Selain foto, di dalam amplop itu juga terdapat secarik kertas bertuliskan, "Anda akan segera dihubungi lewat telepon siang atau sore. Pastikan anda berada di rumah!" Ia mengumpat habis aksi kurang ajar itu sehingga membuatnya geram, kesal, dan marah. Ia merasa dirinya telah dihina, direndahkan, dan dipermainkan.
Jumat di hari yang sama dengan sang suami berangkat ke Bali, panggilan telepon yang ditunggu-tunggu itu masuk. Dengan penuh harap dan cemas, Nadia mengangkatnya. Si penelepon sempat diam sejenak saat mendengar suara Nadia.
"Selamat siang. Apakah benar ini dengan Ibu Nadia Mukti?" ucapnya.
"Benar. Anda siapa?" sahutnya.
"Saya orang yang mengirim foto itu kepada anda," ungkapnya.
"Kenapa anda tega melakukan ini pada saya?" cecarnya.
"Saya tidak ingin menjadi polisi moral bagi anda. Saya hanyalah orang yang realistis dan oportunis dalam memandang hidup ini. Anggap saja kita dipertemukan oleh takdir meski kondisinya seperti ini," kilahnya.
"Apa mau anda?" tanyanya.
"Dengarkan baik-baik! Saya ingin sampaikan ini sekali saja. Jika tidak ingin hubungan gelap anda terbongkar, lakukan apa yang saya minta. Saya akan serahkan seluruh klise film yang ada jika anda menuruti kata-kata saya. Siapkan uang sepuluh juta cash. Bawa dan temui saya malam ini jam tujuh. Ini alamatnya. Sebaiknya anda catat agar tidak salah," jelasnya.
Selesai mendiktekan alamat, si penelepon melanjutkan, "Ada pertanyaan?"
"Dapatkan saya memegang semua yang anda katakan," tanyanya.