Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cara Terbaik Menipu Tuhan

3 Juli 2015   21:11 Diperbarui: 3 Juli 2015   21:11 1428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

(Sebuah perenungan pribadi yang dibuat ketika masih menggunakan akun medsos ‘Pemimpin Bayangan’. Beberapa data diambil dari Harian Kompas era terakhir pemerintahan SBY-Budiono.).

Judul yang lumayan kontroversi dan mengundang emosi. Begitu juga isinya sebab dalam posting ini saya selipkan pula secuil konsep sederhana untuk mampu memberi sedekah sebesar minimal seratus juta rupiah perhari –dan mendapatkan sejumlah yang sama untuk si pemberi sedekah- hanya dengan satu kali meng-klik sebuah tombol di layar komputer, hingga tak ada lagi alasan untuk kita sibuk menghabiskan begitu banyak waktu, tenaga serta pikiran hanya demi mencari satu-dua dolar rejeki bagi kemaslahatan dapur keluarga tanpa sempat berbagi kepada sesama: dengan cara yang amat sederhana.

 Atau bagaimana caranya mampu mengajari bocah kecil kita yang masih berusia TK/PAUD, yang memang merupakan permata hati belahan jiwa bagi masing-masing keluarga, untuk mampu mengguncangkan dunia pendidikan dengan bermatimatika hingga setara siswa kelas 6 SD, berbahasa Inggris jauh lebih fasih serta mumpuni dibandingkan mereka yang di jenjang SMP, serta banyak lagi kemampuan lainnya yang ternyata dapat dikuasai oleh bocah-bocah cilik itu: Hanya dengan belajar satu jam sehari selama kurun waktu yang tak lebih dari 1 tahun, tanpa perlu direpotkan dengan segala macam biaya ini serta itu yang kerap membuat lemas para ibu juga ayah sebelum si kecil itu benar-benar memulai pengenalan dirinya terhadap dunia.. juga masih dengan cara yang amat sederhana.

Atau bagaimana caranya mampu memiliki sebuah pulau di Indonesia dalam waktu yang amat (relatif) singkat, serta menjadikannya sebagai ‘Pulau Peradaban’ yang jauh lebih keren dari sekedar Silicon Valley yang katanya gemar menjadi basis bagi inovasi teknologi dunia. Sebuah Pulau Peradaban milik kita sendiri, dengan masing-masing penghuninya yang terus me-leverage komunitas secara virtual hingga titik yang paling maksimal, seraya melulu meluncurkan bukan inovasi atau inventori alias penemuan baru yang mumpuni karena hal itu memang hanya bisa terjadi dalam level yang lebih kemudian lagi, melainkan sekedar kiat praktis serta tips juga trik tentang bagaimana memanfaatkan segala sesuatu yang telah ada dan tersedia dengan amat berlimpahnya di sekitar kita dan dunia secara umum, dan merubahnya menjadi sesuatu yang memiliki nilai serta manfaat yang jelas-jelas amat tak sederhana dan begitu saja, yang semuanya masih juga dengan cara yang amat sederhana.

 Atau bagaimana caranya kita mampu, walau cuma merubah diri yang seringkali terasa begitu tak berarti, hingga menjelma sosok yang jauh lebih baik atau sekedar pribadi yang jauh lebih berisi –dengan atau tanpa intrik- sambil diam-diam terus berusaha menipu Tuhan dengan cara dan metode tertentu, hingga akhirnya berhasil menyelundup ke dalam golongan mereka yang diberi rahmat serta maghfiroh yang melaut luas dari Allah... yang entah kenapa kesemuanya masih saja, lagi-lagi, dengan cara yang benar-benar teramat sederhana.

 Serta banyak lagi yang lainnya, yang kian membuat saya yakin bahwa judul dan isi dari posting ini memang lumayan kontroversi dan mengundang emosi. Tapi saya jamin insya Allah tak ada yang melenceng dalam postingan ini, walau memang saya prediksi akan cukup mengundang reaksi dari yang benar-benar membacanya. Begini ceritanya...^_

Suatu kali, seorang teman medsos bertanya melalui komentar di posting panjang saya yang berjudul: Dari Hujan ke Hujan,

 “Sebenarnya ‘Pemimpin Bayangan’ ini siapa, yah...?”

Sebuah pertanyaan yang beberapa waktu kemudian menyeret saya untuk berlelah-lelah lagi menelusuri jalan panjang kenangan yang pernah saya miliki, sehelai waktu yang harusnya telah menjadi basi karena hanya berisi muara segala peristiwa yang memang telah berlalu itu.

Dan terdamparlah saya pada berbagai kejadian yang... ternyata memang agak tak biasa jika dibandingkan dengan yang pernah dialami oleh sebagian besar sosok yang pernah saya kenal.

Sebagian orang menyebut saya pujangga, barangkali karena mereka pernah membaca puisi-puisi gagal (juga cerpen, memoar serta opini) yang pernah saya produksi dengan gaya slebor nan urakan itu, yang entah mengapa masih saja ada yang menganggapnya sebagai ‘masterpieces’...^_

 Sebagian yang lain dengan pedenya memfitnah saya sebagai ‘Si Penggila Tuhan’ yang tak pernah absen menghidupkan malam. Sementara orang-orang yang berbeda menganggap saya sebagai seorang ‘tukang sihir dengan susuk di lidah’ karena -katanya- seringkali saya menghipnotis mereka untuk melakukan apapun yang saya inginkan, hanya dengan menggunakan sedikit metafor juga kata, bahkan (masih kata mereka) tak jarang tanpa perlu saya repot untuk berkata-kata.

 Bahkan pernah foto diri saya ‘beredar dikalangan tertentu’ karena dianggap sebagai orang yang pantas untuk ‘dibereskan’...!!!

Mungkin karena status mahasiswa saya. Atau bisa jadi karena saya pernah terlalu lantang berteriak tentang hitam yang memang sejatinya hitam. Atau putih... yang ternyata tak lebih cuma merah pekat dengan aroma kebusukan yang amat sangit! Walau cukup banyak juga yang mengenal saya sebagai sosok ramah dan menyenangkan, yang tentu saja tetap tak pernah bisa membuat saya sepaham dengan mereka...^_

Tapi dengan semua testimoni yang amat riuh itu, anehnya,  tetap saja saya tak mampu untuk menjawab tanya sederhana dari teman tersebut, tentang siapakah diri saya sebenarnya, selain terus mengulang kalimat membosankan yang masih itu-itu melulu.

aku ada, tapi siapakah aku dalam hidupku...?

dan benarkah aku tanpa aku

tak lagi aku...?

melainkan sekedar kumpulan busuk dari meracau, mengacau

yang lalu dengan kesombongan yang teramat pasti

bersembunyi

dalam lubang bayang-bayang yang semakin terbang dan mengabu...?

Saya pernah nangkring dengan nyamannya di kampus kuning, yang katanya pernah menjadi kampus terbaik negeri ini... dengan gratis pula. (yang setelahnya saya menduga anak cucu saya tentu tak akan semudah itu untuk dapat merasakan hal yang sama memasuki kampus tersebut, buah pilot project 4 kampus negeri tatkala masa awal menjadi BHMN, yang semakin kemari semakin tak teraba uang masuknya tersebut). Tapi sayangnya itu saja tak cukup untuk menjelaskan tentang siapa saya sebenarnya.

Pernah juga saya didapuk untuk menjadi kepala suku dalam sebuah pabrik kecil yang model sejenisnya begitu banyak bertebaran di wilayah Purbalingga-Jawa Tengah dan sekitarnya, yang akhirnya dengan sangat masygul saya tinggalkan karena besar dugaan saya sistem yang ada dan diterapkan oleh konspirasi kapitalisme lokal, nyata-nyata mengarah kepada ‘Cara Tercepat Menghancurkan Umat’. Baik secara agama maupun sosial-kemasyarakatan. Dengan wanita sebagai obyek utama yang secara tak sadar menjadi target untuk pertama kali dihancurkan, hanya dengan embel-embel yang -sedihnya- dihargai cukup dengan satu atau dua dolar saja untuk durasi kerja yang nyaris 15 jam perhari!

 Atau ketika dengan penuh bingung saya masuki dunia kerja pasca sekolah sebagai tukang sapu, tak peduli berapa tinggi nilai akademik saya atau berapa rendahnya nilai harga diri dan kehormatan saya dalam kehidupan.

Dan setelah cukup banyak termenung-menung dalam keprihatinan, saya putuskan segera untuk menjabat dengan penuh khidmat sebagai direktur lembaga pendidikan, yang lantas dalam jangka beberapa masa ke depan menyulap  ‘laboratorium hidup’ itu hingga menjadi satu-satunya holding company yang bergerak di bidang pendidikan dan non pendidikan, termasuk di dalamnya sebuah bank ilegal, dengan omzet tabungan tak kurang dari dua ratus lima puluh juta rupiah! Tentu saja setelah sebelum dan sesudahnya saya cicipi pula segala macam jabatan dan profesi, mulai dari menjadi guru madrasah, buruh pabrik, tukang pasang tenda pernikahan serta sebagai tukang rongsok dengan rekan sejawat yang banyak bercerita tentang hidupnya, yang katanya telah menjadi seorang pencabut nyawa dan atau pemetik bunga wanita sejak usia remaja, serta banyak lagi kehidupan suram dunia marginal lainnya yang... tetap saja masih tak mampu menjawab tentang siapa sebenarnya diri saya, hingga menghasut saya untuk berpikir, bahwa pada suatu titik di alam semesta, mungkinkah saya ternyata tak lebih dari setitik debu, yang entah mengapa masih saja terus berpusing serta berkelindan kesana-kemari memaknai hari yang entah sampai kapan terus saja memuntahkan kekotoran zamannya...?

 Pernah terlintas dalam benak bahwa saya sebenarnya tak lebih dari Si Kere Berjiwa Bangsawan, seperti yang pernah diucapkan seorang teman aneh saya dulu, karena pada kenyataannya saya memang seringkali terlalu kreatif menyiasati ini dan itu demi yg diingini menjadi, demi angan yang tak lantas hendak cuma sekedar ingin, demi harapan yang sejatinya memang selalu saya upayakan mati-matian untuk sebisa mungkin menjadi kenyataan. Walau dengan waktu dan cara yang amat tak biasa. Walau dengan waktu dan cara yang tak pernah begitu saja. Bukankah kreatif itu sendiri adalah akronim dari Kere Aktif...?

 Tapi benarkah saya kere, mengingat betapa amat kerapnya saya beroleh rejeki dari Allah untuk mampu walau sekedar makan, dimanapun... dan juga milik siapapun. Menghisap rokok siapapun, menyeruput kopi siapapun, naik turun kendaraan pribadi plus ajakan untuk tinggal di rumah manapun yang saya inginkan, tanpa saya perlu berlelah-lelah lobby kanan-kiri atau menyunat sebagian isi kantung celana saya yang memang cukup sering bolong itu...?

 Barangkali justru saya adalah Si Bangsawan Berjiwa Kere mengingat gaya hidup saya yang terlalu ngasal dan cenderung bohemian. Tak peduli berapa digit nominal yang tertera di rekening saya. Juga tak peduli apakah passive income saya lebih dari cukup untuk nikah ala kampung berkali-kali sebanyak yang saya kehendaki atau justru berjumlah cuma segini. Hingga suatu saat, sebuah badai besar yang saya beri nama ‘Black Moment’ membisiki saya sebuah kepahaman tentang siapa sebenarnya diri saya.

 Hidup dimulai saat usia 40 tahun, begitu yang kerap saya dengar dari kaum cerdik-bijak, yang kuat dugaan saya teori tersebut merujuk kepada usia pengangkatan Muhammad Sang Sosok Utama kala ditasbihkan menjadi khotamul anbiya.

Tapi buat saya, hidup terasa benar-benar dimulai sejak usia yang amat belia. Bahkan mungkin saat saya masih belum mampu buang air kecil dengan sempurna dan leluasa.

 Sebuah masa yang cukup menggairahkan buat saya saat itu, selain urusan wanita tentu saja. Sebab jika tentang makhluk lembut itu, sekali lagi, seribu guru tetap tak cukup untuk saya dapat memahami mereka dengan sangat qath’i...^_

 Sebagai seorang anak muda dengan status administrasi resmi ‘tidak pernah sekolah formal’, tentu saja passive income saya yang tak kurang dari empat ribu dolar perbulan (dengan kurs Rp. 10.000,-/dolar pada tahun 2000 lebih sekian, Red) tanpa saya perlu repot bekerja banting-banting tulang memahat penat, serta kedudukan yang lumayan prestise sebagai dirut di sebuah ‘holding company’, sudah lebih dari cukup untuk membuat saya melanggengkan syukur ke hadirat Ilahi Robbi, atas segala karunia yang telah sempat mampir ke diri ini. Terutama ketika semua itu berhasil saya peroleh buah dari bergenggam benih harapan yang terus saya paksa untuk dapat tumbuh dan semakin subur. Benar-benar hanya bersandarkan kepada janji yang memang tertera dalam deretan kalimat suci,

“...Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sebelum kaum tersebut merubah nasibnya sendiri...”

Serta,

“...Fa idza azzamta, fatawaqqal ‘alallah, innallaha yuhibbul mutawaqqilin...”

 Hanya saja ternyata semua bukanlah akhir dari sebuah episode, melainkan justru fragmen pembuka dari rentetan panjang hidup yang penuh kelok dan liku, yang bahkan hingga hari inipun saya masih sukar untuk sepenuhnya memahami makna dan hakikatnya.

 Beberapa saat sebelum saya benar-benar mengumpulkan 6.000 copy KTP pemenuh syarat mencalonkan diri sebagai caleg dari jalur independen non partai, Allah mengambil segala yang telah Dia titipkan kepada saya. Menyisakan hanya saya.  Cuma saya, dalam diam yang benar-benar panjang serta ketermanguan yang amat kental dengan aroma kesuraman.

Bertubi-tubi instrospeksi lantas saja menghampiri.

sayakah makhluk yang tidak amanat,

yang gemar khianat,

hingga segala nikmat,

dengan amat sangat,

dicabut,

menyisakan begitu banyak sendu, sekat juga sendat,

dalam hari-hari yang seperti tiba-tiba saja terasa begitu pekat juga laknat,

Sering pula saya mempertanyakan ulang.

apakah semua teguran dari-Nya

atau justru saya menguji diri sendiri

dengan tegur-sapa Sang Dia

atas keimanan yang hanya sekurus lidi

yang cuma saya miliki

yang entah kenapa terasa amat sukar untuk bertambah lagi

Sebagai seorang ‘tukang parkir’, amat nyata bahwa se-‘putih’ apapun saya, tetap saja saya belum mampu untuk menjadi tukang parkir yang baik. Karena ketika Sang Pemilik mengambil titipan-Nya, saya tetap merasa terluka. Atau setidaknya merasa berduka. Bahkan untuk masa yang cukup lama saya menjelma seonggok karung basah yang tak mampu bahkan untuk sekedar tegak walau sedikit. Seakan saya adalah sosok bebal yang tak pernah mengenal apa itu keikhlasan, atau karakter amat bodoh yang terus saja meributkan esensi dari segala yang telah terjadi.

 “Sebenarnya ini semua ujian atau teguran...???!!!”

Seakan tak ada lagi hal lain yang lebih penting untuk ditanyakan dan terutama sekali: Dilaksanakan. Seakan cukup dengan bertanya maka hilanglah semua jelaga serta berdatanganlah segala yang indah pengganti dari semua, layaknya Ayyub yang kembali mendapatkan segalanya setelah kehilangan segalanya.

 “Alhamdulillah Allah masih sayang sama kamu, Bayangan, sehingga kamu diberi banyak uji serta coba oleh-Nya...”

Begitu ucap sosok mungil yang sorot matanya pernah membuat saya amat gelagapan di masa lalu itu, beberapa tahun kemudian pasca kejadian, yang selain menambah sekian strip kesadaran saya untuk lebih mengikhlaskan semua tanpa perlu berfokus pada dendam terhadap ‘sosok-sosok perantara’ yang turut menjadi sebab terjadinya Black Moment, juga menimbulkan sedikit perasaan geli pada watak saya yang memang dari sananya agak slebor itu, dengan menerbitkan sebuah tanya yang hingga kini masih saja tetap terasa aneh bagi diri dan hati saya,

 “Apakah dengan cara seperti ini Allah menunjukkan kasih sayang kepada hamba-Nya...?! Dengan cara sekeras juga setajam ini...???!”

Sebuah pertanyaan yang setelah terbit dalam hati tak pernah lagi saya usak-usik sebab bukan urusan saya apakah Allah ingin menunjukkan kasih sayang ataupun kemurkaan-Nya dengan cara bagaimana. Karena saya memang masih belum paham benarkah semua adalah kasih sayang-Nya...? (aamiin...) Atau justru (naudzubillah min dzalik) adalah kemurkaan-Nya...? Sebuah ke-belum paham-an yang mungkin akan tetap dan terus menjadi ketidak pahaman mutlak bagi segala keterbatasan logika yang memang saya punya ini, hingga beberapa waktu kemudian ada sosok lainnya yang tanpa sengaja berkata,

 “Ujian dari Allah. Teguran juga dari Allah. Jadi apa perlunya pusing-pusing dipikirkan sangat...? Dan kenapa pula tidak kita jalani saja dengan sebaik-baiknya serta penuh rasa khusnudzon...?”

 Tahukah kau siapa yang berbicara terakhir tadi? Bukan siapa-siapa. Cuma salah satu dari sekian banyak teman aneh saya yang masih tersisa. Sosok yang bahkan saya sendiripun tak berani menentukan hitam atau putihnya dia mengingat hitam yang terukir dengan sangat jelas di jidatnya saya tahu bukanlah akibat dari kejedot pintu berkali-kali pada tempat yang sama, melainkan buah dari gerak penghambaannya kepada Sang Pencipta yang saya yakin jauh lebih konsisten serta lebih intens dari saya. Sementara track record-nya sebagai penikmat tumbuhan pembius juga jelas lebih mumpuni dari seorang saya, yang alhamdulillah kabar terakhir yang  mampir ke ruang telinga bahwa dia telah amat jarang menkonsumsinya.

 Bahkan sosok yang seperti dia ternyata jauh lebih arif dalam menyikapi keadaan! Pun jika dibandingkan dengan saya, yang seketika memaksa saya menampar diri sendiri berkali-kali dengan hujat demi gugat buah keberagaman pengalaman saya yang masih saja belum berhasil menjadi guru.

 “Fabiayyi-aalaa irobbikumaa tukadzdziban...”

Dan nikmat Tuhanmu manakah yang dapat kamu dustakan...?

Benar-benar tak pernah ada yang sia-sia atas apapun yang terjadi dalam hidup, karena minimal akan diperoleh setetes hikmah, bagi orang-orang yang memang tak bosan untuk bertafakur serta meng-i’tibar-kannya.

Setelah lebih dari ribuan hari, mulai terungkap apa yang dulu pernah tak bisa saya singkap. Mulai tersibak segala yang kemarin pernah begitu gelap serta terus melindap. Atau sekedar mengkerlip kilap dari atas lanskap pikir saya yang gagap, yang memang telah amat lama tak lagi tegap serta mantap.

Satu persatu hikmah Black Moment terkuak, terbuka layaknya halaman sakti berisi kitab ramalan masa kemudian yang beriak-riak dengan amat gegap dan penuh riuh yang menggguruh melontarkan sasmita demi sasmitanya kepada saya.

Tersibaklah segala yang dulu menghalang juga memerangkap pandang dan nalar saya yang pernah diklaim sebagai ‘agak cerdas’ ini. Walau tak lantas setelah semuanya menjadi lebih terang, hidup kemudian menjadi lebih mudah, logis dan sederhana, misalnya. Karena memang tak akan pernah ada yang mudah, logis juga sederhana... jika itu tentang hidup!!!

Selalu riuh. Selalu rancu serta penuh liku, dengan warna abu yang mendominasi. Selalu... aneh. Juga tak biasa. Dan tak akan pernah bisa sama dengan yang lainnya.

 Sebuah nasehat embun dari Muhammad bin Abdullah kembali tampar-menampar di pipi saya.

“Sederhanakanlah, dan buatlah segalanya menjadi sederhana...”

Siapa sangka kalimat sederhana tentang sederhana itulah yang justru secara amat sederhana mengembalikan kesederhanaan berpikir saya, agar kembali memaknai semuanya dengan cara dan rasa yang jauh lebih sederhana, hingga segalanya dapat kembali menjadi sederhana, seperti asal dari segala sesuatu pada awalnya. Dan, adakah keindahan yang lebih utama, melebihi keindahan dalam kesederhanaan...?

Jelas saya bukan nabi. Karena saya terkadang masih suka menghirup satu-dua teguk kopi sambil sesekali membunuh diri dengan kepulan tembakau yang menimbulkan adiksi seraya duduk mencangking kaki tanpa melakukan satupun kebaikan yang terkesan pasti.

Jelas saya bukan nabi. Juga bukan keturunan langsung dari para manusia mulia itu, walau seringkali dalam banyak tulisan dengan pedenya saya menganggap beliau sebagai bapak saya.

Tentu saja bukan bapak biologis karena yang beruntung memiliki garis nasab itu adalah Si Tege teman aneh saya yang itunya gede karena memang dia asli produk tanah arab, yang kadang dengan konyolnya masih saja ada yang memirip-miripkan wajah sengak saya dengan raut tampannya. Melainkan bapak dalam ranah Udin sedunia... Maksud saya muslim sedunia. Karena seburuk-buruknya saya insya Allah masih tetap seorang muslim. Dan beliau adalah bapak orang muslim sedunia, yang tentu saja secara otomatis adalah bapak saya juga. Adakah yang berminat untuk membantahnya...?

 Jelas saya bukan nabi. Juga bukan syarif. Apalagi syarifah...^_ Tapi tak perlu secerdas Habibie untuk saya paham bahwa saya tentu saja amat mampu memiliki potensi untuk meng-kloning segala kelebihan beliau, bahkan walau hanya dengan mengandalkan segala keterbatasan saya sebagai makhluk paling o’on di muka bumi ini. Karena semua memang amat sederhana.

Cukup dengan saya telusuri lagi jejak beliau sebagai manusia sederhana, berkehidupan serta pemikiran dan tata laku yang juga sederhana, maka insya Allah jadilah semua. Walau memang ketika semua kesederhanaan itu saya maknai lagi melalui tadabbur pribadi yang kerap gagap juga amat terbata layaknya bocah TK membaca majalah bisnis misalnya –sesuai kapasitas nalar saya yang memang amat sangat terbatas dan terkadang nyaris idiot ini- siapa sangka bahwa segala kesederhanaan beliau ternyata amat tidak sederhana, jika dilihat dari rekam jejak beliau yang baru sebagian kecil berhasil saya lacak?

Dan menjadi kian tak sederhana saat, lagi-lagi, saya temui begitu banyak fondasi multi dimensi yang berhasil beliau tanamkan dengan amat anggun, yang berhasil beliau reka serta rupa tanpa perlu bersusah payah memaksa untuk terlebih dahulu terlihat sangat hebat dan sempurna di mata manusia. Karena pandangan manusia memang semestinya bukanlah tujuan utama, juga tak jarang bukan pula alat atau cara. Karena, yang saya tahu sepanjang ritme ke-muallaf-an saya yang tak juga pernah bisa untuk naik tingkat dan menjadi seorang ustadz ini, agama yang beliau tebarkan dengan welas asih dan penuh rahmat itu memang pertama kali dianggap sangat asing, yang kelak akan kembali menjadi Ghuroba... Wallahu a’lam.

 Dengan segala kesederhanaan itulah kemudian saya berusaha untuk bangkit kembali. Tentu saja setelah sebelumnya dengan amat tidak sederhana saya jalani hidup dengan penuh bingung pasca black moment. Bingung sebab apa saya terlempar dari zona nyaman yang telah susah payah saya bangun dan tegakkan itu. Bingung sebab setelah saya terhempas tanpa sempat mengambil napas dari gemerlap istana kapas saya yang terus terombang-ambing dalam badai jiwa buah cinta yang kerap dibaca noda itu, saya kembali terombang-ambing. Kali ini kehidupan sebagai subyek pelaku, yang tak henti menautkan saya dari satu kota ke lain tempat. Kebingungan yang kian bersublimasi rasa bingungnya sebab tak sekecappun saya temui pijar semburat matahari, atau sepercik kerlip pelangi dari begitu banyak sudut kota yang saya singgahi, selain sekedar sosok-sosok yang tak berhenti memaknai hari dengan sedih di dada sendiri… yang bahkan tanpa mereka sadari bahwa mereka tengah memaknai hari dengan cara yang amat sedih itu...!!!

 Apa yang salah dengan kehidupan...?! Apa yang salah dengan negeri ini...?!! Dan benarkah kita semua memang telah terlalu bodoh hingga tak lagi mampu, walau sekedar memaksimalkan potensi yang tersedia dengan begitu rayanya di sekitar kita...?!!! Tersedia dengan amat riuhnya dalam negeri yang memang sejak dulu kita buai lewat segala macam nyanyi surgawi? Tentang negeri dimana tongkat dan kayu bahkan menjelma tanaman kala kita lempar secara asal sambil bersandar saking suburnya. Begitu juga kekayaan lautnya. Atau migasnya. Udaranya. Dan sebagainya yang semakin membuat saya habis daya logis buah kenyataan yang terasa amat mensterilkan semangat ini.

 Dalam sebuah fragmen yang agak buram saya lihat deretan perempuan muda, tengah baya juga renta berbondong-bondong melewati liuk jalan mendaki dan menurun, curam juga sedikit terjal di beberapa titik -sambil menenteng obor sederhana- menuju tempat bekerja sebagai buruh pemetik bunga melati. Dan itu rutin mereka lakukan setiap hari sejak pagi buta pukul empat, dengan rupiah sebesar lima sampai delapan ribu perhari sebagai pembayarnya, yang kadang hingga menjelang pukul dua siang. Dan setelahnya, tentu pula memerlukan waktu hingga sore lagi untuk mereka tiba di rumah, dan kembali berjibaku dengan segala macam rutinitas sebagai ibu.

Sementara pada panil yang lainnya saya liat betapa banyak waktu terbuang dikalangan para petani, yang bekerja dalam hitungan ‘hingga beduk pacul’ alias sekitar pukul sepuluh pagi, baik untuk pemilik sawah dan terutama sekali bagi para buruh penggarap harian. Dan setelahnya... entah melakukan kegiatan produktif apalagi. Itupun dengan catatan mereka kreatif dalam mencari kegiatan, yang sayangnya jauh lebih banyak yang termakan situasi hingga banyak bersantai dan atau melakukan kegitan remeh-temeh lain setelahnya.

Hingga pada cuplikan selanjutnya kembali saya dibuat amat terheran-heran memaknai betapa sederhananya buah dan pola pikir mereka-mereka yang notabene adalah generasi penerus, yang dengan amat enteng menikah di bawah usia muda –tentu pula dengan dana dan segala persiapan dari orangtua- yang seketika menjadikan saya sosok ABG tua yang tak laku perawan dan segala macam yang berbau wanita...^_

 Dan segalanya lantas saja menjadikan saya disorientasi membaui lagi segala macam peradaban yang pernah saya temui di bangku sekolah juga di alam nyata.

Tentang apa sebenarnya semua ini? Dan benarkah hidup yang terhampar dengan amat sederhana di hadapan saya ini adalah yang terbaik? Sebagai salah satu cara terhebat mensikapi hidup yang memang cuma sekali... dengan amat arif juga sederhana? Dan bukannya memaknai dengan berbagai macam menara gading semu-palsu yang kerap saya singgahi dalam banyak episode di kota-kota besar? Atau masihkah perlu kita cari lagi pendekatan yang lebih sempurna tentang hidup? Tentang cara memaknai hidup? Juga tentang bagaimana menyelesaikan segala permasalahan hidup? Agar tak ada lagi penyesalan saat tak lagi hidup? Saat hidup yang baru harus mempertanggung jawabkan hidup yang sebelumnya? Saat...

“Kau kembalilah ke tempat asalmu, Bayangan, dan jalani lagi semuanya sebaik yang kau bisa… Karena memang tak akan pernah ada kehidupan yang sempurna... Karena yang ada memang cuma kehidupan... dengan atau tanpa angan...! ”

Sekali lagi, dari sosok aneh yang lainnya saya mendapat pencerahan. Figur senior yang saya kenal kesehariannya amat penuh serunai cahaya sejak mula muda, yang kini beralih rupa menjelma jelaga amat tak berharga buah duka yang dititipkan dunia kepadanya sejak kesalahan prosedural usia belia dulu.

 Seperti mencangking anak kucing tengkuk saya dicengkeram, dicecoki dengan segala ramuan ini dan itu tentang teknologi dasar berjejaring sosial, serta sejumput besar wanti-wanti untuk tak begitu serta begini, yang sayangnya kurang saya dengar dengan jelas sebab ada sesuatu yang jauh lebih menggairahkan buat saya waktu itu.

ah, teknologi ini! jejaring ini!

alangkah akrabnya dengan duniaku yang dulu itu...!

dengan duniaku yang terakhir kali

beberapa waktu sebelum hidup merampasnya dan menyisakan melulu cuma debu...

Saya tahu semuanya! Ucap saya deja vu dari masa dan tulisan yang dulu itu. Sebab saya memang nyaris tahu tentang semua hal.

 Lebih dari sepuluh tahun saya bersama tim aneh multi disiplin sosial mencetak lulusan paling kontroversial di dunia Pendidikan Anak Usia Dini, dengan segala macam TIU, TIK, SAP serta banyak lagi bahasa pendidikan lainnya yang saya terapkan, yang jelas-jelas amat tak umum seperti yang saya kutif dalam paragraf pembuka posting ini.

Ilegalkah yang saya lakukan mengingat tahap pencapaiannya yang melangit tinggi? Saya menjawabnya hanya dengan tersenyum, plus setumpuk berkas legatitas pendidikan formal lengkap dengan badan hukum serta sederet kutipan lainnya tentang kurikulum berciri khas yang memang cukup sakti untuk meladeni UU Sisdiknas yang manapun. Bahkan saya melakukannya tepat di depan hidung kantor Kasi Pendidikan setempat…!!!

 Dengan waktu yang relatif tak berbeda pula saya jalani semua prototipe bisnis ajaib yang telah saya jelaskan di atas itu, yang –sekali lagi- tak ada yang berani untuk menyatakan kelegalan dan atau keinformalannya.

Lantas bagaimana dengan peluang-peluang lain yang ada disekeliling kita?

Kembali saya terkekeh-kekeh layaknya figur aki-aki tua yang masih itu-itu juga, yang terlihat mabuk karena terlalu banyak menghirup nikmat teh tubruk, dengan janggut khayal sepanjang dengkul yang saling angguk kian kemari layaknya jentrat-jentrit penari jaipong.

 Betapa tidak? Semuanya hanya seperti ketika banyak orang culas yang menyiasati perbedaan kurs antara Bursa Efek Jakarta dengan Bursa Efek Surabaya, sebelum keduanya kemudian disatukan menjadi Bursa Efek Indonesia sebagai antisipasi yang amat terlambat dari semuanya. Memindahkan sejumlah besar mata uang dari tempat kedua ke tempat pertama, dan mendapatkan dividen haram dari selisih kedua tempat yang masih berada di Indonesia tersebut, untuk kemudian kembali ke titik awal dan mengulanginya lagi. Dengan atau tanpa subyek pelaku yang sah secara hukum. Dan besar dugaan saya bahwa keadaan itu dimanipulasi serta dipelihara dengan amat sangat oleh ‘tangan-tangan kekar yang tak terlihat tapi terendus itu’. Sebab bagaimana mungkin cacat sistem sejelas itu tak diketahui oleh ekonom-ekonom terbaik negeri ini sejak awal?  Apalagi menyangkut finansial. Alias uang. Bin duit. Yang terlihat amat aneh juga janggal sangat, bahkan oleh seorang gelandangan tak berpendidikan seperti saya sekalipun. Meraup dividen, tanpa perlu perduli serta dipusingkan dengan segala macam spread serta istilah-istilah perpialang-sahaman yang lain.

 Tapi dari dosa kolektif terencana itulah kemudian kita dapat mereplikanya, untuk seterusnya diterapkan pada lini usaha pada level yang lebih ke bawah, yang biasanya memang jauh lebih marginal, dalam semua arti.

 Tidak percaya? Silakan baca ulang memoar jilid 1 saya tentang bab ketika kita memindahkan sebagian kecil pasokan ikan Cakalang yang amat berlimpah di TPI Muara Baru ke Tangerang, yang jelas-jelas hanya berjarak kurang dari dua jam. Tentu saja lengkap dengan alokasi perkiraan dividennya yang sekitar lima ratus ribu rupiah perhari, yang artinya kita mendapatkan passive income bersih tak kurang dari 15 juta perbulan! Yang dalam bahasa saya, dapat membuat anda mampu untuk ‘nikah ala kampung’ setiap bulan sebanyak yang anda inginkan..^_

 Atau memindahkan benda dengan nama kumuh ‘PE Tikus’ dari wilayah Banten ke Semarang, dengan margin keuntungan tiap pengiriman satu truk seberat 6 ton tak kurang dari 15 juta rupiah, dengan maksimal pengiriman harian yang –dengan metode tertentu- dapat kau atur hingga 3 mobil ke atas, sesuai dengan kesigapanmu menguasai teknik lobby dan negosiasi di lapangan.

Dan tidak seperti banyak pertanyaan bertabur khawatir yang diajukan oleh rekan saya yang murni pemulung, saya menjamin bahwa bisnis ini dapat dijalankan untuk masa waktu yang nyaris abadi. Sebab saya tahu yang mereka tidak tahu. Sebab semua memang berhubungan dengan sebuah pabrik kertas yang bisa dikatakan sebagai yang terbesar di Indonesia, dengan masa panen bahan baku hanya 6 tahun berdasarkan keunggulan iklim. Sementara untuk pabrik yang sama di negara yang berbeda di barat sana, mereka butuh sekurang-kurangnya 40 tahun untuk memanen bahan baku yang serupa. Adakah negeri yang lebih kaya dari negeri ini? Dari Indonesia? Dan hampir pada semua segi kehidupan?

 “Dari Banten ke Semarang terlalu jauh, Bayangan...” begitu mungkin keluh seseorang entah siapa, karena barangkali dia memang sosok-sosok manusia Indonesia yang amat pemalas serta jauh dari bau-bau kreatif sedikitpun. Sebab dengan sedikit liukan saya tahu pula bahwa tak perlu jauh-jauh menggotong benda kumuh nan berduit itu ke Semarang segala macam. Karena bahkan masih di Banten yang sama hal itu dapat pula berlaku. Jadi... mengapa pula mesti dipusingi dengan pengeluaran dan atau segala rupa pemikiran yang tak berguna itu...?!!!

 “Bagaimana dengan lini usaha yang lebih ke bawah, Bayangan? Dengan kultur yang amat jauh berbeda seperti di desa nenek saya, misalnya...?”

 Lagi-lagi tanya menyebalkan itu yang justru terlontar dari sosok-sosok yang seharusnya mampu untuk menjadi teladan. Setidaknya teladan bagi keluarga dan bagi dirinya sendiri. Sebab sejatinya memang tak ada yang berbeda dalam dunia usaha. Bahkan juga dalam dunia-dunia lainnya yang pernah dikenal oleh manusia. Karena memang tak akan pernah ada sesuatu yang benar-benar baru... di bawah matahari kita!

 Cukup dengan menjentikkan jari ke hidung saya ajak kau ke banyak desa, dimana harga sekam (kulit padi, bahan pembakar batu bata dan sebagainya, Red) yang cuma dihargai lima ribu rupiah perkarung besar itu, seketika naik tiga kali lipat nilainya jika kau pindahkan ke desa tetangga yang merupakan sentra produksi Kelanting (sejenis penganan cemilan khas daerah, Red) yang berjarak sekitar 2 jam.

Atau bagaimana membudi-daya ayam pedaging dan atau lele sangkuriang yang memang menyerap modal tidak sedikit itu... dengan tanpa mengeluarkan modal sama sekali! Yang setelahnya, silakan bernyaman-nyaman meresapi jerih payah dari dua agrobisnis kerakyatan tersebut, karena memang keduanya di-setting untuk bisa panen perbulan. Pada beberapa kreativitas bahkan bisa dipanen hanya dalam tempo sepuluh hari saja. What a wonderful life…!!!

 Masih dengan pendekatan sederhana yang sama kita dapat memindahkan beberapa kwintal jagung ke daerah yang berada sedikit lebih ke Timur, dengan selisih minimal 500 rupiah perkilogram dikalikan sekian kuintal maka jelas nyonya di rumah tak akan banyak mendesah seberapa lamapun kita habiskan waktu dengan hanya berleyeh-leyeh.

Masih kurang banyak? Silahkan bergaya penebas yang memanen hasil dari petani satu wilayah, dan lantas mengolahnya dengan cara yang sama sederhananya. Sementara modal tebasan yang besar tentu mampu kau tanggulangi tanpa perlu repot-repot mendirikan koperasi dan sebagainya. Cukup dengan sedikit kata serta banyak jujur dan kesungguhan, niscaya ucapanmu akan menjadi jauh lebih sakti dari cek serta bilyet giro bank manapun.

 Itu baru sekam alias kulit padinya, belum lagi tentang berasnya. Baru jagung, belum lagi kentang, kacang panjang dan sebagainya. Baru ayam broiler dan lele sangkuriang, belum tingkat yang lebih khayali seperti unggas hias, ayam cemani, serta keaneka ragaman hayati lainnya yang nyatanya memang akan membuatmu ternganga-nganga saking kayanya negeri ini.

Hingga pada suatu hari yang damai saya baca Harian Ibukota tentang rupiah yang tersandera buah krisis Eropa, yang lantas membuat otoritas moneter Bank Indonesia kebakaran jenggot menetapkan sekurangnya lima faktor utama penyebab rupiah terperosok nyaris Rp. 10.000,00  per dolar AS, setelah sebelumnya awet bertahan di kisaran Rp. 8.000,00 selama setahun lebih.

Tak hanya itu. Kali ini giliran Wapres bersibuk ria mengajak segala Menteri Perekonomian, Menkeu, Gubernur BI, beberapa pejabat serta pengusaha dan entah siapa lagi untuk nongkrong bareng di rumahnya, yang lantas saja diberi sebutan amat keren: Rapat Koordinasi.

Aha! Cuma itu reaksi terbaik saya. Karena merekapun saya pikir cuma butuh itu dari saya, dengan atau tanpa makna apapun di dalamnya.

Dengan kacamata kesederhanaan yang sama saya dapat memberikan sedikit jalan keluar untuk keadaan ini. Atau setidaknya beberapa alternatif guna membebaskan sandera maya yang kerap menghajar rupiah hingga babak belur tak karuan setiap kali ada peristiwa dunia, mulai dari kerusuhan Mei, Subprime mortgage, krisis Eropa dan entah apa lagi nanti.

Masalahnya benar-benar amat sederhana, yang seringkali dimaknai dengan begitu rupo-rupo dalam boso wong jowo. Karena ini memang hanya tentang suply dan demand, dimana permintaan negara ini akan dolar jauh melebihi permintaan pemangku kepentingan dolar terhadap rupiah.

 Lantas, apakah kemudian langkah tercepat yang dapat dilakukan hanya dengan mengirim sebanyak-banyaknya pembantu ke luar negeri, dengan paket beli 2 dapat 3 misalnya, agar seketika devisa dari mereka dapat menurunkan demam rupiah hingga entah kapan setidaknya kembali ke level 2.500 perdolar, tak peduli apakah dengan cara itu menjadikan negeri ini lantas bertransformasi menjadi negeri pembantu, dengan penggarapan sinetron-sinetron, yang menurut salah satu oknum sutradara, buat apa perlu dibuat bagus karena toh hanya akan ditonton oleh para pembantu...?

 Saya tak ingin berdebat kusir tentang tema pembantu. Karena ada baiknya kita semua belajar dari para blogger, yang setelah tulisan-tulisan sejenis ini serentak kita posting di Kompasiana, seketika mengubah idiom tadi menjadi lebih lengkap serta lebih keren lagi, “Ada baiknya belajar dari para blogger, namun yang terbaik tentu saja belajar dari para Kompasianers...^_”

Tentu banyak yang paham bagaimana seorang blogger melakukan internet marketing hingga menghasilkan rupiah yang jauh lebih raya bila dibandingkan dengan bekerja secara tradisional, misalnya. Mulai dari melakukan ‘dibayar untuk memposting, memberi komentar, memberi rangking atau rating, menyimpan file dan gambar’ dan sebagainya yang seketika memecut sifat tolol saya untuk lebih memaknai semuanya dengan makna yang –walaupun masih berbau ketololan yang sama- namun setidaknya amat sederhana serta mudah untuk dilaksanakan.

 Sebagian teman mengenal saya sebagai tukang sulap, mudah-mudahan bukan dalam idiom paling menyebalkan yang pernah ada. Dan dengan kemampuan aneh tersebut, saya coba untuk mengutak-atik semuanya seperti yang memang selalu saya lakukan sejak masa  ‘Black World’ waktu sekolah dulu, sambil tak henti-henti bertukar sapa dengan teman maya medsos saya di sela waktunya. Hasilnya? Saya kembali menemukan alat baru bagi pemenuh segala ingin saya bersama sosok-sosok tercinta. Memang bukan alat yang benar-benar baru. Juga bukan yang paling sempurna. Karena adakah yang benar-benar baru kita temui dan atau ciptakan di dunia yang sekarang ini? Tapi setidaknya dengan alat ini kelak cukup banyak kendala yang terpaksa menjelma tak ada, cukup banyak tujuan yang insya Allah menjadi kenyataan, dengan amat sederhana.

 Dan sesuatu itu adalah ‘One Click Community’ alias Komunitas Satu Klik untuk semua...^_

Cara kerjanya sederhana. Bila diambil contoh sebuah program Pay to Click yang memberikan konpensasi sebesar Rp. 100,- untuk setiap satu kali klik, maka saya harus memiliki sebuah komunitas sebanyak 1.000 orang yang mampu serta mau bekerja sama dengan saya demi mewujudkan semua. Dan jika setiap orang mengklik 1 kali PtC saya, akan saya peroleh Rp. 100,- x 1.000 orang, yang bila ditotal menjadi sejumlah Rp. 100.000,- per satu kali klik.

 “Ah, biasa aja tuh, Bayangan... Ga terlalu besar juga hasilnya...” ucap seseorang dengan lugunya, yang seketika menerbitkan ribuan senyum di bibir saya karena tahu akan lebih dari satu orang yang berpendapat demikian, karena memang sistem pendidikan –dan juga kehidupan- yang kita dalami, amat jarang mengajari kita untuk lebih paham secara finansial, dan melupakan begitu banyak kesederhanaan yang mampu kita sulap hingga menjadi tidak lagi sederhana nilai finansialnya.

 Mungkin benar bahwa nilai satu klik itu cuma seharga Rp. 100.000,-. Tapi bagaimana bila semua anggota komunitas melakukan hal yang sama terhadap masing-masing? Jelas akan langsung terkumpul kompensasi sejumlah Rp. 100.000,- x 1000 orang yang jumlahnya adalah Rp. 100.000.000,- ... hanya untuk satu kali klik yang sama!

 Bagaimana bila setiap hari kita semua dapat melakukan satu klik yang sama tersebut? Barangkali nominal sebesar tiga milyar lantas saja bergelayut dengan amat manja dipundi-pundi milik bersama tadi untuk setiap bulannya.

 Dan dapatkah kau bayangkan, jika misalnya 250 juta penduduk Indonesia melakukan ini semua secara terkoordinasi? Tentu tak kurang dari dua ribu lima ratus trilyun perhari uang yang masuk ke indonesia: Dalam bentuk dolar, yang karena kita semua tetap menggunakan rupiah maka permintaan akan rupiah serta merta melonjak drastis. Dan itu artinya rupiah insya Allah tidak akan pernah lagi tersandera oleh mata uang apapun juga, atau oleh peristiwa dunia sepenting apapun juga, tanpa perlu menggadaikan satupun pulau Indonesia hanya demi kurs rupiah menjadi Rp. 1.000,-/dolar seperti yang pernah heboh di media itu. Yang seketika menjelaskan reaksi “Aha!” saya terhadap wapres dan kawan-kawan tadi...^_

 Dan dengan komunitas yang ‘hanya’ 1000 orang tersebut dapat pula dibangun sebuah Prototipe Kompleks Pendidikan Terbaik secara gratis dan amat bermutu, sejak jenjang TK hingga doktoral, dengan dana operasional sebesar 3 milyar perbulan yang insya Allah akan terus meningkat secara progresif sesuai dengan sunatullah perkembangannya, yang seketika pula mematikan BISNIS (MUNAFIK) PENDIDIKAN MAHAL DI INDONESIA.

 Dan dengan komunitas yang ‘hanya’ 1000 orang tersebut pulalah saya menjamin cukup dalam waktu 3 bulan saja maka dapatlah ‘terbeli’ sebuah pulau, yang selanjutnya menjadi ‘Pulau Peradaban’ dengan efek berantai reaksi atom, yang saya sendiri tak dapat mengukur perkembangan selanjutnya apakah benar hanya akan merubah Indonesia ataukah justru ‘perlu’ mengubah dunia.

Itu jika kompensasi yang didapat dari sebuah klik sebesar Rp. 100,-. Bagaimana jika Rp. 300,-? Bagaimana pula jika lebih besar dari itu? Mari kita hitung bersama-sama dengan hati riang. Bahkan jika perlu sambil berdendang senandung senang.

 Jelas banyak kendala dalam merealisasikan semua yang saya sebutkan di atas, saya tahu itu dengan jelas. Dan dengan amat jelas pula saya berusaha sekuat tenaga untuk memaklumi segala ketidak jelasan isi komentar dari sosok-sosok yang barangkali saja saking tidak sepahamnya dengan isi posting ini lantas menuliskan begitu banyak kebrutalan melalui kalimat demi kalimat dengan amat jelas. Tapi saya yakinkan kepada kau bahwa semua kalimat dalam posting ini insya Allah dapat saya pertanggung jawabkan kelak. Karena saya, bagaimanapun juga, telah dikenal sebagai orang yang selalu melakukan apapun yang saya ucapkan. Walau dengan waktu dan cara yang amat tak biasa. Walau dengan waktu dan cara yang tak pernah begitu saja. Karena sejak dulu hingga detik ini, nyatanya saya tetap saja masih seorang kreatif... akronim paling menyebalkan dari sosok Kere yang amat sangat Aktif!

 Dengan penuh keheningan saya meracik lagi semuanya, dan merubah jumlah komunitas yang 1000 orang tadi hingga dapat dipangkas menjadi hanya 100 dan atau 50 orang saja, misalnya,  hingga semuanya dapat menjadi lebih mudah serta lebih sederhana untuk dilaksanakan. Tentu saja dengan potensi yang senilai dengan 1000 orang tadi, yang seringkali kita dapati maknanya dalam begitu banyak falsafah agama seperti berpuasa sebulan penuh plus beberapa hari setelah Iedhul Fitri seketika menjadikan kita bernilai puasa setahun penuh. Adakah yang keliru? Tanyakan saja pada Tuhan...^_

 Tapi jangan coba-coba menyuruh saya untuk bertanya atau meminta kepada Allah Sang Segala, karena saat ini, saya tengah mati-matian mencoba untuk menipu-Nya.

 “Haahhh...! Kau hendak menipu Allah, Bayangan...? Sudah gilakah kau..? Ataukah kau tak paham bahwa Allah adalah Maha Segalanya...? Yang tak akan mungkin bisa ditipu...? Apalagi hanya oleh orang seperti kau yang cuma segini doank...!!!”

 Saya jawab, insya Allah bisa. Karena selain semuanya hanya tentang sudut pandang mana yang kita gunakan, bahkan manusiapun tak terlepas dari perbedaan tingkat serta derajat.

 Jika kita baru tiba kepada tingkatan mata, tentu kita tak ubahnya bocah kecil yang melihat bintang di langit lalu berkata bahwa bintang itu kecil, karena kita memang hanya sekedar menggunakan mata. Sementara bila kita telah mencapai tingkatan otak, maka secara otomatis pula kita akan menjelma layaknya cerdik hebat yang melihat bintang di langit lalu berkata bahwa bintang itu besar, karena kita memang memiliki pengetahuan tentang hal itu dengan cukup matang. Hingga wallahu a’lam dapatkah kita memiliki tingkatan hati, dimana kita menjelma seorang cerdik bijak yang penuh kepahaman, yang melihat bintang di langit namun tetap berkata bahwa bintang itu kecil walaupun kita tahu bintang itu besar. Karena pada titik ini tentu saja Allah menjadikan kita beroleh limpahan rejeki berupa pengetahuan, yang paham bahwa tidak ada apapun yang besar jika dibandingkan dengan Kemaha Besaran-Nya…^_

 “Lhooo...?! Jika memang sudah tahu seperti itu, bagaimana mungkin kau tetap berkeras ingin menipu Allah...?!!! Bagaimana bisa...?!!! Cara sengak dan konyol slebor apa lagi yang ingin kau lakukan, Bayangan...?!!!”

 Saya akan menipu Allah dengan cara terbaik yang saya miliki, ucap saya perlahan. Sendu. Teringat besarnya dosa yang kerap lalai saya seka, hidup yang tak pernah sekalipun menjadi guru, serta begitu banyak warna abu yang betapa inginnya saya agar semua itu dapat terhapus dari diri dan hidup saya.

 “Saya akan menipu-Nya... dengan cara merayu-Nya… Melalui puji serta doa dalam setiap decap kata yang tak akan pernah usai saya rangkai. Lagi dan lagi. Terus... dan insya Allah akan selalu terus...” ucap saya, sambil diam-diam dan dengan suara yang teramat lirih mendawamkan kata demi kata tanpa seonggokpun rasa bosan.

 “Ilahi lastu lil firdausi ahla, wala aqwa’alan naril jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafirudz dzanbil ‘adhimi...”

 “Wahai Tuhanku, hamba ini tidak pantas menjadi penghuni surga, tetapi hamba tidak akan kuat terhadap panasnya api neraka, maka terimalah taubat hamba dan ampunilah dosa-dosa hamba, karena sesungguhnya Engkaulah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar...”

Saya adalah Bayangan. Seonggok sampah waktu yang entah kenapa masih saja gemar bermasturbasi kata-kata. Sosok sengak dengan jutaan ambisi yang terus tak berhenti menagih untuk direalisasi. Figur slebor dengan segala kehebatan semu yang tak pernah bisa berkutik jika dikerahkan untuk melakukan sesuatu yang amat alami dan sederhana, seperti menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya menikah lantas beranak pinak seperti marmut atau barangkali saja cecurut. Seorang pecundang terhebat yang sempat terekam oleh sejarah. Dan inilah sampah pemikiran saya. Selamat menikmati sup ceker untuk jiwa...^_

Kompasiana, medio 2015.

(Episode berikutnya: Bercanda Bayang-Bayang...^_ ).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun