Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cara Terbaik Menipu Tuhan

3 Juli 2015   21:11 Diperbarui: 3 Juli 2015   21:11 1428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya pernah nangkring dengan nyamannya di kampus kuning, yang katanya pernah menjadi kampus terbaik negeri ini... dengan gratis pula. (yang setelahnya saya menduga anak cucu saya tentu tak akan semudah itu untuk dapat merasakan hal yang sama memasuki kampus tersebut, buah pilot project 4 kampus negeri tatkala masa awal menjadi BHMN, yang semakin kemari semakin tak teraba uang masuknya tersebut). Tapi sayangnya itu saja tak cukup untuk menjelaskan tentang siapa saya sebenarnya.

Pernah juga saya didapuk untuk menjadi kepala suku dalam sebuah pabrik kecil yang model sejenisnya begitu banyak bertebaran di wilayah Purbalingga-Jawa Tengah dan sekitarnya, yang akhirnya dengan sangat masygul saya tinggalkan karena besar dugaan saya sistem yang ada dan diterapkan oleh konspirasi kapitalisme lokal, nyata-nyata mengarah kepada ‘Cara Tercepat Menghancurkan Umat’. Baik secara agama maupun sosial-kemasyarakatan. Dengan wanita sebagai obyek utama yang secara tak sadar menjadi target untuk pertama kali dihancurkan, hanya dengan embel-embel yang -sedihnya- dihargai cukup dengan satu atau dua dolar saja untuk durasi kerja yang nyaris 15 jam perhari!

 Atau ketika dengan penuh bingung saya masuki dunia kerja pasca sekolah sebagai tukang sapu, tak peduli berapa tinggi nilai akademik saya atau berapa rendahnya nilai harga diri dan kehormatan saya dalam kehidupan.

Dan setelah cukup banyak termenung-menung dalam keprihatinan, saya putuskan segera untuk menjabat dengan penuh khidmat sebagai direktur lembaga pendidikan, yang lantas dalam jangka beberapa masa ke depan menyulap  ‘laboratorium hidup’ itu hingga menjadi satu-satunya holding company yang bergerak di bidang pendidikan dan non pendidikan, termasuk di dalamnya sebuah bank ilegal, dengan omzet tabungan tak kurang dari dua ratus lima puluh juta rupiah! Tentu saja setelah sebelum dan sesudahnya saya cicipi pula segala macam jabatan dan profesi, mulai dari menjadi guru madrasah, buruh pabrik, tukang pasang tenda pernikahan serta sebagai tukang rongsok dengan rekan sejawat yang banyak bercerita tentang hidupnya, yang katanya telah menjadi seorang pencabut nyawa dan atau pemetik bunga wanita sejak usia remaja, serta banyak lagi kehidupan suram dunia marginal lainnya yang... tetap saja masih tak mampu menjawab tentang siapa sebenarnya diri saya, hingga menghasut saya untuk berpikir, bahwa pada suatu titik di alam semesta, mungkinkah saya ternyata tak lebih dari setitik debu, yang entah mengapa masih saja terus berpusing serta berkelindan kesana-kemari memaknai hari yang entah sampai kapan terus saja memuntahkan kekotoran zamannya...?

 Pernah terlintas dalam benak bahwa saya sebenarnya tak lebih dari Si Kere Berjiwa Bangsawan, seperti yang pernah diucapkan seorang teman aneh saya dulu, karena pada kenyataannya saya memang seringkali terlalu kreatif menyiasati ini dan itu demi yg diingini menjadi, demi angan yang tak lantas hendak cuma sekedar ingin, demi harapan yang sejatinya memang selalu saya upayakan mati-matian untuk sebisa mungkin menjadi kenyataan. Walau dengan waktu dan cara yang amat tak biasa. Walau dengan waktu dan cara yang tak pernah begitu saja. Bukankah kreatif itu sendiri adalah akronim dari Kere Aktif...?

 Tapi benarkah saya kere, mengingat betapa amat kerapnya saya beroleh rejeki dari Allah untuk mampu walau sekedar makan, dimanapun... dan juga milik siapapun. Menghisap rokok siapapun, menyeruput kopi siapapun, naik turun kendaraan pribadi plus ajakan untuk tinggal di rumah manapun yang saya inginkan, tanpa saya perlu berlelah-lelah lobby kanan-kiri atau menyunat sebagian isi kantung celana saya yang memang cukup sering bolong itu...?

 Barangkali justru saya adalah Si Bangsawan Berjiwa Kere mengingat gaya hidup saya yang terlalu ngasal dan cenderung bohemian. Tak peduli berapa digit nominal yang tertera di rekening saya. Juga tak peduli apakah passive income saya lebih dari cukup untuk nikah ala kampung berkali-kali sebanyak yang saya kehendaki atau justru berjumlah cuma segini. Hingga suatu saat, sebuah badai besar yang saya beri nama ‘Black Moment’ membisiki saya sebuah kepahaman tentang siapa sebenarnya diri saya.

 Hidup dimulai saat usia 40 tahun, begitu yang kerap saya dengar dari kaum cerdik-bijak, yang kuat dugaan saya teori tersebut merujuk kepada usia pengangkatan Muhammad Sang Sosok Utama kala ditasbihkan menjadi khotamul anbiya.

Tapi buat saya, hidup terasa benar-benar dimulai sejak usia yang amat belia. Bahkan mungkin saat saya masih belum mampu buang air kecil dengan sempurna dan leluasa.

 Sebuah masa yang cukup menggairahkan buat saya saat itu, selain urusan wanita tentu saja. Sebab jika tentang makhluk lembut itu, sekali lagi, seribu guru tetap tak cukup untuk saya dapat memahami mereka dengan sangat qath’i...^_

 Sebagai seorang anak muda dengan status administrasi resmi ‘tidak pernah sekolah formal’, tentu saja passive income saya yang tak kurang dari empat ribu dolar perbulan (dengan kurs Rp. 10.000,-/dolar pada tahun 2000 lebih sekian, Red) tanpa saya perlu repot bekerja banting-banting tulang memahat penat, serta kedudukan yang lumayan prestise sebagai dirut di sebuah ‘holding company’, sudah lebih dari cukup untuk membuat saya melanggengkan syukur ke hadirat Ilahi Robbi, atas segala karunia yang telah sempat mampir ke diri ini. Terutama ketika semua itu berhasil saya peroleh buah dari bergenggam benih harapan yang terus saya paksa untuk dapat tumbuh dan semakin subur. Benar-benar hanya bersandarkan kepada janji yang memang tertera dalam deretan kalimat suci,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun