Sebuah roh ngotot bersitahan di dunia kenangan
dan membiarkan sang badan pergi ke masa depan sendirian,
saban hari gentayangan ia di kali bersama bocah-bocah telanjang
mengejar layangang putus di sawah orang
memetiki buah-buahan sepanjang jalan
bergumul di lumpur dengan kerbau rawa seharian.
Semua permainan ia yang menentukan
main bajak laut ia yang memimpin
karena cuma ia yang jenggotan.
Di kelas ia duduk paling depan, mengambil separuh ruangan
menghalangi pandangan semua orang.
Di bawah buku gambar ia tuliskan segala macam kata rayuan
surat-surat cinta yang bikin bu guru geram sekaligus cekikikan.
Ia mengutip uang jajan seisi kelas
yang membuat wali murid protes keras.
Di kampung ia memantapkan diri sebagai jagoan
menghadang gadis-gadis di tikungan jalan
menggondol jam dinding dan mikropon musala
empat kali mencekik tukang warung yang enggan memberi utangan.
Para tetua dan aparat sama bingungnya
walau kenakalannya sudah seperti anak durhaka:
ini dunia kenangan, dunia tenang yang subtil
sudah selazimnya dipenuhi fantasi infantil
orang tak boleh sembarangan menambahkan aturan
menerapkan standar moral yang membelenggu kebebasan
memasang jeruji besi untuk mengurung mimpi-mimpi.
Seisi dunia bungkam
tak punya cara buat menghentikan sang tiran, semua tinggal pasrah.
Kini gadis-gadis tak lagi menjerit ketika kepangnya ditarik-tarik
tukang pentol tak lagi marah ketika dagangannya dijarah
si tua penjaga musala acuh saja tatkala ia mencopoti kaca
dan bocah-bocah itu menyisih setiap kali ia memasuki arena.
Situasi ini membuatnya kalap sekaligus tak berdaya
ingin ia memberontak tapi tak tahu pada siapa:
ini dunia kenangan, satu-satunya sudut kehidupan
dimana revolusi diharamkan.
Pada suatu senja di puncak gunung
tatkala lembayung menggelar rambut emasnya seantero pucuk pohon
ia mendengar seperti sebuah seruling memanggil
seakan sebuah kapal baru saja bertolak dari semenanjung
menelantarkannya dalam paradoks melankoli yang memecahkan ubun-ubun.
Sementara sang badan yang meluncur sendirian
tersesat dalam sebuah negeri yang penuh demonstrasi
karnaval dan perayaan, jargon dan tanda merah
memenuhi separoh penanggalan
penduduknya selalu gembira tanpa alasan
hobi merayakan kemenangan-kemenangan
yang belum sempat dilakukan nenek moyang.
Tiap minggu sejumlah orang diundang ke istana
demi menerima tanda jasa, kenaikan pangkat
atau sekedar mengahadiri pesta kebun seorang bangsat.
Maka demikianlah, pada suatu malam yang riang
ketika purnama baru mengerosong dari himpitan awan hitam
sambil berdesakan sampai juga sang badan di kebun belakang istana
tempat baginda menyalurkan hobinya menyantuni margasatwa.
Langsung ia menggelesot di padang rumput
memandang sekilas kerlipan bintang terakhir yang semaput.
Di kebun sebelah, berpagar pohon segala buah
ditingkah gending yang tak berubah sejak zaman mpu gandring
terdengar suara-suara manja merayu
dari sisa waktu yang makin kuyu
tawa dalam yang lepas bebas
dari nadi malam yang mulai kebas.
Embun mulai merepih sepanjang area kebun
bulan sudah penat meniti cakrawala
tinggal menggelendot di pucuk cemara sebelah barat istana.
Lalu sekelompok kijang tiba-tiba menggotongnya ke tengah pesta
persis di depan baginda yang sedang asyik bercengkrama dengan para menterinya.
Antara tidur dan jaga
ia dengar rencana-rencana besar
proyek peragaan bencana, proposal gelar kepahlawanan
taktik-taktik baru penghalau jenuh dan kebosanan
kemudian bisik-bisik yang menyerupai rintik
kasak-kusuk yang makin lama makin khusyuk
ada juga kata teredam yang terdengar seperti dendam
bergaung sepanjang malam, mengancam
berbaur lolong serigala hutan.
Bulan mulai merutuk dan batuk-batuk
terpaksa menyesap leleran embun seteguk demi seteguk,
sang badan sadar dan langsung menggigil
di sini tak ada kawan bisa dipanggil
kecemasan akan begadang sepanjang malam
mengunci segala pintu pelarian
dan kesunyian akan segera melepaskan topeng
merenggutkan segala dari igauan kepura-puraan
saat itulah mereka akan saling terkam
baku hantam dengan bayangan yang menguntit siang malam
dari toilet hingga meja makan.
Sayang sang badan tak punya tenaga untuk ikut berantem
karena bayangannya, roh keras kepala itu
tertinggal di dunia kenangan
dan sepanjang abad tak ada tumpangan
yang punya jadwal keberangkatan untuk pulang.
Tinggallah ia meringkuk kikuk
pada suatu loteng bangunan yang ditinggalkan
di bawahnya matahari memulas warna-warni jalanan
menggagas kota-kota baru
menyulut peperangan melawan waktu
meretas kantuk zaman
menyiasati pejam yang tak mau padam.
Lalu laba-laba membentangkan jaring di kelopak mata dan lubang kuping
merpati bersarang di rambut dan mengkapling habis kepalanya
sang badan terus saja membatu
jadi obyek turis asing berswafoto
untuk waktu yang sulit diramalkan
roh badung itu terus membuat kegaduhan
di lorong-lorong kenangan
di sepanjang jalan sejarah yang tak lagi berajah
di ceruk-ceruk kesadaran yang terus mengigau
pada jati diri yang makin hari makin tak terjangkau.
Maka begitulah
kerna sama-sama urakan
entah sampai kapan
roh dan badan akan terus berselisih jalan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H