Perselisihan tentang keadilan ini sering kali mencerminkan perbedaan prioritas nilai dan pandangan dunia yang mendasar. Ada yang lebih menekankan kesejahteraan kolektif, ada yang lebih menekankan hak-hak individu, dan ada yang lebih mengutamakan legitimasi politik. Perbedaan dalam standar evaluasi ini mencerminkan kompleksitas konsep keadilan dan mengapa mencapai kesepakatan tentang institusi-institusi yang adil sering kali sulit.
Debat tentang keadilan institusi bukan hanya tentang institusi mana yang lebih adil, tetapi juga tentang standar keadilan mana yang harus digunakan. Perbedaan ini mengarah pada berbagai pendekatan dan penilaian terhadap institusi, tergantung pada apakah seseorang lebih menekankan pada hasil, hak, kesetaraan, tradisi, atau nilai-nilai moral yang lebih tinggi.
Ketika kita menghadapi ketidaksepakatan yang terus-menerus tentang keadilan, mungkin terasa menggoda untuk berpikir bahwa tidak ada kebenaran yang objektif tentang apa yang adil atau tidak adil, dan bahwa semua pendapat soal keadilan hanyalah pandangan yang sepenuhnya subjektif. Namun, kesimpulan ini salah dan terlalu menyederhanakan masalah.
Fakta bahwa orang-orang sering berselisih pandangan tentang keadilan tidak membuktikan bahwa kebenaran mengenai keadilan tidak ada. Perbedaan pendapat tidak berarti bahwa tidak ada dasar kebenaran yang mendasari diskusi tersebut, melainkan mencerminkan bahwa kita memiliki berbagai cara pandang, pengalaman, dan kerangka pemikiran yang berbeda dalam memahami keadilan. Ketidaksepakatan tidak secara otomatis mengindikasikan bahwa suatu hal itu sepenuhnya subjektif.
Contoh dari Sains dan Fakta Empiris
Untuk memperkuat argumen ini, kita bisa melihat bahwa ketidaksepakatan juga sering terjadi dalam hal-hal yang jelas memiliki bukti yang kuat. Misalnya:
1. Evolusi
Meskipun ada bukti ilmiah yang sangat kuat yang mendukung teori evolusi, masih ada banyak orang yang menolak evolusi dan meyakini teori alternatif. Ketidaksepakatan ini tidak menunjukkan bahwa evolusi tidak benar, tetapi bahwa persepsi dan pemahaman tentang fakta tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kepercayaan budaya, agama, atau informasi yang salah.
2. Vaksin
Ada bukti ilmiah yang jelas bahwa vaksin bekerja dan tidak menyebabkan autisme, tetapi masih ada kelompok yang menolak vaksin karena informasi yang salah, teori konspirasi, atau pemahaman yang bias. Sekali lagi, ini bukan karena kebenaran tentang vaksin bersifat subjektif, melainkan karena proses pemikiran kita yang sering kali terdistorsi oleh bias.
Ketidaksepakatan dalam hal-hal ini, di mana bukti empiris sangat berat sebelah dan berpihak pada satu kesimpulan, menunjukkan bahwa perbedaan pandangan tidak meniadakan kebenaran. Sebaliknya, itu mengungkapkan tantangan dalam cara orang mengolah informasi—yaitu, betapa bias, keyakinan pribadi, dan emosi dapat membentuk cara kita menafsirkan fakta.