu, ramai orang berdatangan ke rumahnya. Ada yang hanya sekadar melihat-lihat, ada pula yang langsung membeli dengan proses dan ketentuan berjualan di masa pandemi.
Hasil dari usahanya tersebut, Baskara sudah membelikan ponsel baru untuk anak sulungnya sekolah daring dan membeli untuk keperluan usaha. Banyak distributor tanaman hias yang sudah melakukan perjanjian dengannya, tetapi tidak pernah sedikit pun dia lupa dengan protokol kesehatan yang selalu pemerintah ingatkan. Baskara selalu mengutamakan keselamatan dan kesehatan keluarganya, setiap ada barang yang masuk dan keluar selalu disemprot dengan cairan-cairan pembasmi virus.
Semakin hari grafik penjualan tanaman hiasnya semakin melonjak tinggi, tidak sedikit orang luar daerah, bahkan luar provinsi yang membeli tanaman hiasnya. Usaha yang Baskara jalankan dengan istri begitu ramai diperbincangkan di media sosial mana pun, banyak orang yang memburu tanaman-tanaman hias tertentu. Hanya saja karena masa pandemi membuat ruang gerak usahanya begitu terbatas, tetapi karena pandemi juga usahanya bisa berkembang karena banyak orang yang mencari kesibukan di rumah dengan cara merawat tanaman hias.
***
Hari kedua puluh bulan April, 2020.
Langit jingga begitu memesona, sang mentari bergegas pamit di kakinya. Riuh azan Magrib menggema di surau-surau. Tiga hari lagi Ramadan akan tiba, hanya saja Ramadan kali ini terasa berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
Biasanya masyarakat Kampung Cisaranten dalam menyambut bulan suci itu selalu mengadakan acara masak dan makan bersama, santunan yatim-piatu, dan bergotong royong membersihkan masjid. Akan tetapi, tahun sekarang begitu hampa, banyak orang yang memilih berdiam di rumah karena merasa ketakutan, ditambah banyak berita yang dilayangkan dari televisi dan media elektronik lain tentang angka kasus kematian yang meninggi setiap harinya yang disebabkan oleh Covid-19.
"Bu, Ibu di mana?!" Sepasang netra anak lelaki itu menyisir rumah mencari keberadaan Siska, ibunya.
"Ada apa, Kak? Ibu lagi di depan," sahut Siska dengan sedikit teriak karena tengah berada di halaman rumah.
Anak lelaki yang tampak kebingungan karena sedari tadi mencari keberadaan sang ibu itu pun langsung menghampiri sumber suara tersebut. "Bu, kenapa masih di luar? Ini sudah Magrib," ucap Dirga kepada ibunya yang tengah menata kembali tanaman hias kecil untuk dijual esok hari.
"Iya, Kak. Bentar lagi ibu masuk. Tinggal merapikan tanaman yang di rak atas."
"Biar kakak bantu ya, Bu."
"Boleh, kakak bantu kumpulin pot-pot yang berserakan saja di bawah, terus masukin ke sini," ucap Siska sembari menunjuk ke arah benda yang disebutnya.
"Jangan lupa pakai masker dan sarung tangannya," tambahnya.
Dirga pun langsung merogoh masker dan sarung tangan, lalu memakainya seraya berkata, "ini sudah kakak pakai, Bu." Tangannya disodorkan pada sang ibu untuk meyakinkan bahwa dia benar-benar sudah memakai sarung tangan, supaya tidak bersentuhan langsung dengan virus.
"Ayah di mana, Bu? Kok, nggak ada," tanyanya ketika sedang mengumpulkan pot dan setelah menyadari sang ayah tidak ada. Siska pun menjawab kalau orang yang ditanyai oleh Dirga tersebut tengah mengantarkan tanaman hias ke kampung sebelah dari sore tadi.
Ketika semua sudah rapi dan Siska akan mulai membersihkan diri, tiba-tiba terdengar suara tangis dari dalam rumah. Tangisan tersebut ternyata berasal dari Resya yang tadi Dirga tinggalkan bermain sendiri di kamarnya. Ibu dan anak sulung itu pun bergegas langsung masuk ke dalam rumah untuk memastikan apa yang terjadi.
"Ya Allah, Dek!" jerit Siska ketika baru membuka dinding pintu kamar, dia melihat anak bungsunya yang berdiri seraya menangis dan melihat pecahan gelas serta genangan air di sampingnya. Ibu dengan dua anak itu pun langsung merangkul si bungsu dan mencoba untuk menenangkannya.
"Ini kenapa bisa seperti ini si, Dek? Ya Allah." Siska begitu panik sampai membuatnya terlupa untuk membersihkan diri dan menyemprotkan cairan anti virus yang biasanya dia semprotkan pada tubuhnya setelah seharian melayani pembeli yang berdatangan ke rumah.
Beberapa menit yang lalu, Resya yang tengah asyik bermain puzzle balok sendiri tersebut merasa haus. Dia melihat ada gelas yang berisi air di atas meja belajar sang kakak, tanpa berpikir panjang balita tersebut langsung berdiri dan meraihnya.
Tangan Resya begitu mungil, membuatnya tidak kuat untuk menahan gelas berisi air sehingga gelas tersebut terjatuh dan pecah. Anak dengan setelan baju putih bermotif bunga merah muda itu pun terkejut melihat serpihan kaca berserakan, terlebih ada pecahan yang mengenai kaki kecilnya. Seketika itu, dia menjerit yang mengundang kedatangan ibu dan kakaknya.
"Kak, tolong ambilkan sapu, serokan, dan lap di dapur, ya. Biar ibu nenangin adek dulu." Dirga pun langsung mengiyakan perintah sang ibu dan mulai melangkah ke luar kamar.
Barang-barang yang dipinta sang ibu ternyata tertata rapi di dekat pintu dapur, membuat Dirga tidak harus membutuhkan waktu lama mencari. Setelah mengambilnya, dia langsung kembali ke kamar dan dengan percaya diri anak lelaki itu akan membereskan pecahan kaca yang berserakan, hanya saja justru sang ibu tidak mengizinkan karena dikhawatirkan pecahan kaca tersebut mengenai kakinya.
"Sebentar, Kak. Ibu mau bawa adek ke ruang tengah dulu. Sekalian mau obatin lukanya di sana. Kakak jangan coba-coba mendekati pecahan gelas itu, awas!" tegas Siska sambil memangku anak bungsunya yang masih menangis.
"Iya, Bu." Dirga meletakkan peralatan kebersihan yang dipegangnya. Lalu, dia pun mengekor langkah sang ibu keluar kamar.
Tidak lama kemudian, Baskara tiba selepas mengantar pesanan menggunakan motor tua yang hampir dia jual ketika masa-masa sulit melanda. Setelah memarkirkan motor tersebut, tidak lupa Baskara membersihkan diri terlebih dahulu, seperti biasa sebelum masuk rumah.
***
Malam semakin larut, kini jarum jam di dinding mengarah ke angka sebelas. Â Di kamar utama sebuah rumah terlihat di atas kasur, Siska dan Baskara berbaring dengan di tengahnya terdapat anak bungsu mereka. Lampu utama telah dimatikan dan hanya cahaya temaram lampu tidur yang menyinari ruangan bernuansa putih itu.
Siska yang belum tertidur pulas, tiba-tiba merasakan kepalanya berdenyut dan badannya mulai menggigil. Dia pun membuka mata dan melihat ke samping, terlihat suami juga anaknya yang sudah tertidur.
Sakit masih terus Siska rasakan setelah beberapa saat membuka matanya. 'kepalaku kenapa jadi makin sakit begini?' batinnya. Tangannya perlahan-lahan mengurut kepala, berharap rasa sakit itu akan berkurang.
"Ayah, bangun." Siska menepuk pelan pundak sang suami, berharap Baskara bisa bangun dan membantunya.
Setelah sekali mencoba membangunkan dengan hasil tubuh Baskara sama sekali tidak bergeming. Siska pun mengurungkan niatnya, dia menjadi tidak tega setelah melihat wajah sang suami begitu lelap karena tampak penat.
Selang beberapa detik, Siska beranjak keluar dari kamar dengan badan yang tertatih-tatih menahan tubuhnya yang kedinginan untuk mengambil butir obat pereda sakit di kotak P3K. Selepas butir obat itu diminum, tidak lupa dia mengambil baju hangat di lemari lalu memakainya sebelum kembali merebahkan tubuh lagi.
Siska masih belum bisa tertidur, rasa sakit di kepalanya semakin malam makin menjadi. Suhu tubuhnya pun tidak karuan, panas dingin bercampur menjadi satu. Wanita dengan setelan jaket tebal itu terus berdoa, mulutnya tidak henti-henti mengucapkan zikir, meminta agar rasa sakit yang dideritanya segera sirna.
Suara rintihan Siska membuat sang suami terbangun dari tidur lelapnya. "Ibu, kenapa?" tanya Baskara yang masih setengah sadar dari tidurnya.
Wanita itu menjelaskan tentang rasa sakit yang dideritanya kepada sang suami. Baskara sontak terkejut, hal pertama yang dia tanyakan kepada istrinya itu adalah apakah mengalami gejala-gejala Covid-19. Siska menjawab, tidak ada rasa sesak atau hal lain yang menjadi gejala awal terkena virus tersebut, tetapi rasa sakit yang dideritanya kini lebih dari sakit kepala biasa.
Tangan Baskara memegang jidat sang istri. "Ya Allah, Bu, ini panas banget. Ibu sudah minum obat? Kalau belum, biar Ayah ambilkan obat dulu."
"Tidak usah, Yah. Ibu sudah minum obat tadi."
***
Hari sudah berganti. Mentari mulai meninggi dengan berselimut gumpalan awan, nampak cuaca sedang berkabung. Pagi tadi Baskara sudah sibuk karena keadaan istrinya yang malah memburuk dari semalam. Maka dari itu, selepas salat Subuh tadi Baskara langsung membawa Siska ke puskesmas yang berada tidak jauh dari rumahnya.
Semenjak pandemi puskesmas yang didatangi oleh Baskara buka 24 jam jadi pas sampai sana, Siska langsung diperiksa oleh dokter. Sebelumnya juga sudah melakukan tes antigen untuk mengetahui apakah dia terkena virus atau tidak. Tes ini memberikan hasil cepat dalam waktu yang relatif singkat, memungkinkan tindakan pengendalian penyebaran penyakit dengan lebih efektif.
Setelah beberapa pemeriksaan, dokter tidak dapat mendiagnosis secara jelas penyebab rasa sakit yang diderita oleh Siska karena keterbatasan alat di puskesmas tersebut. Oleh karenanya, ibu beranak dua itu harus dirujuk ke rumah sakit.
Sebelum berangkat ke rumah sakit, Baskara pulang terlebih dahulu untuk menitipkan kedua anaknya pada tetangga dan mengambil beberapa baju salin untuk jaga-jaga jika Siska harus dirawat inap. Baskara menemani istrinya yang terbujur lemah dan beberapa kali tidak sadarkan diri itu dibawa ke rumah sakit menggunakan ambulans puskesmas.
Baskara sudah berada di koridor rumah sakit, menunggu sang istri yang sedang ditangani oleh dokter dan suster bersetelan Atribut Pelindung Diri (APD) yang lengkap. Kini jam di tangannya menunjukkan angka sembilan.
Hasil tes antigen Siska di puskesmas ternyata positif, tetapi dokter belum bisa memastikan apakah berarti dia terinfeksi Covid-19 atau bukan. Jadi harus melakukan tes molekuler atau yang sering disebut dengan tes Polymerase Chain Reaction (PCR). Alasannya cukup sederhana, yakni karena tingkat akurasi tes PCR jauh lebih tinggi dan akurat dibandingkan tes Covid-19 yang lain.
Tes PCR membutuhkan waktu beberapa hari untuk hasilnya keluar sehingga mengharuskan Siska dirawat inap dan dilakukan pengecekan secara berkala oleh tim medis.
Di masa pandemi, prosedur dan penanganan rumah sakit begitu rumit membuat Baskara kelelahan mengurusnya. Tubuhnya terkulai lemas di kursi depan ruangan tempat istrinya dirawat, dia tidak diizinkan masuk ke dalam jadi hanya bisa melihat keadaan Siska lewat kaca pintu.
'Ya Allah, hilangkanlah rasa sakit istri hamba, berilah dia kekuatan dan kesembuhan,' ucap Baskara dalam hati.
Tidak lama kemudian, ponsel Baskara berbunyi, menandakan ada panggilan masuk. Dia langsung mengambil ponsel yang berada di dalam tas gendong berisi baju salin dan keperluan lain yang tengah dipangkunya.
"Halo, Yah. Assalamualaikum." Suara di seberang sana, terdengar jelas suara tersebut milik Dirga.
"Waalaikumsalam. Iya, kenapa, Kak?" tanya Baskara.
"Ayah, Ibu di mana? Kok, belum pulang juga? Tadi Adek nangis, pengen ketemu ibu katanya."
"Sebentar ya, Kak. Ini ayah lagi di rumah sakit bawa ibu. Kakak jagain adek dulu. Jangan nakal-nakal di rumah Bi Inay. Ayah dan ibu akan secepatnya pulang."
Setelah perbincangan singkat antara ayah dan anaknya itu, Baskara menyimpan kembali ponselnya di tempat semula. Perasaannya harap-harap cemas, hanya riuh doa yang mampu dia panjatkan pada Sang Kuasa.
***
Dua hari kemudian.
Hari ini adalah tanggal dua puluh tiga bulan April, tepatnya sehari sebelum Ramadan menyapa di tahun 2020. Baskara mendapati kabar sang istri yang katanya semakin kritis di rumah sakit. Posisinya saat ini sedang di rumah karena harus mengecek keadaan kedua anaknya juga. Dua harian ini, dia bolak-balik ke rumah sakit.
Setelah mendapat kabar dari dokter yang menangani istrinya tersebut, Baskara langsung bergegas ke rumah sakit dengan mengendarai motornya.
Jarak rumah Baskara dengan rumah sakit tidak terlalu jauh sehingga dia cepat sampai di sana. Ketika langkahnya hampir sampai di depan ruangan tempat istrinya dirawat, dia mendapati dokter dan tim medis yang lainnya baru saja keluar dari ruangan tersebut.
"Dok, bagaimana keadaan istri saya sekarang?" tanyanya kepada Dokter yang ber-APD lengkap itu, sementara Baskara hanya memakai masker.
Wajah dokter tampak sayu di balik maskernya, dengan berat hati dia mengatakan kepada orang yang di depannya itu bahwa istrinya sudah tiada. Setelah kemarin sore hasil PCR keluar, Siska dinyatakan positif Covid-19 dan kondisinya semakin memburuk.
Hati Baskara seketika bagai tersambar petir di siang bolong, tubuhnya menjadi lemas tidak bertenaga. "Dokter pasti bercanda, 'kan? Istri saya nggak mungkin ninggalin saya, Dok!" ucapnya dengan nada tinggi disusul dengan suara tangis dan teriakan yang menggelegar ke penjuru sudut rumah sakit.
Baskara langsung berlari masuk ke dalam, meski sudah dicegah oleh tim medis karena bahaya Covid-19 bisa menyebar kepada dirinya, tetapi lelaki yang sedang berkabung itu tidak memedulikan di sekitarnya, bahkan dia sesekali berbuat anarkis.
"Ibu ... kenapa ibu tinggalin Ayah!"
"Bangun, Bu!" Tangan Baskara terus menggerakkan tubuh istrinya itu.
Tubuh Baskara seketika ambruk di samping tubuh Siska yang terbujur kaku, suara tangisnya semakin menjadi. Tiba-tiba saja ada seorang suster yang kebetulan lewat, lalu membangunkannya. "Pak, bangun. Bapak kenapa?"
"Ya Allah, Sus. Saya ketiduran di sini," ucap Baskara dengan nada tersengal-sengal seperti habis lari maraton. Dirinya langsung bangkit mengecek keadaan sang istri di dalam ruangan.
"Alhamdulillah, tadi cuma mimpi." Baskara bermonolog sehingga tidak menghiraukan suster yang berada di belakangnya.
"Ada apa, Pak? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Suster karena melihat tingkah Baskara sedikit aneh.
"Oh, tidak ada, Sus. Terima kasih." Baskara membalikkan tubuhnya menghadap orang yang memakai baju seragam putih dengan masker penutup muka.
"Keadaan istri saya bagaimana sekarang, Sus?" sambungnya.
"Istri Bapak berangsur membaik, tadi hasil tes PCR sudah keluar dan Alhamdulillah, istri Bapak negatif."
Baskara langsung bersujud syukur, tidak sia-sia doanya selama dua hari ini terkabulkan oleh Allah Swt. Suka cita menyelimuti kalbunya, secercah harapan indah kini datang membersamai. Setelah perbincangan tersebut, Suster beranjak pergi menjauh meninggalkan Baskara seorang diri.
***
Mentari kini berseri
Di hamparan cakrawala yang tinggiÂ
Gumpalan awan tidak lagi menghalangi
Menggugah gusar gulana hati
Seisi bumi
Â
Ribuan kisah kasih diselami
Berpola kehidupan bima sakti
Â
Pada sematan nama IlahiÂ
Menghantarkan jiwa terpatri
Abadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H