Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cara Terbaik Menipu Tuhan

3 Juli 2015   21:11 Diperbarui: 3 Juli 2015   21:11 1428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Cukup dengan saya telusuri lagi jejak beliau sebagai manusia sederhana, berkehidupan serta pemikiran dan tata laku yang juga sederhana, maka insya Allah jadilah semua. Walau memang ketika semua kesederhanaan itu saya maknai lagi melalui tadabbur pribadi yang kerap gagap juga amat terbata layaknya bocah TK membaca majalah bisnis misalnya –sesuai kapasitas nalar saya yang memang amat sangat terbatas dan terkadang nyaris idiot ini- siapa sangka bahwa segala kesederhanaan beliau ternyata amat tidak sederhana, jika dilihat dari rekam jejak beliau yang baru sebagian kecil berhasil saya lacak?

Dan menjadi kian tak sederhana saat, lagi-lagi, saya temui begitu banyak fondasi multi dimensi yang berhasil beliau tanamkan dengan amat anggun, yang berhasil beliau reka serta rupa tanpa perlu bersusah payah memaksa untuk terlebih dahulu terlihat sangat hebat dan sempurna di mata manusia. Karena pandangan manusia memang semestinya bukanlah tujuan utama, juga tak jarang bukan pula alat atau cara. Karena, yang saya tahu sepanjang ritme ke-muallaf-an saya yang tak juga pernah bisa untuk naik tingkat dan menjadi seorang ustadz ini, agama yang beliau tebarkan dengan welas asih dan penuh rahmat itu memang pertama kali dianggap sangat asing, yang kelak akan kembali menjadi Ghuroba... Wallahu a’lam.

 Dengan segala kesederhanaan itulah kemudian saya berusaha untuk bangkit kembali. Tentu saja setelah sebelumnya dengan amat tidak sederhana saya jalani hidup dengan penuh bingung pasca black moment. Bingung sebab apa saya terlempar dari zona nyaman yang telah susah payah saya bangun dan tegakkan itu. Bingung sebab setelah saya terhempas tanpa sempat mengambil napas dari gemerlap istana kapas saya yang terus terombang-ambing dalam badai jiwa buah cinta yang kerap dibaca noda itu, saya kembali terombang-ambing. Kali ini kehidupan sebagai subyek pelaku, yang tak henti menautkan saya dari satu kota ke lain tempat. Kebingungan yang kian bersublimasi rasa bingungnya sebab tak sekecappun saya temui pijar semburat matahari, atau sepercik kerlip pelangi dari begitu banyak sudut kota yang saya singgahi, selain sekedar sosok-sosok yang tak berhenti memaknai hari dengan sedih di dada sendiri… yang bahkan tanpa mereka sadari bahwa mereka tengah memaknai hari dengan cara yang amat sedih itu...!!!

 Apa yang salah dengan kehidupan...?! Apa yang salah dengan negeri ini...?!! Dan benarkah kita semua memang telah terlalu bodoh hingga tak lagi mampu, walau sekedar memaksimalkan potensi yang tersedia dengan begitu rayanya di sekitar kita...?!!! Tersedia dengan amat riuhnya dalam negeri yang memang sejak dulu kita buai lewat segala macam nyanyi surgawi? Tentang negeri dimana tongkat dan kayu bahkan menjelma tanaman kala kita lempar secara asal sambil bersandar saking suburnya. Begitu juga kekayaan lautnya. Atau migasnya. Udaranya. Dan sebagainya yang semakin membuat saya habis daya logis buah kenyataan yang terasa amat mensterilkan semangat ini.

 Dalam sebuah fragmen yang agak buram saya lihat deretan perempuan muda, tengah baya juga renta berbondong-bondong melewati liuk jalan mendaki dan menurun, curam juga sedikit terjal di beberapa titik -sambil menenteng obor sederhana- menuju tempat bekerja sebagai buruh pemetik bunga melati. Dan itu rutin mereka lakukan setiap hari sejak pagi buta pukul empat, dengan rupiah sebesar lima sampai delapan ribu perhari sebagai pembayarnya, yang kadang hingga menjelang pukul dua siang. Dan setelahnya, tentu pula memerlukan waktu hingga sore lagi untuk mereka tiba di rumah, dan kembali berjibaku dengan segala macam rutinitas sebagai ibu.

Sementara pada panil yang lainnya saya liat betapa banyak waktu terbuang dikalangan para petani, yang bekerja dalam hitungan ‘hingga beduk pacul’ alias sekitar pukul sepuluh pagi, baik untuk pemilik sawah dan terutama sekali bagi para buruh penggarap harian. Dan setelahnya... entah melakukan kegiatan produktif apalagi. Itupun dengan catatan mereka kreatif dalam mencari kegiatan, yang sayangnya jauh lebih banyak yang termakan situasi hingga banyak bersantai dan atau melakukan kegitan remeh-temeh lain setelahnya.

Hingga pada cuplikan selanjutnya kembali saya dibuat amat terheran-heran memaknai betapa sederhananya buah dan pola pikir mereka-mereka yang notabene adalah generasi penerus, yang dengan amat enteng menikah di bawah usia muda –tentu pula dengan dana dan segala persiapan dari orangtua- yang seketika menjadikan saya sosok ABG tua yang tak laku perawan dan segala macam yang berbau wanita...^_

 Dan segalanya lantas saja menjadikan saya disorientasi membaui lagi segala macam peradaban yang pernah saya temui di bangku sekolah juga di alam nyata.

Tentang apa sebenarnya semua ini? Dan benarkah hidup yang terhampar dengan amat sederhana di hadapan saya ini adalah yang terbaik? Sebagai salah satu cara terhebat mensikapi hidup yang memang cuma sekali... dengan amat arif juga sederhana? Dan bukannya memaknai dengan berbagai macam menara gading semu-palsu yang kerap saya singgahi dalam banyak episode di kota-kota besar? Atau masihkah perlu kita cari lagi pendekatan yang lebih sempurna tentang hidup? Tentang cara memaknai hidup? Juga tentang bagaimana menyelesaikan segala permasalahan hidup? Agar tak ada lagi penyesalan saat tak lagi hidup? Saat hidup yang baru harus mempertanggung jawabkan hidup yang sebelumnya? Saat...

“Kau kembalilah ke tempat asalmu, Bayangan, dan jalani lagi semuanya sebaik yang kau bisa… Karena memang tak akan pernah ada kehidupan yang sempurna... Karena yang ada memang cuma kehidupan... dengan atau tanpa angan...! ”

Sekali lagi, dari sosok aneh yang lainnya saya mendapat pencerahan. Figur senior yang saya kenal kesehariannya amat penuh serunai cahaya sejak mula muda, yang kini beralih rupa menjelma jelaga amat tak berharga buah duka yang dititipkan dunia kepadanya sejak kesalahan prosedural usia belia dulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun