Mohon tunggu...
ahmad hassan
ahmad hassan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Berkecimpungan dalam dunia pendidikan. Suka musik klasik & nonton film. Moto "semua sudah diatur".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sengkarut (2/2)

2 Oktober 2022   10:01 Diperbarui: 2 Oktober 2022   10:10 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Radit! Ayo, buruan! Nanti terlambat," kata Nadia sambil berjalan melewatinya.

Tanpa menjawab, Radit langsung menyudahi sarapannya dan bergegas menuju mobil. Mpok Mineh terlihat segera membereskan meja makan sesaat setelah sang anak pergi.

Seperti biasa, Nadia melakukan jadwal rutin hariannya yaitu antar jemput  anaknya sekolah. Pagi itu dandanannya tak kalah menarik dari hari-hari sebelumnya. Saat mobil Nadia melintas keluar dari garasi, tampak Herman sedang membersihkan mobil sang suami. Tuan Mukti biasanya pergi kerja jam 7-an setelah sang anak berangkat duluan.

Baca juga: Si Penghubung

"Radit, nanti kalau Mama telat jemputnya, kamu tunggu aja ya," ujarnya saat mobil terhenti di lampu merah.

"Emang Mama mau kemana?" sahutnya.

"Mama ada keperluan. Mudah-mudahan gak sampai telat jemput kamu. Nih, Mama kasih uang tambahan buat jajan," hiburnya.

Seperti tidak hirau dengan ucapan mamanya, anak semata wayangnya itu malah sibuk dengan mainannya. Menanggapi itu, Nadia dengan agak kesal menegurnya, "Radit, kamu dengar Mama gak?"

Baca juga: Kalut (#8)

"Iya, Ma," tukasnya.

Baca juga: Anak-anak Bangsa

Memperhatikan sang anak dengan mainannya, ia agak heran mengapa Radit yang sudah kelas lima, lebih suka dengan mainan yang satu itu. Padahal mainan lainnya banyak. Sesaat setelah Radit turun dari mobil, Nadia langsung menyisipkan mainan ular-ularan, laba-laba, dan kalajengking itu ke saku bagian belakang joknya. Sambil memperhatikan makeup-nya di spion dalam mobil, ia bergumam, "You look great, Babe!"

.......

Siang yang dinantikan itu tiba. Nadia tampak ceria karena sudah membuat janji dengan Aldo untuk bertemu kembali. Ia berencana mengajak Aldo hangout ke cafe saat jam istirahat kantor. Dengan suka cita, Aldo menerima ajakan itu. Itu akan menjadi pertemuan kembali keduanya setelah sebelumnya hanya saling bertegur sapa di telepon.

Keduanya lalu bertemu di tempat yang sudah ditentukan. Nadia sengaja parkir tidak jauh dari kantor Aldo agar mudah bagi Aldo mencarinya.

"Hello, Say!" sapa Aldo saat masuk ke mobil.

"Hi, Honey!" balas Nadia dengan penuh kehangatan.

"Ready to go?" sambungnya.

"With pleasure. Thanks for inviting me," jawabnya.

"No problem, Dear. Glad to see you again," ucapnya.

Saat bersamaan, Bang Udin terlihat sedang mangkal di sebuah halte dengan tampang murung. Sudah sebulan berlalu sejak sang istri menyampaikan perihal dana yang diperlukan kedua anaknya. Namun ia belum juga mampu memenuhinya. Ia juga tidak tahu apa solusinya selain berharap dari ngojek yang hasilnya hanya cukup untuk kebutuhan sahari-hari.

Kepada istrinya, ia minta ditalangi dulu jika masih menyimpan uang. Tak tega melihat Sani yang terancam tidak bisa ikut ujian praktikum dan akhir sekolah, Mpok Mineh menalangi dulu dengan uang dari hasil kerjanya pada keluarga Mukti. Tinggal study tour Dini lagi yang belum jelas nasibnya. Sementara waktunya tinggal satu bulan lagi sebelum pelaksanaan.

"Dari mane duit buat tu bocah-bocah? Hasil dari ngojek gak seberape. Cume cukup buat sehari-hari doang. Masih untung Mineh udeh mau nombokin buat si Sani. Tinggal si Dini lagi nih. Aye harus bilang ape lagi ke Mineh. Pusing mikirinnye," gumamnya.

Di saat genting itu, suatu yang tidak terduga terjadi. Bak dejavu, kejadian itu terulang kembali. Kondisinya persis seperti waktu itu. Di tengah lalu lintas yang padat merayap, mobil sedan putih itu berjalan tersendat-sendat di antara banyak kendaraan. Di dalamnya seorang wanita bersama seorang pria seperti sedang asyik bercengkerama.

"Busyet dah! Nyonye Mukti kepergok lagi jalan same laki-laki. Kayaknye orang yang same waktu itu. Udeh kagak saleh lagi dah kalo begini. Mau berkelit gimane lagi," ungkapnya.

Menyaksikan hal yang sama dua kali, terlintas ide liar di kepalanya seraya bergumam, "Ape mungkin aye bise ngelakuin itu?"

"Kalo udeh kepepet begini, ape sih yang gak mungkin," ujarnya sambil menatap mobil itu hilang dari penglihatannya.

.........

Siang itu, Herman mendapat tugas dari Tuan Mukti. Ia diminta mendatangi kembali pom bensin yang sama waktu itu. Ia disuruh menyerahkan sebuah tas ke seseorang yang sudah menunggu di tempat itu. Tas kerja kulit warna hitam itu memiliki perangkat keamanan berupa kode tiga angka di sisi depannya yang hanya diketahui pemiliknya.

Pernah kesana sebelumnya membuatnya tidak kesulitan datang kembali. Tak lama setelah parkir, seorang pria mendekati mobil. Ia mengetuk kaca lalu masuk. Tanpa berkata-kata, Herman langsung memberikan tas itu padanya. Si pria yang tak lain orang yang sama dengan waktu itu, berterima kasih padanya lalu bergegas turun.

"Sebentar," kata Herman sambil memfoto si pria dengan kamera digital sesuai perintah tuannya.

Selesai menunaikan tugasnya, Herman segera meninggalkan tempat itu dan kembali ke kantor. Di malam sebelumnya, Tuan Mukti telah dihubungi kembali si makelar selang seminggu sejak pertemuan pertama di mobil. Ia menyatakan setuju untuk bekerja sama. Si makelar lalu memberinya instruksi.

Sesuai prosedur, ia kemudian diminta menyiapkan sejumlah uang sebagai DP bagi proyek yang akan mereka garap. Penyerahan uang itu dilakukan keesokan harinya. Sisanya akan dilunasi setelah pengumuman resmi pemilihan legislatif keluar. Meski sadar akan risiko besar hal itu, Tuan Mukti seolah tidak peduli. Ambisinya terhadap kekuasaan politik benar-benar telah merasuki dirinya.

.......

Sudah dua kali Bang Udin secara tak sengaja menjadi saksi mata perselingkuhan Nyonya Mukti. Jika saja datang kesempatan ketiga, ia tidak akan menyia-nyiakannya lagi. Berbekal secuil info dari Mpok Mineh tentang alamat kantor asuransi si laki-laki, ia lalu survei dan mereka-reka rute yang mungkin dilewati Nyonya.

Hari-hari berlalu. Apa yang ia tunggu belum juga muncul. Hingga suatu hari, penantiannya membuahkan hasil. Di waktu dan rute yang persis sama, mobil sedan putih itu melintas lagi dalam kondisi jalan yang cukup ramai. Di dalamnya kembali terlihat Nyonya dan selingkuhannya berdua-duaan.

Dengan cekatan, Bang Udin langsung naik dan memacu motor bebek jadulnya. Dengan sangat hati-hati dan penuh konsentrasi, ia membuntuti mobil sedan itu. Ia berusaha mempertahankan jaraknya agar tidak ketinggalan dan kehilangan jejak. Ia hanya berharap mobil itu tidak masuk tol. Sekali saja masuk tol, gagal sudah rencananya.

Selang berapa menit, mobil itu berbelok ke sebuah mal. Melihat hal itu, hatinya lega. Pengintaiannya berjalan dengan baik hingga sejauh itu. Ia pun buru-buru memarkir motornya dan terlihat mengambil sesuatu dari dalam bagasi motor. Sebuah tustel yang sudah dipersiapkannya, dimasukkan ke dalam saku jaketnya.

Bergegas ke area parkir mobil di mal tersebut, ia tidak mendapati target yang dicari. Mencoba tetap tenang, insting menuntunnya untuk berjalan menuju pintu masuk mal. Bak elang yang sedang mengintai mangsanya, ia mengamati keadaaan sekitarnya dengan saksama dan cermat. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, target berhasil terlihat. Perasaannya kembali lega. Penguntitan kembali ia lanjutkan.

Bagai sepasang kekasih, keduanya terlihat mesra berjalan sambil bergandengan tangan. Dengan langkah hati-hati, ia menguntit erat keduanya sampai ke tujuan yang mereka kehendaki. Tak mau ambil risiko dan dicurigai, ia benar-benar harus sabar menunggu saat yang tepat untuk memfoto mereka.

Menyadari tustel yang dipakainya memiliki keterbatasan dalam hal jarak, ia harus memastikan agar obyek foto berada dalam jarak ideal dan keadaan statis. Dengan begitu hasil foto yang diperoleh akan jelas dan tajam.

Kesempatan itu tiba saat keduanya sampai di food court. Namun bukan perkara mudah mengambil foto pada jarak yang agak dekat tanpa menimbulkan kecurigaan. Semua harus dilakukan dengan cepat dan singkat. Selain itu, ia harus memastikan setiap jepretan foto yang diambil bisa bagus hasilnya sebab satu roll film hanya berisi 36 frame saja.

Selesai makan, keduanya kembali dikuntit dan beberapa kali difoto saat sedang melihat dan membeli barang. Hingga kembali ke mobil, keduanya sama sekali tidak menyadari telah dilakukan penguntitan dan pengambilan foto selama mereka berada di mal itu. Setelah melewati rentetan momen yang mendebarkan, Bang Udin menghela napasnya dalam-dalam seraya berkata, "Gak nyangke aye. Selesai juge nih perburuan."

.......

Sebuah taksi yang sudah dipesan, datang dan berhenti di depan tempat Herman berdiri sambil melambaikan tangan. Ia lalu bergegas masuk mengambil sebuah koper yang sudah dipersiapkan di teras depan. Tuan Mukti kemudian keluar dari rumah menuju taksi.

Sambil membukakan pintu taksi, Herman berkata, "Selamat jalan, Tuan."

"Kamu boleh pulang abis ini," balasnya.

Herman sengaja tidak disuruh mengantar tuannya ke bandara Jumat pagi itu. Seperti yang dijadwalkan, Tuan Mukti akan terbang ke Bali untuk mengikuti Musyawarah Nasional yang diadakan partai politik yang ia ikuti selama dua hari. Sebagai caleg dari parpol tersebut, ia hadir dalam rangka pembekalan dan konsolidasi menjelang pemilu pertama di era reformasi.

Saat hendak pulang, Herman pamit ke Mpok Mineh yang masih mengerjakan tugasnya.

"Lu pulang sekarang, Man?" tanyanya.

"Iye, Mpok. Tadi Tuan bilang gitu ," jawabnya.

"Ade yang mau aye sampein tapi kagak enak bilangnye," katanya.

"Ceritein aje, Mpok. Gak useh malu-malu. Kite kan udeh kayak keluarge sendiri," sahutnya.

Mpok Mineh lalu menuturkan masalah keuangan yang sedang dialami keluarganya dan sangat berharap Herman bisa membantu. Merasa berutang budi pada Mpok Mineh dan bersimpati pada nasib Bang Udin yang terkena PHK, Herman tergerak hatinya untuk membantu. Menanggapi niat baik Herman itu, Mpok Mineh sangat berterima kasih dan akan selalu ingat kebaikannya padanya.

......

Sejak beberapa hari belakangan, Nadia tampak risau. Menerima sebuah amplop berisi empat lembar foto dirinya dengan Aldo, ia merasa shock berat. Sungguh tak percaya ada orang lain yang tahu hubungan rahasianya dengan Aldo. Ia jadi sangat khawatir jika hal itu sampai diketahui suaminya.

Di malam sebelumnya, sang suami pamit padanya karena hendak pergi ke Bali. Nadia tak terlalu ambil pusing dengan urusan suaminya itu selama ia bisa terus happy. Namun kiriman foto itu telah merusak ritme hidup yang ia nikmati selama ini. Fakta itu benar-benar membuatnya ketar-ketir. Ia bertanya-tanya siapa gerangan orang yang berani melakukan tindakan semacam itu padanya.

Selain foto, di dalam amplop itu juga terdapat secarik kertas bertuliskan, "Anda akan segera dihubungi lewat telepon siang atau sore. Pastikan anda berada di rumah!" Ia mengumpat habis aksi kurang ajar itu sehingga membuatnya geram, kesal, dan marah. Ia merasa dirinya telah dihina, direndahkan, dan dipermainkan.

Jumat di hari yang sama dengan sang suami berangkat ke Bali, panggilan telepon yang ditunggu-tunggu itu masuk. Dengan penuh harap dan cemas, Nadia mengangkatnya. Si penelepon sempat diam sejenak saat mendengar suara Nadia.

"Selamat siang. Apakah benar ini dengan Ibu Nadia Mukti?" ucapnya.

"Benar. Anda siapa?" sahutnya.

"Saya orang yang mengirim foto itu kepada anda," ungkapnya.

"Kenapa anda tega melakukan ini pada saya?" cecarnya.

"Saya tidak ingin menjadi polisi moral bagi anda. Saya hanyalah orang yang realistis dan oportunis dalam memandang hidup ini. Anggap saja kita dipertemukan oleh takdir meski kondisinya seperti ini," kilahnya.

"Apa mau anda?" tanyanya.

"Dengarkan baik-baik! Saya ingin sampaikan ini sekali saja. Jika tidak ingin hubungan gelap anda terbongkar, lakukan apa yang saya minta. Saya akan serahkan seluruh klise film yang ada jika anda menuruti kata-kata saya. Siapkan uang sepuluh juta cash. Bawa dan temui saya malam ini jam tujuh. Ini alamatnya. Sebaiknya anda catat agar tidak salah," jelasnya.

Selesai mendiktekan alamat, si penelepon melanjutkan, "Ada pertanyaan?"

"Dapatkan saya memegang semua yang anda katakan," tanyanya.

"Tentu saja. Saya ingatkan pada anda. Ini bukan gertakan. Anda harus berpikir ulang jika ingin mengabaikan permintaan ini. Hanya kerugian yang akan anda rasakan. Anda tentu tidak ingin nama baik suami anda rusak akibat ulah anda dan keluarga anda berantakan karena masalah ini. Ingat jangan libatkan siapapun! Jangan coba-coba melapor dan mencari bantuan! Mengerti!" ancamnya.

"Mengerti," tukasnya.

"Baik. Jika tidak ada lagi pertanyaan, saya ucapkan terima kasih. Sampai jumpa nanti malam," pungkasnya.

.....

Herman masih merasa heran dengan gerak-gerik Nyonya hari itu. Saat menyetir mobil sedan putih Jumat malam itu, pikirannya menerawang kemana-mana. Tanpa disangka, siang itu ia disatroni satpam perumahan tempat keluarga Mukti tinggal. Ia diminta datang ke rumah oleh Nyonya sementara paginya baru saja Tuan membolehkannya pulang. Ia bertanya-tanya ada apa gerangan sehingga ia mendadak dipanggil Nyonya.

Saat datang, ia langsung disodori selembar kertas bertuliskan sebuah alamat. Nyonya langsung bertanya dan memintanya untuk diantar ke alamat itu. Sebagai seorang suruhan, mustahil baginya balik bertanya tentang keperluan sang majikan karena jelas itu bukan urusannya. Tugasnya hanya mengantar saja tanpa harus tahu apa yang akan diperbuat Nyonya.

Di jok belakang, Nadia tampak termenung dan murung. Sesaat setelah telepon itu diakhiri, ia menyadari tak mungkin baginya menolak kemauan si pelaku pemerasan. Baginya uang tebusan yang diminta itu tidak seberapa tapi hubungannya dengan Aldo jauh lebih ia khawatirkan. Namun ia harus mengesampingkan dulu masalahnya dengan Aldo sementara waktu dan segera menyelesaikan urusannya dengan si pemeras.

Menyetir di jalanan yang padat merayap oleh kendaraan orang-orang yang pulang kerja, Herman tampak memperhatikan kembali alamat di kertas itu. Beberapa saat kemudian, mobil melaju di jalan yang lebih lengang dan sepi. Seakan memberi tanda hampir sampai ke tempat tujuan, ia memperlambat laju mobil.

"Apa kita sudah dekat?" tanyanya.

"Tinggal satu belokan lagi, Nya," ujarnya.

Mobil lalu berhenti. Di bawah rintik hujan yang masih menetes, keduanya keluar dari mobil dan berganti posisi. Sesaat sebelum mengemudikan mobil, Nadia berpesan, "Man, ingat! Kamu tetap di dalam mobil sampai urusan saya selesai dan kembali ke mobil. Jelas!"

"Jelas, Nya," timpalnya.

.......

Di ujung jalan itu terdapat sebuah halte yang tidak terawat. Di bawah temaram penerangan lampu jalan, tampak seseorang memakai jas hujan ponco sedang duduk sambil sesekali melihat sekelilingnya.

Menjejakkan kakinya di jalan yang masih basah bekas hujan, Nadia berjalan mendekati orang itu. Kebetulan tidak ada orang lain saat itu sehingga membuatnya berkesimpulan ia adalah orang yang dicari. Dengan sigap, orang itu segera berdiri seolah menyambut kedatangan Nadia.

"Terima kasih sudah datang," sapa si pria yang sebagian wajahnya tertutup oleh saputangan.

"Bawa uangnya?" ucanya to the point.

Tanpa menjawab, Nadia menyodorkan sebuah kantong plastik pada pria itu. Dengan spontan, si pria mengulurkan sebuah map plastik dan hendak menukarnya dengan kantong milik Nadia seraya berkata, "Semua klise ada di dalam. Tidak ada foto yang dicuci kecuali yang sudah dikirim ke anda."

Di saat bersamaan, Herman mengamati apa yang sedang dilakukan Nyonya dari balik jok depan mobil. Ia bertanya-tanya untuk apa Nyonya menemui orang itu di tempat sepi di malam seperti itu.

Masih dalam kebingungannya, sesaat pandangan matanya tertuju pada sesuatu di bawah jok pengemudi. Dalam keremangan, benda itu seakan berubah menjadi sesuatu yang menakutkan baginya. Sontak rasa takut menguasai dirinya dan membuatnya lupa seketika akan pesan Nyonya.

"Ular!!!" teriaknya sambil menghambur keluar dari mobil.

Herman tidak tahu jika benda itu sebenarnya hanyalah mainan milik Radit yang biasa dimainkan saat dalam perjalanan pulang pergi sekolah dan ditaruh di mobil selama ini.

Menyadari gelagat kehadiran orang lain, si pria sontak bereaksi sambil mengutuk, "Sudah saya bilang jangan ada orang lain. Kesepakatan batal!"

"Serahkan foto itu!" serunya sambil berusaha merebut map plastik dari tangan si pria.

Si pria yang hendak kabur, menahan kuat map itu dari serobotan Nadia. Saat pergulatan itu terjadi, Nadia yang oleng terperosok ke pinggir jalan karena kondisi jalan yang licin dan masih basah bekas hujan. Ia jatuh dengan kepala membentur besi pembatas tepi jalan.

Si pria terperangah melihat Nadia terjatuh dengan tubuh terbujur kaku di tanah. Saat hendak beranjak pergi, pria itu diserang Herman dari belakang dan berhasil menarik saputangannya. Saat wajahnya terbuka, keduanya sama-sama terperanjat dan melongo.

"Elu, Bang!" serunya.

"Kenape lu ada disini, Man?" umpatnya.

"Aduh, sial! Ini Nyonye kenape, Bang? Kok kagak gerak gini?" tanyanya panik.

"Man, lu tenang dulu. Biar aye liat dulu," ujarnya sambil memeriksa nadi Nadia.

"Nadi leher same pergelangannye masih berdenyut. Itu artinye Nyonye masih hidup. Cume pingsan doang. Sekarang cepet lu bawa Nyonye ke rumah sakit," sarannya sambil mengangkat tubuhnya bersama Herman ke dalam mobil.

Sesaat hendak berangkat, Bang Udin berpesan pada Herman. "Man, aye minta lu rahasiain peristiwe ini ye. Anggep aje kayak gak terjadi ape-ape. Tolong ye, Man! Aye bener-bener minta tolong same lu."

Seperti tidak hirau dengan Bang Udin, Herman bergegas pergi memacu mobil dan tampak jelas lebih peduli pada kondisi Nyonya. Sesaat setelah Herman pergi, Bang Udin menggerutu. "Kacau semue gare-gare Herman. Kenape die tibe-tibe muncul? Bener-bener di luar perkiraan. Herman, Herman! Mau untung malah buntung. Apes banget dah nasib aye."

Pasca peristiwa itu, Bang Udin begitu cemas dan was-was dengan apa yang akan terjadi padanya. Setelah semua upaya yang ditempuhnya berjalan lancar, ia cukup yakin jika rencana di Jumat malam itu juga akan berhasil. Namun perkiraan itu tenyata meleset. Padahal tinggal selangkah lagi baginya memperoleh apa yang ia inginkan.

Ia tak percaya semua rencananya berantakan karena ulah Herman. Ia tak habis pikir mengapa Nyonya melibatkan Herman. Kenapa juga Herman keluar dari mobil? Apakah itu perintah Nyonya? Ia tak yakin jika Herman disuruh Nyonya untuk menangkap dirinya. Betapa konyolnya jika Nyonya memerintahkan hal itu padanya. Padahal apalah artinya uang sepuluh juta bagi Nyonya. Ia sungguh tak mengerti mengapa semua itu terjadi.

Nasibnya kini seakan ada di tangan Herman. Ia bertanya-tanya dapatkah Herman menjaga rahasia itu. Memikirkan itu membuatnya semakin kalut. Keadaan justru kian karut- marut. Bang Udin hanya bisa meratapi nasibnya yang makin sengkarut pasca tragedi nahas itu.

........

Mendapat kabar gawat perihal sang istri, Tuan Mukti membatalkan keikutsertaannya di acara yang telah dibuka Jumat sore itu. Malam itu juga ia terbang kembali ke Jakarta. Dengan suasana hati yang campur aduk, dari bandara ia langsung menuju rumah sakit tempat istrinya dirawat.

Tampak jelas kegusaran di wajahnya saat menyimak penjelasan dokter terkait kondisi sang istri yang mengalami benturan keras di kepalanya. Risiko gegar otak yang berdampak pada gangguan ingatan kemungkinan besar akan dialaminya. Sulit baginya menerima kenyataan pahit yang terjadi pada sang istri.

Saat bersamaan, berbagai pertanyaan berkelindan dalam benaknya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Meski Herman mengaku tidak tahu-menahu padanya, fakta berkata lain. Penuturan Mpok Mineh yang disuruh Nadia datang ke rumah untuk menemani Radit malam itu, membuktikan jika Herman ikut dengan Nadia. Herman lah orang pertama yang mengabari Mpok Mineh sesuatu telah terjadi pada Nadia. Dari sanalah muncul kecurigaan Tuan kepada Herman.

.......

Minggu pagi itu, sebuah peristiwa menghebohkan terjadi di perkampungan kumuh padat penduduk. Dari sebuah rumah, pihak berwenang mengamankan seorang pria yang tidak lain adalah Bang Udin. Tanpa perlawanan, ia menyerahkan diri dan dilepas haru-biru oleh istri dan anak-anaknya.

Penangkapan itu dilakukan setelah Herman buka suara perihal peristiwa malam itu. Di bawah tekanan, Herman tidak berdaya dan mengakui semuanya pada Tuan. Setelah penangkapan Bang Udin, Herman tidak lagi dipekerjakan Tuan.

"Oh, Tuhan! Ape yang udeh aye perbuat? Aye udeh membuat due keluarge menderite. Nyonye sekarang hilang ingatan sementare Bang Udin mendekam di penjare. Bahkan Mpok Mineh terpakse kehilangan pekerjaannye. Semue karene aye. Kagak ade maksud aye same sekali menyakiti mereka semue. Itu semue tidak sengaje dan diluar ingin aye. Mengape ini semue terjadi? Ape yang harus aye perbuat?" ratapnya.

Saat dibesuk Mpok Mineh di penjara, Bang Udin meratap pilu, "Maafin aye, Min! Aye nyesel banget udeh ngelakuin semue. Aye cume ingin memenuhi keperluan anak-anak kite. Gak ade maksud mau nyelakain Nyonye. Tapi Herman tibe-tibe muncul dan bikin aye panik. Waktu aye mau kabur, entah gimane Nyonye gak sengaje kepeleset dan kebentur kepalenye. Aye langsung nyuruh Herman bawa Nyonye ke rumah sakit. Aye juge bilang ke Herman supaye jangan cerite tentang kejadian itu."

Mendengar pengakuan sang suami, Mpok Mineh tertegun dan teringat suatu kali Bang Udin pernah bertanya padanya tentang si pegawai asuransi. Ia baru tersadar jika saat itu suaminya sedang merencanakan sesuatu pada Nyonya. Meski ia sangat menyesalkan aksi nekat yang berujung tragis itu, semua sudah tidak ada gunanya lagi. Ia hanya bisa pasrah menatap jalan nan curam dan terjal yang ada di hadapannya.

Kini proses hukum menanti Bang Udin. Ia didakwa dengan tuduhan pemerasan dan kekerasan dengan barang bukti berupa klise rol film yang ditemukan di rumahnya saat penggeledahan. Sulit baginya untuk mengelak dari fakta yang ada. Betapapun menyesalnya, ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

.......

Di tempat terpisah, Aldo begitu terkejut saat mendengar kabar perihal Nadia. Dengan segera ia datang berkunjung ke rumah sakit untuk menjenguknya. Sayangnya keinginannya itu tidak terwujud. Ia tidak diperkenankan masuk ke ruangan dimana Nadia berada dengan alasan pasien masih dalam perawatan intensif. Memahami hal tersebut, dengan berat hati ia segera melangkah pergi.

Dalam langkahnya, ia menyadari jika dirinya hanyalah selingan bagi Nadia yang sedang galau rumah tangganya. Sebagai seorang pragmatis, ia melihat kesempatan besar dan tidak menyia-nyiakannya. Ketika Nadia tidak menginginkannya lagi, ia pun harus merelakannya. Saatnya melanjutkan kembali hidupnya seperti semula.

Saat bayang-bayang Nadia terlintas di benaknya, hati kecilnya berkata, "Thanks for everything. I'm gonna miss you so much. Hope we'll meet again soon."

.......

Di ujung telepon, seorang pria sedang bicara. "Selamat, Pak Mukti! Anda berhasil melenggang ke Senayan. Sesuai perjanjian awal, kami mohon Bapak datang kembali ke tempat waktu itu membawa sisa fee yang sudah disepakati besok jam delapan malam. Bisa ya, Pak?" pintanya.

"Terima kasih sebelumnya saya ucapkan. Saya sangat menghargai bantuan anda dalam hal ini. Jangan khawatir! Saya akan penuhi apa yang sudah kita sepakati. Sampai jumpa besok," ujarnya.

Tuan Mukti duduk termenung di taman belakang rumah barunya yang belum sebulan ditempati. Berusaha melupakan kenangan buruk yang menimpa istrinya, ia memutuskan pindah rumah. Bak air dan api, urusan pekerjaan dan rumah tangganya membawanya pada suasana suka dan duka di waktu yang bersamaan.

Setelah mengetahui hubungan gelap sang istri, ia merasa begitu gundah gulana. Kecewa, marah, dan merasa dikhianati meliputi dirinya. Di sisi lain, kondisi sang istri yang dinyatakan amnesia permanen oleh tim dokter, membuatnya jadi iba meski itu akibat ulah sang istri sendiri. Sebuah kondisi yang dilematis baginya.

Sang anak tunggalnya lah yang menjadi alasannya bertahan di tengah gejolak hebat dalam dirinya untuk berpisah setelah perselingkuhan itu terkuak. Walaupun berat, ia akan bertahan setidaknya hingga pelantikan dirinya sebagai anggota legislatif terlaksana. Ia tak tega setiap kali Radit bertanya padanya perihal ibunya. "Mama kenapa, Pa?"

(SELESAI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun