Setelah lebih dari ribuan hari, mulai terungkap apa yang dulu pernah tak bisa saya singkap. Mulai tersibak segala yang kemarin pernah begitu gelap serta terus melindap. Atau sekedar mengkerlip kilap dari atas lanskap pikir saya yang gagap, yang memang telah amat lama tak lagi tegap serta mantap.
Satu persatu hikmah Black Moment terkuak, terbuka layaknya halaman sakti berisi kitab ramalan masa kemudian yang beriak-riak dengan amat gegap dan penuh riuh yang menggguruh melontarkan sasmita demi sasmitanya kepada saya.
Tersibaklah segala yang dulu menghalang juga memerangkap pandang dan nalar saya yang pernah diklaim sebagai ‘agak cerdas’ ini. Walau tak lantas setelah semuanya menjadi lebih terang, hidup kemudian menjadi lebih mudah, logis dan sederhana, misalnya. Karena memang tak akan pernah ada yang mudah, logis juga sederhana... jika itu tentang hidup!!!
Selalu riuh. Selalu rancu serta penuh liku, dengan warna abu yang mendominasi. Selalu... aneh. Juga tak biasa. Dan tak akan pernah bisa sama dengan yang lainnya.
Sebuah nasehat embun dari Muhammad bin Abdullah kembali tampar-menampar di pipi saya.
“Sederhanakanlah, dan buatlah segalanya menjadi sederhana...”
Siapa sangka kalimat sederhana tentang sederhana itulah yang justru secara amat sederhana mengembalikan kesederhanaan berpikir saya, agar kembali memaknai semuanya dengan cara dan rasa yang jauh lebih sederhana, hingga segalanya dapat kembali menjadi sederhana, seperti asal dari segala sesuatu pada awalnya. Dan, adakah keindahan yang lebih utama, melebihi keindahan dalam kesederhanaan...?
Jelas saya bukan nabi. Karena saya terkadang masih suka menghirup satu-dua teguk kopi sambil sesekali membunuh diri dengan kepulan tembakau yang menimbulkan adiksi seraya duduk mencangking kaki tanpa melakukan satupun kebaikan yang terkesan pasti.
Jelas saya bukan nabi. Juga bukan keturunan langsung dari para manusia mulia itu, walau seringkali dalam banyak tulisan dengan pedenya saya menganggap beliau sebagai bapak saya.
Tentu saja bukan bapak biologis karena yang beruntung memiliki garis nasab itu adalah Si Tege teman aneh saya yang itunya gede karena memang dia asli produk tanah arab, yang kadang dengan konyolnya masih saja ada yang memirip-miripkan wajah sengak saya dengan raut tampannya. Melainkan bapak dalam ranah Udin sedunia... Maksud saya muslim sedunia. Karena seburuk-buruknya saya insya Allah masih tetap seorang muslim. Dan beliau adalah bapak orang muslim sedunia, yang tentu saja secara otomatis adalah bapak saya juga. Adakah yang berminat untuk membantahnya...?
Jelas saya bukan nabi. Juga bukan syarif. Apalagi syarifah...^_ Tapi tak perlu secerdas Habibie untuk saya paham bahwa saya tentu saja amat mampu memiliki potensi untuk meng-kloning segala kelebihan beliau, bahkan walau hanya dengan mengandalkan segala keterbatasan saya sebagai makhluk paling o’on di muka bumi ini. Karena semua memang amat sederhana.