Anggukan pelan dan helaan napas berat mengiringi ucapan Watimaga. Suasana kembali hening.
"Namun, kekalahan ini bukanlah akhir dari perjuangan kita," lanjut Watimaga. "Hari ini, kita berkumpul untuk membahas langkah kita selanjutnya. Kita harus menentukan sikap, apakah kita akan menerima kekalahan ini atau bangkit sebagai oposisi yang kuat dan konstruktif."
Ucapan Watimaga memicu beragam reaksi. Beberapa petinggi senior tampak ragu-ragu.
"Bu, menjadi oposisi itu tidak mudah," ujar Pak Harun, salah satu petinggi senior, suaranya bergetar. "Kita akan menghadapi banyak rintangan dan tekanan dari pemerintah."
"Benar, Pak Harun," timpal Pak Budi, petinggi senior lainnya. "Apalagi selama berkuasa, Partai Garuda dikenal dengan politik bulldozer mereka. Kita harus berhati-hati."
Watimaga mengangguk, memahami kekhawatiran para seniornya. Namun, ia juga melihat peluang di balik tantangan.
"Memang menjadi oposisi tidak mudah," kata Watimaga. "Tapi, bukankah selama ini kita mengkritik gaya kepemimpinan mereka yang otoriter? Sekarang saatnya kita tunjukkan pada rakyat bahwa kita bisa menjadi oposisi yang cerdas dan kritis."
"Saya setuju dengan Bu Wati," sela Bagas, Sekjen partai. "Sebagai oposisi, kita bisa lebih fokus memperjuangkan kepentingan rakyat dan mengawasi jalannya pemerintahan. Ini bisa menjadi kesempatan untuk merebut kembali kepercayaan rakyat untuk pemilu mendatang."
Para petinggi saling berpandangan, menimbang-nimbang argumen yang disampaikan. Ada keraguan, namun perlahan mulai muncul semangat baru.
"Bu, bagaimana struktur partai jika kita menjadi oposisi?" tanya Bu Rini, petinggi perempuan yang vokal.
"Struktur partai tidak akan banyak berubah," jawab Watimaga. "Tapi, kita perlu membentuk tim khusus yang bertugas sebagai juru bicara dan melakukan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah."