Di markas Banteng, Watimaga dan timnya tengah memantau perkembangan berita. Mereka sadar akan adanya serangan balik dari Koalisi Garuda.
"Kita sudah perkirakan ini, Bu," kata Bagas. "Mereka pasti akan menyerang balik."
"Jangan gentar," jawab Watimaga, matanya bersinar. "Kita harus fokus pada fakta dan terus menyuarakan suara rakyat. Mari buktikan bahwa kami adalah oposisi yang konstruktif dan bertanggung jawab."
Perang opini pun terjadi. Media massa dipenuhi dengan berita pro dan kontra RUU tersebut. Namun, Banteng tak gentar. Mereka terus menggelar diskusi publik, mengundang para ahli dan aktivis untuk memberikan pandangan kritis terhadap RUU itu.
Perjuangan Banteng sebagai oposisi baru saja dimulai. Mereka sadar bahwa jalan yang mereka tempuh akan penuh rintangan dan serangan. Namun, mereka bertekad untuk terus berjuang, membela kepentingan rakyat, dan mengawal demokrasi dari luar arena kekuasaan.
Bab ini menunjukkan bagaimana Banteng menjalankan perannya sebagai oposisi. Mereka tidak hanya mengkritik, tetapi juga memberikan solusi dan melibatkan partisipasi publik. Konflik dengan Koalisi Garuda pun mulai terlihat, menandakan bahwa ke depannya, pertarungan politik akan semakin sengit.
Bab 5: Bisikan di Tengah Malam
Hujan deras mengguyur Jakarta malam itu, seakan memantulkan gejolak politik yang sedang memanas. Di sebuah ruangan rahasia di hotel mewah, Yono, petinggi senior Banteng yang masih dilanda dilema, tengah berbincang hangat dengan Menteri Hasan.
"Bagaimana keputusan anda, Pak Yono?" tanya Hasan, senyum tipis terukir di wajahnya. "Pintu kami masih terbuka."
Yono terdiam, tatapan matanya gundah. Tawaran dari Koalisi Garuda terus-menerus mengusik pikirannya. Ia tergoda dengan jabatan dan jaminan kesejahteraan, namun hatinya masih terikat dengan janji loyalitas kepada Banteng.
"Saya masih butuh waktu untuk berpikir," jawab Yono akhirnya, suaranya berbisik.