Mohon tunggu...
Ahmad Ramdani Official
Ahmad Ramdani Official Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

"Jadikan buah pikiranmu, adalah karya terhebatmu untuk Dunia!!"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Merajut Asa, Mimpimu...

6 Maret 2024   22:43 Diperbarui: 6 Maret 2024   23:06 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : IStock

Kakek Malanggi tengah terduduk santai sembari menghirup secangkir kopinya dan sebatang rokok. Beberapa menit ketika melamun karena teringat kemudian membayangkan masa lalunya tersebut, sontak Iapun tersadar. Ia tidak sama sekali menangis haru mengingat masa lalu dirinya itu. Tidak seperti biasanya Orang-orang kalau sedang mengingat masa lalu, Ia meneteskan air mata.

Sebaliknya, masa lalu yang pahit lantas semakin membuatnya seberapa tersadar bahwa berbicara kehidupan, sesungguhnya adalah dimensi perubahan. Siapapun Manusia, tentu saja harus memiliki hasrat kemauan untuk berubah. Yang ingatannya, sama seperti yang diajarkan oleh  Bapak dan Ibu dahulu kala.

Siang hari, pada akhirnya kian semakin menunjukkan panasnya yang terik. Oleh karena itu, kakek Malanggi kemudian bergegas pulang kerumah menggunakan sepeda onthel miliknya seusai memancing ikan di sungai, yang letaknya sedikit jauh dari rumah dan berada didalam pedalaman hutan rimbun nan damai. Adapun Ikan-ikan yang dipancing, selanjutnya akan dijual nanti di pasar pada malam hari.

Kakek Malanggi pernah melakukan kerjasama dengan beberapa Orang, tentu dalam rangka menjual ikan hasil tangkapannya. Tetapi pada akhirnya, Orang-orang itupun pergi dan tak pernah kembali. Disebabkan, menjual Ikan di pasar tidaklah banyak memberikan hasil atau upah yang cukup bagi kebutuhan sehari-hari mereka dan keluarganya, Orang-orang yang pernah bekerjasama Kakek Malanggi.

Tidak ada hari tanpa mencari uang dengan cara menjual ikan, sebagai mata pencaharian. Sebab bila Ikan tidak ditangkap dan dijual, niscaya mulutpun tidak bisa mengunyah makanan yang masuk kedalam perut menjadi tenaga, karena sesuatu yang hendak dimakan itu tidak didapatkan secara percuma dan gratis. Haruslah dicari kemudian dibeli dengan menggunakan alat tukar ialah uang. Dan tentu saja untuk mendapatkan uang, upaya menjual ikan itulah jerih payah yang senantiasa dilakoni sang Kakek.

"Ikanku.. Oh.. Ikanku. Terimakasih ya, kamu tidak pernah terbesit keinginan untuk lolos ketika Aku mencoba untuk menangkapmu.. He he he." Ucap Kakek Malanggi dengan begitu riangnya.

Ikan-ikanpun telah selesai ditangkap dengan cara dijala, kemudian Kakek Malanggi bergegas pulang kerumah agar dibersihkan. Setibanya dirumah, Ia langsung membersihkan ikan-ikan hasil tangkapannya. Dan setelah ikan-ikan dibersihkan, dirinya kemudian segera mempersiapkan peralatan perlengkapan untuk nanti malam berjualan ikan.

Ketika peralatan sudah siap yaitu berupa lampu, terpal kecil, beserta bak-bak pengisi ikan-ikannya, Kakek Malanggi lantas beristirahat tidur siang sejenak untuk beberapa jam terlebih-dahulu. Dan saat-saat dimana Ia mulai beranjak pergi usaha ke pasar yaitu di waktu sore hari, dirinya pun terbangun. Di belakang rumah, kebetulan terdapat sungai kecil yang mengalir begitu indah nan tenang.

Airnya jernih, dan begitu sangat menyejukkan tubuh disaat Ia membasuh diri didalamnya. Disitulah Kakek Malanggi membasuh diri, sebelum akhirnya Ia beranjak berjualan Ikan di pasar pada malam hari. Sepeda onthelnya telah siap, kemudian barang-barang berupa ikan telah dinaikkan di boncengan belakang sepeda.

"Baiklah. Ayo, kita segera berangkat." Ucapnya.

Begitu senang dan senantiasa bahagia selalu Kakek Malanggi yang pahit hidupnya dari dahulu kala hingga saat ini, didalam mengarungi serta tanpa henti dilakukan, yaitu pengalaman-pengalaman yang kian datang menghampiri. Suara gunjingan tak sedap, sudah pasti ada. Bahkan lebih daripada itu. Kemiskinan yang tidak pernah hilang dari hidupnya, membuat Kek Malang lalu tidak disukai oleh satupun wanita. Hal Itulah mengapa, walau usianya yang sudah kian renta, Ia masih saja melajang.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun