membaca di Indonesia memang masih sangat rendah, seperti yang disebutkan oleh UNESCO dengan indeks minat baca hanya 0,001%. Artinya, hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang rajin membaca. Data ini juga diperkuat oleh riset World's Most Literate Nations Ranked yang dirilis pada Maret 2016 oleh Central Connecticut State University, yang menunjukkan Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal minat membaca. Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Botswana yang menempati peringkat terakhir, sementara Thailand berada satu peringkat di atas.
MinatIronisnya, walaupun minat membaca di Indonesia rendah, negara ini sebenarnya memiliki infrastruktur yang mendukung kegiatan literasi, bahkan melebihi beberapa negara Eropa. Infrastruktur ini mencakup perpustakaan, akses terhadap buku, dan teknologi pendukung lainnya. Namun, keberadaan infrastruktur saja tampaknya belum cukup untuk mendorong minat membaca. Ada berbagai faktor lain, seperti budaya membaca yang belum kuat, kurangnya motivasi, serta pengaruh media sosial dan teknologi yang lebih populer sebagai sumber hiburan daripada buku.
Masalah ini menunjukkan bahwa upaya untuk meningkatkan minat baca harus mencakup pendekatan yang lebih luas. Tidak hanya menyediakan fasilitas, tetapi juga membangun kesadaran akan pentingnya membaca, memperkenalkan literasi sejak dini, dan memanfaatkan teknologi untuk menarik minat baca. Dukungan dari pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat juga sangat diperlukan untuk memperbaiki situasi ini.
Hasil PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2022 menunjukkan perkembangan yang cukup menarik terkait literasi membaca di Indonesia. Meskipun Indonesia berhasil naik 5 peringkat dibandingkan hasil PISA tahun 2018, skor yang diperoleh justru mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan peringkat bukan berarti peningkatan dalam kualitas literasi, tetapi mungkin lebih karena negara lain mengalami penurunan yang lebih signifikan.
PISA adalah studi internasional yang mengukur kemampuan membaca, matematika, dan sains siswa berusia 15 tahun. Penilaian ini dirancang untuk mengevaluasi sejauh mana sistem pendidikan suatu negara mampu mempersiapkan siswanya dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk sukses di abad ke-21, termasuk kemampuan literasi yang esensial.
Meskipun ada peningkatan dalam peringkat, Indonesia masih berada di 11 peringkat terbawah dari 81 negara yang diukur. Ini menandakan bahwa tantangan dalam meningkatkan literasi di Indonesia masih sangat besar. Penurunan skor menunjukkan adanya masalah fundamental dalam kemampuan membaca dan pemahaman siswa, yang mungkin disebabkan oleh beberapa faktor seperti kualitas pengajaran, akses terhadap sumber belajar, serta kebiasaan membaca di rumah dan lingkungan sekitar.
Dengan adanya hasil ini, penting bagi pemerintah, pendidik, dan masyarakat untuk lebih memperkuat upaya dalam meningkatkan literasi di kalangan siswa. Pendekatan yang lebih inovatif dan komprehensif diperlukan, seperti memperkenalkan metode pembelajaran yang lebih menarik, memperbaiki kurikulum, dan mendorong kebiasaan membaca sejak dini. Literasi bukan hanya tentang kemampuan membaca kata, tetapi juga pemahaman terhadap isi teks, berpikir kritis, dan menggunakan informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil PISA ini menjadi sinyal bahwa upaya untuk meningkatkan pendidikan literasi di Indonesia masih harus dilanjutkan dengan strategi yang lebih efektif dan fokus pada kualitas, bukan hanya kuantitas.
Prof. Mochamad Nursalim dari Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Surabaya (Unesa) menyoroti bahwa rendahnya minat baca di Indonesia tidak hanya terjadi pada masyarakat umum, tetapi juga di kalangan mahasiswa. Meskipun teknologi telah membawa perubahan besar dalam cara orang mengakses informasi, dengan semakin populernya buku elektronik dan sumber digital, hal ini belum sepenuhnya menggeser peran buku fisik.
Menurut Prof. Nursalim, buku masih sangat relevan sebagai sumber belajar utama. Hal ini disebabkan oleh proses yang dilalui buku sebelum diterbitkan, seperti seleksi, validasi, dan editing yang ketat. Dengan demikian, buku menyajikan informasi yang lebih mendalam dan komprehensif dibandingkan beberapa sumber digital lainnya yang mungkin belum teruji keakuratannya. Buku fisik, menurutnya, masih menjadi sumber yang paling dapat dipercaya untuk belajar, karena telah melewati berbagai tahapan untuk memastikan kualitas dan kevalidan informasi yang disampaikan.
Pernyataan Prof. Nursalim ini menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara pemanfaatan teknologi dan tetap menghargai buku fisik sebagai sumber belajar yang kredibel. Meski teknologi telah mempermudah akses informasi, mahasiswa dan masyarakat tetap perlu memahami bahwa tidak semua informasi yang ditemukan secara daring memiliki kualitas dan validitas yang sama seperti buku cetak. Buku fisik sering kali menyajikan analisis yang lebih mendalam dan terstruktur, yang mungkin sulit ditemukan dalam artikel atau konten digital yang lebih singkat dan sering kali kurang melalui proses penyuntingan yang ketat.