"Pasti ada kecurangan!" teriak yang lain, emosinya memuncak.
Watimaga mengangkat tangan, meminta kesunyian. Suasana hening kembali, hanya terdengar suara hujan yang semakin deras di luar.
"Saya tahu ini mengecewakan," kata Watimaga, suaranya tenang namun tegas. "Tapi mari kita hadapi kenyataan ini dengan kepala dingin. Menyalahkan dan berkoar-koar tidak akan mengubah keadaan."
Ruangan kembali hening. Para petinggi menatap Watimaga, menanti arahan selanjutnya.
"Malam ini, kita semua beristirahat," lanjut Watimaga. "Besok pagi, kita akan menggelar rapat untuk membahas langkah selanjutnya. Kekalahan ini memang pahit, tapi bukan akhir segalanya. Banteng akan bangkit."
Watimaga menatap satu per satu anggotanya, tatapannya memancarkan keyakinan. Meskipun kalah, semangat juang Banteng tidak boleh padam. Mereka harus segera bangkit, memikirkan strategi baru, dan mempersiapkan diri untuk menghadapi lima tahun ke depan sebagai partai oposisi.
Malam itu, hujan seolah tak henti mengguyur, seolah turut menangisi kekalahan Banteng. Namun, di tengah kekecewaan, Watimaga dan para petinggi partai telah mengambil keputusan. Mereka akan menghadapi kenyataan pahit ini dengan kepala tegak, dan berjuang kembali dari luar arena kekuasaan.
Bab 2: Dilema di Balik Dinding Ruang Rapat
Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui celah jendela, menerangi ruang rapat markas Partai Banteng. Suasana hening mencekam, berbeda jauh dengan keramaian yang biasa terjadi saat perhelatan pemilu. Di meja bundar yang besar, para petinggi partai duduk dengan wajah muram, masih terbayang kekalahan yang mereka alami semalam.
Watimaga, Ketua Umum Partai Banteng, duduk tegak di ujung meja. Tatapannya tajam namun tenang mengamati para anggotanya yang tampak gelisah. Setelah hening yang cukup lama, ia membuka suara.
"Terima kasih atas kehadiran semuanya," kata Watimaga, suaranya lugas. "Seperti yang kita ketahui, kemarin kita mengalami kekalahan yang cukup telak."