Handphone jadul bermerk Nokia, hanya satu-satunya alat komunikasi yang sang Kakek punya. Dan dengan handphone tersebut, selanjutnya Ia segera menghubungi no hp pemberian Hartono dan Sarjono yang terdapat dalam brosur MOU penerbit Merdeka Literasi, yang dulu keduanya berikan.
"Halo selamat siang. Perkenalkan, nama saya Malanggi. Saya berkenan untuk menerbitkan buku dan bekerjasama bersama Merdeka Literasi."
"Selamat siang. Baik, silahkan kirimkan naskah Bapak Malanggi kepada email Kami ya Pak."
"Email? Mohon maaf, saya tidak tahu apa itu email? Saya tidak mengerti." Jawab kakek Malang lugu.
"Bapak tinggal dimana?" tanya tim penerbit.
"Saya tinggal di Desa SumbangSari."Â
"Desa SumbangSari? Kebetulan, dua orang tim Kami sedang berada disana dalam rangka menjadi pemateri guna mengaktifkan semangat menulis warga desa. Saya akan menghubungi mereka untuk mengunjungi Bapak, apakah bisa?"
"Oh iya, baik. Terimakasih banyak. Mohon kiranya menghubungi Saya ke nomor ini agar memudahkan rekan penerbit menemui Saya." Usul Kek Malang.
"Baik Pak, terimakasih. Selamat siang."
Kakek Malanggi lalu menunggu sampai dua orang tim penerbit buku, datang untuk menemuinya. Namun disela saat menunggu, Rasa sakit mulai kembali terasa. Sakit dalam tubuhnya yang sudah lansia, kian hari kian semakin kambuh. Kadangkala setiap malam, kadang juga ketika pagi atau siang hari ketika Ia menulis atau menangkap ikan perlahan-lahan dengan cara memancingnya. Dulu, menangkap ikan adalah dengan dijala dan hasilnya banyak, untuk kemudian dijual di pasar.
Sekarang, Ia sudah tak kuasa lagi menjala. Dan untuk menangkap ikan, adalah dengan dipancing tadi. Tak lama kemudian, tiga jam setelah Kakek Malanggi menelepon tim penerbit, akhirnya datanglah dua orang tersebut dan tiba dirumah Kakek Malanggi. Siapa yang menyangka, bahwa rupanya yang datang adalah masih dua Orang yang sama, yaitu Hartono dan Sarjono rekannya.