Mohon tunggu...
Abdurrahman
Abdurrahman Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti Madya di SegiPan (Serikat Garda Intelektual Pemuda Analisis Nasionalisme)

Tertarik dengan kajian kebijakan publik dan tata pemerintahan serta suka minum kopi sambil mengamati dengan mencoba membaca yang tidak terlihat dari kejadian-kejadian politik Indonesia. Sruput... Kopi ne...!?

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Skenario Menguasai Sumber Kekayaan Indonesia pada 2024 dengan Mengambil Kekuasaan Lewat Pemilu

22 September 2022   07:18 Diperbarui: 22 September 2022   07:42 1282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peringatan, artikel ini hanya pengandaian saya jika punya kekuasaan atau kekuatan untuk mempengaruhi orang lain agar pemerintahan negara ini sesuai kemauan saya. 

Sebagai otokritik pada saya pribadi bahwa saya adalah rakyat negara ini, punya hak yang sama dalam kebebasan berpendapat dan kemerdekaan berkumpul mengelola teritori negara untuk kepentingan hajat hidup (materiil/PDB) dan pergaulan hidup (idiil/IPM) sebagaimana konstitusi. 

Berandai-andai mendirikan dan jadi ketua partai atau orang berduit yang mendanai orang-orang yang masuk ke pemerintahan entah pemilu legislatif maupun eksekutif dengan punya kekuatan mengatur kekuasaan partai, untuk menguasai negara sesuai konstitusi atau turunannya yakni UU yang ada. 

Hanya gambaran bagaimana sebenarnya partai baru menjadi pemain pemula yang dapat diperhitungkan dan cukong atau elit kepentingan mengatur kekuasaan dengan mendanai pemilu. Memahami kenapa rakyat sulit jadi subjek di republik ini, hanya menjadi objek kepentingan semata.

Pertama, hal yang paling penting bagaimana menguasai parlemen atau DPR RI di Pemilu 2024, itu yang akan saya lakukan sebagai permulaan. Jika memungkinkan bagaimana menguasai kabinet atau merebut kursi presiden, jika tidak maka Pemilu selanjutnya di 2029 tentu akan lebih mudah menguasai kabinet. Jika punya suara dan kursi signifikan pada 2024, setidaknya pasti diajak kerjasama dipemerintahan untuk duduk di kabinet, sehingga mudah untuk 2029.

Baik, bagaimana menguasai DPR RI ini, tentunya partai saya atau orang-orang saya harus menang mendapatkan kursi mayoritas di Pemilu legislatif lewat partai apapun atau hanya lewat satu partai. Di sistem multipartai yang digunakan dalam kepartaian Indonesia, secara mayoritas yakni menguasai minimal 20% kursi DPR RI yang 575 kursi, yakni kurang lebih 115 kursi DPR RI.

Karena saya baru mulai dengan pemilu 2024, maka logis bagaimana hanya menguasai DPR RI (parlemen), sebab jika mau ke presiden harus mengumpulkan 20% kursi DPR RI sebagai ambang batas pencalonan presiden. Jadi untuk 2029 baru mikir bagaimana menguasai kursi presiden atau kabinet sebab saya sudah dapat memastikan punya 20% kursi DPR RI 2029, bagaimana caranya?

Jika saya menguasai DPR RI 20% lebih, tentu yang menguasai kursi presiden akan meminta saya untuk menaruh orang-orang saya duduk di kabinet, tentunya mereka beralasan agar saya tidak macam-macam di parlemen untuk menjegal kebijakan kabinet yang dibahas dalam parlemen. Ini baik sebagai tambahan kekuatan untuk 2029 nantinya, bagaimana merebut kursi presiden sebab sudah tahu dan lingkaran istana presiden.

Baik, bagaimana cara saya menguasai DPR RI atau parlemen dengan minimal mendapatkan 20% kursi DPR RI pada Pemilu 2024? Tentunya saya harus mengerahkan sumberdaya yang tidak sedikit, tidak menjadi soal sebab saya berkeinginan menguasai DPR RI bagaimana cara pun. 

Di bentuk negara republik, di pemilu siapapun punya peluang sama untuk masuk pemerintahan. Tentunya itu baik sebab begitu adanya bentuk negara republik yang pastinya dengan jalan demokratis mengisi personel pemerintahan negara.

Dalam pemilu legislatif DPR RI di Indonesia menggunakan sistem pemilu proporsional dan sedangkan untuk pemilu eksekutif serta DPD menggunakan sistem pemilu mayoritas atau pluralitas. Tapi saya fokus ke sistem pemilu proporsional sebab saya ingin menguasai parlemen atau legislatif yakni DPR RI. Karena bentuk negara republik kekuatan sebenarnya ada pada parlemen sebagai kekuatan publik, sesuai prinsip publik kembali pada republik.

Ada sekitar 273.879.750 (dua ratus tujuh puluh tiga juta delapan ratus tujuh puluh sembilan ribu tujuh ratus lima puluh) penduduk Indonesia, setiap anggota DPR RI yang 575 mewakili semua penduduk itu. Berarti setiap satu anggota mewakili 476.313 penduduk, untuk memilih wakilnya penduduk Indonesia yang 575 orang tersebut dibentuk 80 daerah pemilihan atau dapil. 

Dimana dalam satu dapil setiap kelipatan 476.313 penduduk berarti ada satu alokasi satu kursi, misal di dapil itu di alokasikan 6 kursi berarti total penduduk di dapil tersebut ada sekitar 2.857.875 penduduk, begitu seterusnya kuota kursi satu dapil sesuai banyaknya penduduk di dapil tersebut secara proporsional diatas. 

Dimana setiap dapil sesuai UU Pemilu minimal kouta 3 kursi dan maksimal kuota 10 kursi. Tinggal kalikan saja ada berapa penduduk di dapil tersebut sesuai kuota kursi di dapil tersebut.

Sistem proporsional adalah keterwakilan penduduk pada wakil kepemimpinannya, memang bukan wilayah atau luas kecil kabupaten/propinsi. Maka jangan heran keterwakilan wilayah ada DPD yang setiap propinsi memperebutkan 4 kursi. Tapi kalau DPR RI bergantung banyak atau sedikitnya penduduk di dapil tersebut, prinsipnya di DPR RI yakni mewakili rakyat atau penduduk seluruh Indonesia yang ditentukan 575 kursi tersebut.

Sedangkan DPD yakni wilayah atau propinsi mau kecil atau besar dan mau banyak atau sedikit penduduknya maka setiap propinsi diwakili 4 orang, DPR RI yakni setiap 476.313 penduduk diwakili 1 orang. DPD menggunakan sistem pemilu mayoritas dengan 4 suara terbanyak otomatis jadi pemenang, yang kurang lebih semacam pemilu eksekutif memang prinsipnya.

Apakah setiap dapil benar-benar proporsional, maksudnya setiap alokasi kursi berlaku kelipatan 476.313 orang penduduk? Tentunya itu perlu dikaji sendiri apakah setiap dapil benar-benar adil menentukan alokasi kursi sesuai kelipatan tersebut. 

Yang pastinya di UU Pemilu sudah ada ketentuan tersebut, dalam satu dapil misal 100 penduduk hingga 200 penduduk 3 kursi kuota alokasinya, 600 hingga 900 yakni 10 kursi, yang jelas ada rumusannya untuk itu. Bahkan seberapa banyak kuota kursi DPRD juga ditentukan berapa banyak penduduknya.

Pastinya, menganut sistem proporsional dalam pemilu legislatif DPR RI kuota kursi dalam satu dapil ditentukan banyak-sedikit penduduk dalam satu dapil itu seproporsional-proporsionalnya, yakni jika di rata-rata 476.313 penduduk diwakili satu kursi atau satu wakil rakyat/DPR RI. Kuota kursi sebanyak 575 itu tentunya ada sebab ada hitungan keterwakilan penduduk secara proporsional tersebut. 

Dari 476.313 penduduk itu belum tentu semua punya hak pilih, secara rata-rata nasional dari seluruh penduduk Indonesia yang punya hak pilih hanya 70,5% penduduk saja, yakni secara aturan yang sudah menikah atau sudah berumur 17 tahun saat pemungutan suara. 

DPT atau daftar pemilih tetap yakni penduduk yang punya hak pilih mengacu pada pemilu 2019 sebanyak 192.828.520 orang yakni 70,5% dari total penduduk Indonesia yang sebanyak 273.879.750 jiwa, jika itu diambil rata-rata dari 575 kursi maka setiap kursi atau calon legislatif/partai memperebutkan 335.354 suara/orang yang punya hak pilih untuk mendapatkan satu kursi.

Sering kali orang awam heran dalam satu dapil DPT tidak jauh berbeda tapi kuota kursi sangat jauh, misal di dapil A DPT ada sekitar 2.000.000 kuota kursi 6 kursi, sedangkan di dapil B hanya lebih sedikit misalnya 2.300.000 DPT tapi kuota kursi 10 kursi. Hal ini sudah biasa, sebab di dapil B kemungkinan hanya 60% yang punya hak pilih penduduknya, sedangkan di dapil A sekitar 75% yang punya hak pilih. 

Terkadang juga dalam satu kabupaten A hanya ada 250.000 DPT total kursi di DPRD ada 40 kursi sedangkan di kabupaten B ada 650.000 ada 50 kursi DPRD. Tentunya jauh harga satu kursi di kabupaten A dan B yang jika dirata-rata harga satu kursi kabupaten A hanya 6.250 dan kabupaten B harga satu kursi jauh lebih mahal dua kali lipat yakni 13.000 suara. 

Sekali lagi ini bukan soal DPT tapi banyaknya penduduk di kabupaten A dan B sebenarnya sama secara proporsional tapi yang punya hak pilih di dapil A mungkin hanya 55% sedangkan di kabupaten B yang punya hak pilih lebih dari 75%.

Kembali pada pembahasan diatas, kuota kursi menurut semua penduduk di dapil tersebut, bukan menurut penduduk yang punya hak pilih/DPT. Tidak perlu membandingkan antar kabupaten tapi antar dapil satu kabupaten saja, misalnya di pemilu legislatif dalam suatu kabupaten di dapil 1 ada sekitar 150.000 DPT kuota 10 kursi DPRD, sedangkan di dapil 2 ada sekitar 210.000 DPT tapi juga 10 kursi kuotanya.

Sekali lagi sebab penduduknya pasti sama secara proporsional atau tidak beda jauh tapi yang punya hak pilih berbeda jauh di dapil 1 dan dapil 2.

Memahami itu bagi saya bukan suatu masalah sebab sudah benar secara prinsip proporsional yakni seluruh penduduk diwakili oleh anggota legislatif, mau itu baru lahir tidak punya hak pilih secara peraturan atau yang punya hak pilih, selama itu penduduk negara punya hak yang sama untuk diwakili kekuasaannya mengatur kebutuhan politiknya.

Apakah pemerintahan negara hanya mengatur kebutuhan orang yang punya hak pilih, bagaimana yang masih di kandungan mau lahir atau masih di sekolah dasar dan remaja sekolah menengah, prinsipnya pemerintahan negara mengatur semua kebutuhan politik warganya makanya harus proporsional sesuai penduduk bukan DPT.

Jadi bukan soal besar-kecil DPT yang tentunya berpengaruh pada sumber daya yang berbeda untuk mendapatkan suara setiap dapil atau sangat berpengaruh terhadap harga satu kursi, hal itu sudah menjadi resiko berapa sumber daya yang diperlukan setiap dapil untuk harga satu kursi, tidak perlu jadi kecemburuan disana sedikit kok disini banyak. 

DPT setiap dapil untuk DPR RI rata-rata 335.354 suara, bisa lebih dari itu dan ada yang hanya 250.000 DPT rata-rata dalam satu dapil. Tingkat kehadiran pemilih sekitar 82% rata-rata nasional dan dari itu suara tidak sah rata-rata sekitar 10%, atau secara nasional ada sekitar 72% suara sah. Hal ini menjadi penting, sebab sebuah partai untuk lolos masuk ke parlemen harus punya 4% suara nasional dari suara sah tersebut.

Itu mengacu pada Pemilu legislatif 2019, dimana suara sah 139.970.810 (72%) dengan 158.012.506 (82%) yang menggunakan suara atau tingkat kehadiran, dari total 192.828.520 DPT. Artinya untuk lolos parliamentary threshold 4% dari suara sah itu minimal partai punya suara nasional minimal 5.598.832 suara dari suara sah nasional tersebut. 

Tidak peduli partai baru atau lama jika tidak punya suara sah sekitar 5.598.832 secara akumulasi senasional maka tidak akan di ikutkan pendistribusian kursi DPR RI, tidak peduli di satu dapil suara cukup untuk dapat memenangkan 5 kursi misalnya tapi secara akumulasi suara nasional tidak mencapai 4% dari suara sah nasional tidak akan diikutsertakan dalam penghitungan dan pembagian (distribusi) kursi. 

Menjadi dilema, berkeinginan menguasai kursi DPR RI 20% tapi apakah sanggup mendapatkan suara sah nasional 4%. Dalam sistem proporsional dengan dibagi setiap daerah pemilihan, punya hukum yang berbunyi "semakin banyak daerah pemilihan (dapil) setiap partai kecil atau pemula (baru) kemungkinan malah dapat melipatgandakan kursinya dari minimal suara ambang batas parlemen". 

Maksudnya, jika partai memperoleh suara 4% dengan semakin banyak dapil, sangat memungkinkan partai tersebut mendapatkan 8% kursi, sebab sistem pemilu proporsional penghitungan dan pembagian (distribusi) kursi punya ambang batas minimal harga satu kursi yakni 50%. Bisa dipahami, jika satu kursi mewakili 476.313 penduduk atau suara sah dari DPT rata-rata 243.427 suara maka dengan mendapatkan separuh atau 50% dari itu yakni 121.713 suara sah saja sudah dipastikan dapat satu kursi.

Asumsinya begini, dari total penduduk Indonesia dibagi 575 kursi yakni satu kursi mewakili 476.313 penduduk, yang punya hak suara 70,5% dari itu yakni 335.354, dengan tingkat kehadiran 82%, yakni dijadikan acuan ambang batas adalah suara sah 72% yakni 243.427 suara dari DPT. 

Jika mengacu pada Pemilu 2019 yang ada sekitar 80 Dapil, saya tidak perlu mencapai 243.427 suara setiap dapil untuk mendapatkan satu kursi, cukup separuh dari itu yakni 121.713 suara saja setiap dapil maka partai saya bisa dipastikan dapat satu kursi.

Sekali lagi, hanya dengan 121.713 suara saja setiap dapil bisa dipastikan partai saya dapat satu kursi. 121.713 suara dikali 80 dapil yakni 9.737.040 suara, dapat 80 kursi DPR RI, artinya dapat melewati ambang batas parlemen 5.598.832 (PT 4%) karena 9.737.040 sekitar 7% suara sah nasional, dengan dapat 80 kursi sudah dapat 14% kursi DPR RI/nasional. Artinya dengan suara minimal dapat dua kali lipat kursi DPR RI.

Jadi sebagai pemula atau pemain baru yang berkeinginan menguasai pemerintahan negara dengan punya kursi 14% saja tentu sudah sangat diperhitungkan, asalkan saya cerdas dan dapat memastikan setiap dapil dapat satu kursi dengan harga separuh kursi semestinya (BPP atau harga rata-rata tertinggi satu kursi). 

Hal ini, mau memakai sistem perhitungan dan pembagian kursi dengan sistem kuota (hare/droop) atau divisor (D.Hondt/Sainte Lague Murni/Campuran) dimana rata-rata harga satu kursi yakni total suara sah dalam satu dapil dibagi alokasi kursi dalam satu dapil, dengan hanya separuh atau 50% saja dari harga satu kursi sudah dipastikan dapat satu kursi. 

Misal suara sah satu dapil 1.440.000 dengan alokasi 6 kursi di dapil tersebut, artinya rata-rata tertinggi harga satu kursi yakni 240.000 (1.440.000 : 6), dengan separuh dari itu yakni 120.000 suara sah partai saya, maka dapat dipastikan dapat satu kursi di dapil tersebut. Inilah yang dimaksud dengan lolos parliamentary threshold 4%, sebenarnya bisa dimaksimalkan mendapatkan 8% kursi DPR RI.

Sebagai pemula yang mau menguasai pemerintahan tentu dengan suara dan kursi sebanyak itu di pemilu 2024, apalagi bisa lebih maka Pemilu 2029 akan mudah melipatgandakan dari 14% menjadi 28%, atau dengan 14% kursi DPR RI hanya butuh kerjasama dengan partai lain yang punya kursi 6% sudah 20% untuk sebagai syarat mencalonkan presiden pada 2029. 

Dengan punya calon presiden yang ikut kontestasi Pilpres tentunya partai saya akan lebih mudah melipatgandakan suara atau kursi parlemen, sebab pasti partai saya mendapatkan efek ekor jas terlepas capres saya kalah atau menang, seperti mengaca Pemilu 2019. 

Tetap penting kuasai parlemen untuk menguasai kabinet atau pasang orang di kabinet jadi menteri sebab punya kursi signifikan di parlemen, seperti yang sudah-sudah partai kalah dan saingan ketika pilpres tapi tetap dirangkul dikabinet. Dengan begitu skenario menguasai sumber kekayaan Indonesia pasti tetap terus terlaksana dan berjalan.

Bagi saya yang hanya bernafsu berkuasa, tidak perlu secara langsung, cukup bisa memasukkan orang-orang saya di parlemen dan kabinet dengan menguasai 20% saja di negara multikultural dengan sistem multipartai ini sudah bisa memainkan peran penting sebagai pemula yang masuk sebagai pemain elit kepentingan mengatur kekuasaan pemerintahan negara ini. 

9.737.040 suara atau bulatkan 10 juta suara sebagai pemain pemula, dengan 14% kursi parlemen dan punya orang di kabinet, walaupun hanya sekitar 7% suara rakyat 10 juta suara itu, dengan investasi Rp. 100.000,- persuara yang artinya pengeluaran 1 triliun.

Satu triliun sebagai saya pemilik partai atau orang yang mendanai agar dapat memastikan mendapatkan suara 10 juta, atau anggap saja secara bertingkat mulai DPRD kabupaten/kota, DPRD Provinsi, dan DPR RI kurang lebih anggap sama investasi yang harus dikeluarkan hingga harus mengeluarkan 3 triliunan, dengan bikin partai misalnya juga habis 1 triliun, anggap semua habis 4 hingga 5 triliun perkiraan pengeluaran saya sebagai pemula. 

Proyeksi total APBN 2024 perkiraan 3.500 triliun hingga 4.000 triliun, bayangkan jika dengan kekuasaan 14% parlemen dan dapat mendudukkan orang saya di kabinet, dapat memproyeksikan 0,1% keuntungan dari patokan APBN tersebut satu tahun, bisa mengumpulkan 3,5 hingga 4 triliun 0,1% dari APBN tersebut. Secara hitungan ekonomis sudah balik modal hanya dalam satu tahun lebih sedikit.

Tidak perlu korupsi, sebab PDB Indonesia sekitar 1,058 (satu koma enol lima puluh delapan) triliun USD atau sekitar 16.000 triliun rupiah. Dengan pertumbuhan ekonomi diatas 5% rata-rata, menyedihkan memang ketika inflasi juga tidak jauh berbeda tapi masih dibawah 4%. Tapi katanya, jika pertumbuhan dibawah atau maksimal 5% harusnya inflasi tidak boleh lebih 2% tapi jika pertumbuhan diatas 6% lebih malah inflasi boleh diatas 6% itu. 

Bukan soal bagi yang berinvestasi punya kekuasaan di pemerintahan, semua sumberdaya kekayaan Indonesia tetap berpotensi menghasilkan tanpa perlu mengganggu APBN atau korupsi. Sebab secara ekonomis pasar besar PDB 16.000 triliun itu bagi semua pemain yang ingin menggunakan kekuasaan untuk memasarkan produknya di Indonesia. Entah dengan monopoli pasar dengan kebijakan atau punya hak mengelola tambang misalnya dengan kebijakan pemegang kekuasaan pemerintahan.

Secara hitungan diatas kertas, dengan investasi di kekuasaan 5 triliun selama lima tahun dengan kekuasaan 14% di parlemen dan kabinet bisa mengumpulkan minimal 25 triliun, hanya jual kebijakan pada yang ingin menggunakan kekuasaan pemerintahan mengeluarkan peraturan memberikan hak pasar atau pengelolaan usaha. 

Itu hanya dari kekuasaan pemerintahan yang dapat mengeluarkan kebijakan. Kurang bagus apalagi potensinya jika berbisnis dengan kekuasaan peluang keuntungannya. Menggiurkan bukan? Dan menakutkan bagi rakyat bukan? Saya tidak mau berbicara berapa banyak bankir yang diburu negara sebab ini.

Bayangkan peluang sektor ekspor-impor, pertambangan, industri, jasa, dan lain sebagainya yang bernilai ekonomis jika diusahakan sendiri oleh saya, katanya kurang lebih 50 triliun akan bisa dikumpulkan jika investasi kekuasaan punya kekuatan 10% lebih di parlemen. 

Bisa bayangkan bagaimana tercekiknya penduduk Indonesia jika kran ekonomi itu ditutup diatas dan hanya dialirkan ke kekuasaan saya, walaupun hanya 14% dari potensi PDB sesuai kekuasaan 14% saya di parlemen dan kabinet.

Tidak usah serakah, dengan 25 triliun itu saja sudah lebih cukup untuk lebih berkuasa pada 2029. Sebab, orang-orang saya sudah mampu membiayai diri sendiri tinggal memikirkan bagaimana melipatgandakan suara dan kursi di parlemen dan mencalonkan presiden. Walaupun untuk melipatgandakan kursi di parlemen butuh tiga kali lipat sumberdaya kekuatan, misalkan itu sumberdaya daya uang berarti butuh sekitar 15 triliun. 

Sebab tidak lagi mendirikan partai dan biaya awal yang besar, setidaknya hanya butuh 1 triliun setiap tingkatan yakni berarti 3 triliun, untuk melipatgandakan kursi butuh tiga kali lipat berarti hanya butuh 9 triliun. Sedangkan orang saya yang duduk di parlemen sudah mampu membiayai diri, berarti hanya butuh 6 triliun untuk melipatgandakan. 

Artinya kurang lebih sama yang harus dikeluarkan oleh pemula atau yang ingin melipatgandakan investasi yang harus dikeluarkan dalam pemilu selanjutnya.

Tentunya karena sudah hampir satu periode, kekuatan selama itu pasti sudah terkonsolidasi dengan baik dan kuat. Artinya, sumber-sumber kekuatan setelah 2024 untuk partai atau orang-orang saya sudah terbentuk dan kuat, maksudnya penggunaan sumberdaya kekuatan lebih efektif dan efesien. 

Artinya benar-benar hanya dengan 6 triliun dapat memastikan untuk melipatgandakan kursi yang 80 menjadi 160 kursi pada 2029, bahkan bisa-bisa lebih. Hanya dengan 160 saja sudah bisa menguasai 28% parlemen. 

Katanya, untuk mendanai pilpres kurang lebih 7 hingga 9 triliun untuk dapat memastikan menang pilpres secara hitung-hitungan, anggaplah sebab saya bernafsu dan haus kekuasaan, saya calonkan presiden dengan 9 triliun untuk pilpres atau pemilu eksekutif ditambah melipatgandakan kursi parlemen 6 triliun, jadi total 15 triliun. 

Secara asumsi dan perhitungan diatas kertas, dengan partai mencalonkan kadernya di pilpres maka partai tersebut dapat melipatgandakan tiga kali lipat dengan kekuatan 15 triliun dan pengalaman dalam satu periode. Artinya bisa diperkirakan 80 kursi dikali tiga yakni 240 kursi legislatif, yakni punya kekuasaan sekitar 42% parlemen di tahun 2029 dan punya presiden lagi. 

Sedangkan 25 triliun yang dikumpulkan selama 2024 ke 2029 hanya menggunakan 15 triliun untuk memperbesar kekuasaan, masih ada 10 triliun selama lima tahun yang bisa ini disebut keuntungan dengan hanya modal 5 triliun, bagaimana kalau 10 triliun itu buat habis-habisan pertarungan Pemilu 2029 juga.

Artinya 25 triliun untuk bertarung dengan partai-partai yang ada apa gak bisa melibas semua partai-partai tersebut, sebab keuntungan 42% parlemen dan punya presiden adalah kekuasaan yang besar. 

Bisa bayangkan, kekuasaan 42% parlemen (DPR RI) dan kekuatan presiden, sumber kekayaan Indonesia yang mana yang tidak bisa digenggam dan sumber kekuatan yang mana yang tidak akan ada ditelunjuk saya. Jika itu dihitung dengan uang yakni 25 triliun dikalikan tiga 75 triliun. 

Dengan kekuasaan 42% saja dalam satu periode apa saya tidak akan menyamai raja-raja Arab atau penguasa monarki Inggris, raja Thailand pun kekayaannya akan cepat terkejar. Pertanyaannya, ini negara republik apa negara monarki itu saja?

Bagi saya yang hanya ingin menguasai sumber kekayaan Indonesia, cukup menguasai DPR RI. 

Jadi bagaimana langkah saya melipatgandakan kursi yang saya peroleh 2024 menjadi dua atau tiga kali lipat pada Pemilu 2029 agar tidak hanya berkhayal tapi punya langkah pasti, tentunya saya harus memahami sistem pemilu proporsional serta cara penghitungan suara dan pembagian kursi dengan sistem Sainte Lague Murni yang digunakan dalam Pemilu legislatif Indonesia. 

Memahami sistem pemilu proporsional dengan 80 dapil diatas, sudah dapat 14% kursi, maka untuk melipatgandakan butuh pemahaman sistem Sainte Lague.

Rumus Sainte Lague sebagai sistem penghitungan suara dan pembagian kursi yakni Q=V:(Sx2+1), Q adalah quote atau kuota/jatah kursi yang dimenangkan oleh satu partai dalam satu dapil dari V yakni value (vote/voice) atau nilai suara yang diperoleh oleh satu partai dibagi denominator atau angka ganjil (1,3,5,7,dst). 

Denominator ini sebagai pembagi untuk menentukan satu partai itu rata-rata tertinggi dari partai lain hingga mendapatkan distribusi satu kursi, awalnya setiap partai adalah nol kursi atau tidak ada kursi yang diperoleh. 

Angka ganjil ini berasal dari kursi yang diperoleh dikali dua ditambah satu yang setiap partai awalnya nol kursi, maka 0 kursi dikali 2 ditambah 1 sama dengan 1 (0x2+1=1) seperti rumus diatas Sx2+1 untuk membagi V atau suara yang diperoleh, dimana S itu adalah seat atau total kursi yang diperoleh di kali 2 ditambah 1 untuk menentukan denominator pembagi. 

Maka semua diawal setiap partai perolehan suaranya dibagi 1 untuk menentukan rata-rata tertinggi dari partai lain untuk mendapatkan distribusi satu kursi. 

Otomatis suara yang tertinggi diawal akan dapat satu kursi misal itu partai B, jika partai B yang sudah dapat kursi maka S atau kursi yang diperoleh dihitung lagi khusus partai B tersebut, yakni 1 kursi dikali 2 ditambah 1 (1x2+1=3), maka untuk distribusi kursi kedua total suara sah partai B yang diperoleh dibagi 3.

Otomatis rata-rata suara partai B turun, walaupun turun tapi masih rata-rata tertinggi dari partai lain setelah dibagi 3 maka partai B dapat distribusi kursi 2, tapi jika ada partai lain yang lebih tinggi secara rata-rata misal partai D, tentunya partai D tersebut yang mendapatkan distribusi kursi kedua dari alokasi kursi kuota satu dapil.

Selanjutnya, misalnya ternyata partai D rata-rata masih tertinggi suaranya dari partai lain setelah dibagi 3 untuk distribusi kursi ketiga yang otomatis partai D mendapatkan kursi tersebut, maka untuk distribusi kursi keempat partai D total suara sah yang diperoleh dibagi 5, sebab partai D sudah dapat total 2 kursi yakni dari distribusi kedua dan ketiga, yakni 2 kursi dikali 2 ditambah 1 yakni 5 (2x2+1=5). 

Artinya setiap kursi bertambah maka denominator pembagi semakin tinggi yakni mulai dari 1,3,5,7,9 dst, seperti itu seterusnya hingga kuota kursi dalam satu dapil itu terdistribusikan semua sesuai rata-rata tertinggi. 

Misalkan hanya ada satu partai yang ternyata menguasai semua suara, partai lain tidak dapat suara, alokasi kursi di dapil tersebut ada 8 kuota, maka denominator distribusi kursi ke 8 yakni 15, sebab partai tersebut sudah dapat total 7 kursi yakni 7x2+1=15, karena hanya partai tersebut yang dapat suara sah maka otomatis partai tersebut memperebutkan kursi terakhir yakni ke 8 maka total suaranya dibagi 15.  

Artinya, denominator terbesar akan digunakan jika hanya ada satu partai yang menguasai seluruh suara dalam satu dapil tersebut, jika alokasi kuota kursi di dapil tersebut 10 kursi berarti denominator terbesar yakni 19, misal hanya 3 kursi yakni 5 denominator terbesar, begitulah sesuai total kuota kursi di dapil tersebut denominator terbesar tersebut.

Ada hukum dalam Sainte Lague yang berbunyi "Pada umumnya metode pembagi terbesar (denominator) pada total kuota kursi dalam keseluruhan suara sah satu dapil, membawa hasil yang hampir serupa dan menjadi ambang batas suara yang dapat diasumsikan menjadi persentase suara minimal yang diperlukan untuk memperoleh kursi di parlemen". 

Maksudnya, misalkan ambil contoh dapil Jatim I DPR RI yang meliputi Surabaya dan Sidoarjo yang total kuota alokasi 10 kursi dengan DPT 3.683.174, dengan tingkat kehadiran atau pengguna hak pilih 2.816.540, suara tidak sah 336.466, maka total suara sah 2.480.074 setelah perhitungan keseluruhan suara yang diperoleh semua partai. 

Denominator terbesar yakni 19 dari 10 kursi (9x2+1=19) yang artinya jika hanya ada satu partai memperoleh suara sah tersebut untuk distribusi kursi ke 10 maka total kursi yang diperoleh yakni 9 kursi dikali 2 ditambah 1, yakni 19 metode pembagi terbesar untuk mendapatkan kursi ke 10. 

2.480.074 total suara sah dalam satu dapil dibagi 19 yakni 130.530,211 suara. Maksud membawa hampir serupa diatas yakni ketika 130.530,211 (seratus tiga puluh ribu lima ratus tiga puluh koma dua, satu, satu) ketika dikali 19 yakni totalnya 2.480.074. Artinya jika partai ingin menguasai seluruh kursi di dapil tersebut harus punya suara keseluruhan yakni 2.480.074 suara sah, atau maksud serupa disini harga satu kursi penuh ketika 130.530,211 x 2 = 261.060,422.

Maksudnya harga kursi penuh ini yakni rata-rata harga satu kursi dari total suara sah satu dapil dibagi total kuota alokasi kursi di dapil tersebut, yaitu 2.480.074 : 10 = 248.007,4. 

Jika menggunakan sistem Kuota Hare seperti 2014 atau pemilu sebelum-sebelumnya sebelum 2019 yang menggunakan Sainte Lague, kursi penuh tersebut yakni 248.007,4 juga sebagai bilangan pembagi pemilih (BPP) dalam kuota hare, sedangkan dalam Sainte Lague menggunakan rumus Sx2+1 atau bilangan ganjil 1,3,5 dst. sebagai pembagi atau pengganti BPP Kuota Hare di dalam Sainte Lague.

Artinya, harga satu kursi yakni nilai atau suara kursi dikali 2 untuk kelipatannya ditambah 1.

Serupa yang dimaksud, yakni 261.060,422 harga satu kursi dalam Sainte Lague serupa 248.007,4 rata-rata harga satu kursi secara perhitungan sebaran peluang, dimana 248.007,4 dalam kuota hare dijadikan BPP sedangkan dalam Sainte Lague digantikan denominator angka ganjil. 

Walaupun menggunakan Sainte Lague lebih mahal satu kursi tersebut dari pada menggunakan Kuota Hare, yakni sekitar 5%. 

Secara teori, semakin rendah kuota kursi satu dapil maka semakin lebih tinggi persentase kemahalan. Misal dalam ketentuan paling rendah adalah 3 kursi dalam satu dapil menggunakan suara sah diatas, misal 2.480.074 : 3 = 826.691,333, lalu 2.480.074 : 5 = 496.014,8 jika dikali 2 maka 992.029,6. Maka di Sainte Lague 992.029,6 lebih mahal sekitar 16.7% dari pada 826.691,333. 

Artinya secara proporsional Sainte Lague lebih representatif dari pada Kuota Hare sebab keterwakilan lebih tinggi, maksudnya jika partai kecil ingin mendapatkan satu kursi lebih mahal sekitar 5% (kuota 10 kursi) hingga 16,7% (kuota 3 kursi) bergantung ada berapa alokasi kuota kursi di dapil tersebut. 

Sebab mau Kuota Hare atau Sainte Lague butuh 50% dari harga satu kursi, tapi di Sainte Lague lebih mahal dari kuota hare sekitar 52,5% (5%) sampai dengan 60% (8,35%) dari 50% kuota hare. 

Hal ini memang secara teori menguntungkan partai besar sebab punya kemampuan meraup suara lebih besar dan merugikan partai kecil sebab punya kemampuan kecil mendapatkan suara. Tapi secara konstitusional sekali lagi sistem Sainte Lague ini lebih proporsional atau lebih mewakili lebih banyak. 

Artinya partai kecil/pemula atau baru tidak hanya serta menargetkan 50% ambang batas suara minimal dari rata-rata tertinggi harga satu kursi tapi harus menghitung betul berapa kuota kursi di dapil tersebut, sebab kalau hanya tiga akan lebih mahal yakni 60% dari harga satu kursi, kalau sepuluh kursi kuotanya berarti 52,5% ketimbang kuota hare 50%.

Bahkan di negara lain untuk denominator pertama dimodifikasi 1,4 bahkan ada yang sampai 1,8 yang artinya persentase untuk dapat satu kursi 1.4 ini sekitar 70% dan/atau 1,8 ini 90% dari rata-rata tertinggi harga satu kursi, jadi bukan 1 yang disebut Sainte Lague campuran. Kalau Sainte Lague Murni denominator yakni 1,3,5,7, dst. Tapi di Sainte Lague campuran ditentukan 1,4 untuk kursi pertama atau 1,8 kemudian denominator kursi kedua seterusnya seperti biasa 3, 5, 7, dst. 

Dimana 1 diasumsikan separuh atau 50% dari rata-rata tertinggi satu kursi maka dengan 1,4 harus punya 70% atau 1,8 yakni punya 90% dari suara rata-rata tertinggi. Artinya dengan Sainte Lague Murni partai kecil masih sangat diuntungkan atau dikasih kesempatan untuk masuk DPR RI walaupun ada ambang batas parlemen atau Parliamentary Threshold 4%. 

Hal ini secara asumsi 4% adalah 40% dari harga satu kursi tapi untuk dapat kursi didapil tetap 50%, artinya partai dipaksa proporsional sebagai keterwakilan, yakni hanya partai yang hanya punya suara lebih dari separuh atau 50% yang bisa dapat mewakili satu kursi atau dinyatakan menang dapat satu kursi. 

Parliamentary Threshold harusnya 10% kalau benar-benar ingin proporsional yang artinya satu kursi benar-benar 100% memenuhi harga satu kursi keterwakilan suara rakyat. Lebih dari sepuluh menyalahi prinsip proporsional, tapi di bawah 10% masih wajar, yang artinya parliamentary threshold dinaikkan lagi lebih dari 4% masih bisa asal tidak melewati 10%. 

Bisa saja parliamentary threshold diturunkan tapi ambang batas suara untuk dapat satu kursi dinaikkan tidak 50% atau dibagi 1 diawal semua partai, tapi dibagi 1,4 atau 1,8. 

Pilihannya untuk membatasi partai yakni menaikkan ambang batas parlemen (parliamentary threshold 4%) atau menaikkan ambang batas suara minimal untuk dapat satu kursi (pembagi diawal setiap partai dibagi 1,4 atau 1,8). 

Sebab semakin sedikit partai yang masuk parlemen dan kabinet sebagai indikator pemerintahan berjalan baik dan sesuai ketentuan konstitusi, hanya partai yang benar-benar punya kemampuan dan representatif proporsional keterwakilan benar-benar mewakili rakyat yang bisa masuk parlemen dan kabinet tentunya.

Mari lanjut memahami Sainte Lague Murni, dimana angka 130.530,211 seperti diatas ini adalah ambang batas suara minimal bagi seluruh partai yang menjadi kontestan atau peserta Pemilu untuk mendapatkan satu kursi. 

Tapi untuk mendapatkan dua kursi harus dikali 3, yakni 130.530 x 3 = 391.590, artinya jika menargetkan dua kursi dalam satu dapil harus punya 391.590 suara sebab ketika dibagi 3 masih 130.530, yakni masih mencapai ambang batas minimal suara untuk satu kursi. 

Misal menargetkan 3 kursi maka dikalikan 5, yakni 652.651 sebab ketika dibagi 5 masih 130.530, begitu seterusnya menargetkan berapapun kursi yang ingin diperoleh maka harus punya suara kelipatan denominator dari ambang batas suara minimal.

Sebenarnya harga satu kursi di Sainte Lague yakni 130.530 x 2 = 261.060, artinya 261.060 adalah 100% harga satu kursi sedangkan 130.530 adalah separuh atau 50% harga satu kursi. Jadi misalkan menargetkan 4 kursi tidak perlu kelipatan 4 cukup kali 3 ditambah 1, yakni 261.060 harga kursi penuh dikali 3 yakni 783.180 ditambah 1 atau 130.530 jadi total 913.710, maka ketika 913.710 dibagi 7 yakni 130.530, dimana 7 adalah denominator kursi ke 4 dimana kursi sebelum totalnya sudah dapat 3, maka 3x2+1=7. 

Jadi saya rasa bisa dipahami harga satu kursi penuh atau 100% dan separuh harga satu kursi penuh atau 50%, atau pembagi terbesar pada total kuota kursi di dapil dengan total suara sah di dapil adalah 50% harga satu kursi penuh atau ambang batas suara minimal untuk dapat satu kursi. 

Bisa dipahami juga rata-rata tertinggi harga satu kursi yakni dari total suara sah satu dapil dibagi kuota kursi adalah harga satu kursi penuh, dan separuh dari itu adalah ambang batas suara minimal untuk dapat satu kursi.

Maka dalam sistem Sainte Lague ada hukum "persentase suara minimal yang diperlukan untuk memperoleh kursi di parlemen yakni 50% dari harga satu kursi penuh" yakni dari metode pembagi terbesar. Sebenarnya dalam sistem Kuota Hare juga berlaku demikian, misalkan menargetkan 2 kursi tidak perlu harus punya suara sah memenuhi dua kursi penuh atau dua kali BPP, cukup satu BPP atau kursi penuh ditambah separuh BPP.

Artinya, dalam sistem proporsional mau itu memakai Kuota Hare atau Sainte Lague untuk mendapatkan satu kursi diawal tidak perlu kursi penuh yakni sesuai rata-rata tertinggi satu kursi atau memenuhi BPP, cukup separuh dari itu bisa dipastikan dapat satu kursi, hasil akhir Sainte Lague dan Kuota Hare tidak jauh berbeda walaupun Sainte Lague lebih mahal yang artinya lebih proporsional daripada Kuota Hare. 

Dalam Kuota Hare partai yang memenuhi BPP otomatis dapat kursi berlaku kelipatan, untuk memenuhi kuota alokasi kursi satu dapil, partai yang punya sisa suara tertinggi (suara yang tidak mencapai BPP) akan dapat distribusi kursi yang secara umum partai tersebut punya suara minimal diatas 50% dari BPP sampai kuota kursi teralokasi semua. 

Dalam Sainte Lague juga semacam itu sebenarnya, cuman kursi ditentukan dari rata-rata tertinggi setelah dibagi dengan denominator, yang untuk mendapatkan satu kursi untuk alokasi terakhir biasanya partai tersebut minimal punya separuh atau 50% dari rata-rata tertinggi harga satu kursi, begitu seterusnya sampai kouta kursi satu dapil tersebut teralokasikan semua.

Sebenarnya Kuota Hare sama dengan Sainte Lague, untuk menargetkan dua kursi misalnya maka separuh harga satu kursi tersebut dikali 3 untuk kursi kedua, sebab ketika dibagi tiga sama tinggal separuh. 

Begitu seterusnya jika menargetkan kursi berapapun, tinggal 50% dari harga satu kursi dikalikan denominator kursi yang ingin diperoleh, jika ingin 5 kursi tinggal kali 9, jika target ingin dapat 7 kursi tinggal kali 13 dalam satu dapil, denominator berbanding lurus dengan target kursi yang diharapkan.

Jadi bisa dipahami untuk menargetkan satu kursi saja cukup punya suara sah separuh atau 50% dari BPP (Kuota Hare) atau 50% dari rata-rata tertinggi suara satu kursi (Sainte Lague). Untuk melipatgandakan kursi maka 50% itu tinggal dikali denominator dari target kursi yang diinginkan. Denominator Sainte Lague, 1 kursi (1), 2 kursi (3), 3 kursi (5), 4 kursi (7), 5 kursi (9), 6 kursi (11), 7 kursi (13), 8 kursi (15), 9 kursi (17), 10 kursi (19), dan seterusnya. 

Misalkan target satu kursi ya kali 1, target dua kursi 50% BPP atau rata-rata tertinggi harga satu kursi dikali 3, target 8 kursi tinggal kali 15, begitu seterusnya bergantung target kursi yang di inginkan. Sebab dengan sistem proporsional untuk pemilu legislatif prinsipnya 1 kursi mewakili sekian penduduk yang sudah ditentukan secara proporsional. 

Berbeda dengan sistem mayoritas/pluralitas atau disebut sistem distrik prinsipnya 1 kursi mewakili secara mayoritas untuk dapat satu kursi atau menang, ini berlaku di pemilu DPD dan eksekutif, artinya bukan proporsional tapi mayoritas.

Maka dalam sistem proporsional dapat dipastikan target suara minimal yang harus diperoleh, sedangkan di sistem mayoritas tidak bisa menentukan target suara minimal tapi harus menguasai kawasan/distrik atau suara mayoritas. 

Apalagi dalam pemilu presiden dengan sistem mayoritas yang dimodifikasi, untuk menang tidak hanya mendapatkan suara mayoritas tapi harus menang diatas 50% lebih dan di separuh propinsi yang ada punya minimal 20% suara, jika kandidat lebih dari dua. 

Tapi kalau hanya dua kandidat berlaku suara yang tertinggi dinyatakan pemenang, sebab secara logika pemenang dapat dipastikan dapat suara tertinggi lebih dari 50% suara atau diasumsikan mayoritas, walaupun belum pasti punya suara 20% di salah satu propinsi seperti yang terjadi di Pilpres 2019. 

Tapi aturan menyatakan semacam itu, dimana jika ada lebih dua kandidat lebih sulit untuk menang sebab tidak boleh ada propinsi yang suaranya dibawah 20% dan harus menang dengan suara 50% lebih, tapi jika dua kandidat semua syarat itu tidak berlaku yang penting menang dengan suara tertinggi. Prinsipnya pemilu yakni kursi mewakili keterwakilan mayoritas legitimasi penduduk.

Hal ini tidak berlaku di pemilu kepala daerah (kab/kota dan gubernur) yang cukup menang secara mayoritas. Artinya, untuk menang Pilkada cukup suara mayoritas, dinyatakan menang ketika suara tertinggi dari kandidat lain maka otomatis dinyatakan pemenang, entah ada berapa kandidat pun. 

Tapi intinya, presiden terpilih harus mendapatkan legitimasi secara mayoritas lebih dari 50% sama dengan anggota legislatif, akan tetapi di pemilu DPD dan Pilkada cukup suara mayoritas sudah dapat legitimasi walaupun suara yang diperoleh jauh dari 50% lebih, misal itu lebih dari tiga pasang bisa dipastikan pemenang dibawah 50% suara yang memenangkan Pilkada tersebut. 

Memang tidak ada kekuasaan yang legitimasi sempurna atau kekuasaan tidak lepas dari paradoks pertentangan legitimasi. 

Tapi bisa dinilai sistem pemilu untuk eksekutif atau legislatif sudah sangat proporsional dan legitimate keterwakilan kekuasaan kedaulatan rakyat yang diserahkan pada wakilnya di eksekutif maupun di legislatif. Apalagi di pilpres sistem mayoritas dimodifikasi untuk menguatkan presidensial secara legitimasi minimal 50% nasional dan tidak ada dibawah 20% di lebih separuh propinsi. 

Pilkada seberapa pun legitimasi suara rakyat tidak akan menghasilkan gejolak signifikan, berbeda ketika itu kepemimpinan nasional atau parlemen, sudah benar harus minimal mendapatkan legitimasi diatas 50%.

Tentunya secara pendekatan untuk menang dalam sistem pemilu proporsional (legislatif) dan sistem pemilu mayoritas (eksekutif/DPD) sangat berbeda. Apalagi untuk untuk memastikan mendapatkan target suara minimal untuk jadi atau menang. 

Tentang strategi memastikan kemenangan atau dapat kursi dengan sistem proporsional atau sistem mayoritas akan saya sampaikan lain waktu bagaimana memastikan suara minimal untuk kemenangan atau dapat kursi. Sebab berbicara strategi itu intinya bagaimana membangun sumber kekuatan untuk dikonversi pada kekuasaan atau menang pemilu entah di sistem proporsional atau sistem mayoritas, tentunya itu akan jauh pembahasan dari yang disampaikan disini.

Setidaknya saya sebagai pemula yang ingin menguasai kekuasaan pemerintahan negara dapat gambaran awal. Bagaimana diawal lolos parliamentary threshold 4% dengan memaksimalkan mendapatkan satu kursi dalam satu dapil, yang ada 80 dapil untuk DPR RI, dengan itu sudah dapat 14% kursi parlemen walaupun hanya memperoleh 7% suara nasional. 

Tentunya sebagai pemula tidak dapat ikut pilpres tapi sebab syarat harus punya 20% kursi DPR RI atau 25% suara nasional untuk mencalonkan presiden. Setidaknya dengan hasil pemilu 2024 sudah menjadi pemula yang diperhitungkan dan bagaimana pemilu 2029 menjadi pemain kunci untuk menguasai pemerintahan negara. 

Perlu dipahami juga, dapat satu kursi DPR RI kemungkinan besar akan pararel dapat satu kursi setiap dapil untuk Pileg DPRD kabupaten kota dan DPRD propinsi, termasuk persentase kursi yang dikuasai.

Setiap warga negara Indonesia punya hak yang sama sebab ini negara republik, demokrasi adalah jalan bagi setiap penduduk punya hak yang sama untuk mengatur memenuhi kebutuhan politiknya yang idiil maupun yang materiil, walaupun dengan perwakilan. 

Sebagaimana poin 4 Pancasila, kata permusyawaratan atau perwakilan sebenarnya mengharapkan lebih menekankan sistem pemerintahan parlementer daripada sistem pemerintahan presidensial. 

Negara Indonesia yang kita cintai ini pernah memakai parlementer dan presidensial silih berganti, sejak tahun 1971 atau setelah pemilu 1972 sampai sekarang memastikan sistem pemerintahan presidensial. 

Secara konstitusi yang tidak boleh berubah adalah bentuk negara kesatuan dan sistem negara republik yang bisa dipahami NKRI harga mati, tapi sistem pemerintahan tentu bergantung pada siapa yang berkuasa yakni DPR RI dan Presiden waktu itu, mau itu memakai parlementer atau presidensial asalkan tidak merubah bentuk dan sistem negara NKRI.

Dalam negara republik secara prinsip lebih tepat menggunakan sistem pemerintahan parlementer daripada sistem pemerintahan presidensial. Pendapat saya semakin tinggi nilai demokrasi inti dari sistem negara republik maka harus semakin proporsional keterwakilan dan wakil rakyat tersebut semakin luas kekuasaan mengatur kebutuhan pemerintahan. 

Hal itu hanya bisa dicapai oleh sistem pemerintahan parlementer, sedangkan sistem pemerintahan presidensial akan condong pada bentuk negara monarki bukan bentuk negara republik kenyataannya.

Dalam republik wakil rakyat di parlemen lebih luas kekuasaan membuat perundangan dan pelaksanaannya, walaupun presiden punya hak juga membuat perundangan seperti legislatif sebagaimana dalam UUD 45 dan turunannya. 

Menurut saya, menguatkan sistem presidensial akan menggerus kekuasaan kolektif rakyat, dimana menurut UUD 45 kekuasaan pemerintahan atau kedaulatan negara berada ditangan rakyat. Hal ini terbukti, menurunkan derajat republik atau kerakyatan sama dengan jabatan publik, yakni MPR RI diturunkan derajatnya disamakan dengan lembaga tinggi negara lainnya yang seharusnya MPR RI adalah lembaga tertinggi negara bukan lembaga tinggi saja.

Terlebih menghilangkan GBHN, dimana itu adalah penjewantahan kehendak rakyat secara umum, hasil dari kerakyatan atau republik yakni adanya MPR RI. Hal ini digantikan oleh visi-misi presiden, seperti kedaulatan rakyat dikangkangi oleh kehendak pribadi presiden bukan kehendak rakyat. Pendapat saya, mengembalikan MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara dan GBHN adalah bagaimana mengembalikan kedaulatan rakyat sesungguhnya. 

Walaupun sekarang ada gagasan mengembalikan GBHN dengan PPHN sebagai cara mengembalikan prinsip kehendak rakyat yang berdaulat daripada visi-misi presiden yang pendapat saya lebih pada kehendak individualisme pribadi presiden, akan tetapi tidak mengembalikan MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara suatu hal yang kontraproduktif walaupun ada PPHN. 

Sebab PPHN adalah kehendak rakyat yang dihasilkan oleh penjelmaan kedaulatan rakyat yakni MPR RI, jika MPR RI bukan lembaga tertinggi maka akan kontraproduktif dengan DPR RI atau Presiden, yang bisa dipahami DPR RI bisa saja mementingkan partai terbukti adanya fraksi partai, presiden tetap memaksakan kehendak pribadi sebagaimana bukti adanya visi-misi pribadi presiden. 

Fraksi tentunya ada sebab ini bukan parlementer, dimana fraksi untuk menghimpun aspirasi untuk diusulkan, berbeda di sistem parlementer yang tidak ada fraksi tapi partai yang tidak berkuasa membuat kabinet bayangan atau kabinet oposisi. Bisa dipahami fraksi dalam sistem presidensial adalah kabinet bayangan dari presiden yang sah dalam menjalankan pemerintahan. 

Iya wajar semacam itu, sebab partai pengusung pun tidak otomatis memiliki kabinet, sebab presiden dengan visi-misi nya mengelak bahwa mewakili rakyat bukan mewakili partai, dan itu umum eksekutif memperlakukan semacam itu pada partai pengusungnya, mulai tingkat kabupaten sampai pemerintah pusat. Adanya fraksi menjadi nilai tawar bahwa bahwa partai membawa aspirasi rakyat atau sebagai negosiasi positioning kekuasaan. 

Berbeda dengan sistem parlementer tidak ada fraksi, tapi adanya kabinet dari partai tersebut atau kabinet oposisi/bayangan dari partai yang kalah tidak memegang eksekutif. Wajar partai punya kabinet sebab partai adalah penjewantahan kehendak rakyat yang sejalan dengan prinsip bentuk negara republik atau kedaulatan pemerintahan negara ditangan rakyat. 

Tapi presiden punya kabinet? Apakah tidak sama dengan raja di sistem monarki absolut? Dimana parlemen dibentuk atau ditunjuk raja sebagai penasehat semata. Faktanya, lebih banyak UU yang disahkan berasal dari presiden ketimbang UU yang dihasilkan atau inisiatif DPR RI.

Reformasi pun tidak jauh berbeda dengan orde baru, malah menguatkan presidensial alih-alih mengimbangkan dengan DPR RI. Justru menurunkan fungsi MPR RI dan menghilangkan GBHN yang menurut pendapat saya itu melanggar poin 4 dan 5 Pancasila serta melanggar prinsip kedaulatan rakyat dan bentuk negara republik. Presiden bukan lagi mandataris rakyat, tapi menurut visi-misi pribadinya. 

Dalam UUD 45 sudah diatur bagaimana tidak serta dan susahnya MPR RI memaksulkan presiden tapi kenapa masih diturunkan jadi jabatan publik atau sama lembaga tinggi bukan tertinggi. Hemat saya, menguatkan sistem presidensial melanggar prinsip poin 4 Pancasila.

Agenda reformasi baik, yang tidak baik yakni ketika prinsip bentuk negara republik dikesampingkan atau kedaulatan rakyat dilanggar yang itu inti dari kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Bagi saya dan ini semoga menjadi harapan semua rakyat Indonesia, mau itu parlementer atau presidensial sistem pemerintahan negara ini jangan sampai melanggar prinsip bentuk negara republik dan kedaulatan rakyat. 

Minimal kembalikan MPR RI dan GBHN sebagai lembaga tinggi negara, walaupun menguatkan presidensial, jika tidak GBHN atau PPHN sebagai kedaulatan rakyat bukan visi-misi partai atau presiden.

Hal yang melenceng dari prinsip tentunya akan menjadi sumber permasalahan yang mendasar kenapa pemerintahan negara jauh dari rakyat dan hanya diatur oleh segelintir elit kepentingan saja. Seperti gambaran diatas, jika saya punya partai yang punya sumber daya yang kuat maka bisa saja saya menguasai kekuasaan pemerintahan negara ini. 

Apalagi saya dapat menjadikan presiden, kehendak saya pribadi akan saya jadikan visi-misi untuk diwujudkan sebagai program pemerintahan, tentunya saya adalah pribadi maka pasti akhirnya akan individualis, yakni keinginan saya pribadi saja bagaimana program pemerintahan itu untuk memenuhi kebutuhan pribadi saya.

Saya berpandangan, sebagai pemula saja saya mampu mendapatkan satu kursi setiap dapil yang 80 itu. Sebenarnya jika mau dan memahami sistem pemilu proporsional dengan sistem penghitungan dan pembagian kursi sistem Sainte Lague tanpa menunggu 2029, sebagai pemula pada pemilu 2024 saya mampu melipatgandakan kursi yang saya targetkan, bisa lebih dari 28% bahkan bisa 56% kursi DPR RI.

 Walaupun tidak punya presiden, tentunya presiden akan tunduk pada parlemen, faktanya presiden selalu merangkul kekuatan parlemen untuk duduk di kabinet.

Maksud saya, parlemen adalah inti sebenarnya kekuatan rakyat untuk mengatur kebutuhan politiknya dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Jika pun saya tidak punya presiden sebagai pemula, dengan hanya 7% suara rakyat dan 14% kursi DPR RI pasti sudah diperhitungkan, apalagi dapat melipatgandakan dan punya presiden. 

Sebagai elit kepentingan di negara ini juga sama sebagai warga negara, pertanyaannya apakah saya mewakili semua kepentingan rakyat atau hanya kepentingan elit politik pribadi saja jika punya kekuasaan seperti itu?

Apalagi jika punya presiden, saya lebih leluasa mewujudkan kepentingan elit politik kepentingan pribadi saya, sebab tidak di bebani keinginan rakyat secara umum. 

Visi-misi presiden yang ada bukan visi-misi rakyat atau partai, apalagi kabinet dan legislatif ingin mewujudkan impian rakyat, tidak ada itu, semua impian individu presiden dalam visi-misinya. Secara pribadi manusia condong individualis jika punya kekuasaan dan kekuatan berlebih, maka seleluasa saya apa yang saya akan wujudkan sebagaimana visi-misi presiden, lain tentunya jika ada MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara dan GBHN/PPHN sebagai perwujudan kedaulatan keinginan rakyat, semua akan kontra jika tidak sesuai GBHN/PPHN. 

Artinya, penyelenggaraan pemerintahan negara ini bisa saya simpulkan melenceng dari prinsip NKRI yakni kesatuan dan republik atau kerakyatan, simpelnya tidak ada lagi kedaulatan rakyat, yang ada kedaulatan elit politik kepentingan yang siapapun berkehendak menguasai pemerintahan negara ini. 

Jika benar-benar saya punya kekuatan seperti diatas, entah saya sebagai orang mengendalikan partai atau hanya mampu mendanai orang-orang untuk duduk dijabatan publik mau di legislatif atau eksekutif, bisa dibayangkan bagaimana tercekiknya penduduk Indonesia sebab kebutuhan politiknya terkesampingkan oleh individu yang punya kekuatan seperti bayangan saya.

Tidak ada yang salah dengan pemilu, tidak salah menggunakan sistem proporsional untuk legislatif DPR dan sistem mayoritas DPD/Presiden, mau penghitungan dan pembagian kursi dengan sistem Sainte Lague atau sistem suara tertinggi, itu semua benar apa adanya dalam hal pemilu dan demokrasi di bentuk negara republik. 

Cuman yang salah adalah ketika penyelenggaraan pemerintahan negara atau sistem pemerintahan melanggar prinsip bentuk negara republik dan/atau melanggar prinsip poin 4 Pancasila yakni jauh dari apa yang tersusun dalam pembukaan UUD 45, mau menggunakan sistem pemilu dan penghitungan serta pembagian kursi apapun akan selalu salah hasilnya dan melenceng dari pembukaan UUD 45. 

Sebab sebaik apapun orang yang dihasilkan oleh pemilu sebagai input pemerintahan, pemerintahan melenceng dari prinsip bentuk negara republik dan kedaulatan rakyat akan tetap buruk pemerintahan, apalagi jika elit kepentingan yang individualis masuk pemerintahan walaupun dengan pemilu yang benar dan baik seperti sekarang pun roda pemerintahan tetap terlepas dari relnya. 

Bisa disimpulkan rel poin 4 Pancasila dan tujuan poin 5 Pancasila sudah hilang lepas dari pemerintah negara ini. MPR RI atau parlementer (poin 4 Pancasila) dan GBHN/PPHN (poin 5 Pancasila) telah dihilangkan, sekarang anggap saja hanya ada poin 1, 2 dan 3 Pancasila, apa iya ada kalau jewantahnya yakni pemerintahan negara tidak ada atau tidak sesuai. 

Secara hirarki, poin 1 dan 2 Pancasila adalah sistem negara yakni republik (berdasarkan ketuhanan dan kemanusiaan), sedangkan poin 3 adalah bentuk negara kesatuan (persatuan), sistem pemerintahan poin 4 Pancasila, tujuan negara adalah poin 5. Dimana pemerintahan adalah alat negara untuk mewujudkan kehendaknya, semacam keadilan (negara) tidak akan tegak jika tidak kita (pemerintahan) sebagai tangan dan mulutnya. Bisa disimpulkan, negara ini tidak punya tangan dan mulutnya untuk mewujudkan kehendak rakyat/republik.

Sebenarnya, demokrasi kita sangat baik dengan memberikan hak yang sama untuk mengisi jabatan publik atau personalia yang menjalankan penyelenggaraan pemerintahan negara. Dari sudut apapun demokrasi kita bisa dibilang terbaik, yang tidak baik adalah memberikan hak pada egosentris pribadi atau individualis mewujudkan kehendak pribadinya, bukan kepentingan kolektif rakyat/republik. 

Saya tidak mengatakan bahwa tatapemerintahan melenceng dari bentuk negara republik dan berdasarkan kedaulatan rakyat, tapi itu sepertinya disengaja dilanggar oleh orang yang mengaku reformis. Jangan salahkan demokrasi sebab itu adalah alat negara republik, dan sekali lagi saya tidak menyalahkan agenda reformasi, tapi saya benar-benar menyalahkan mereka yang melanggar prinsip bentuk negara republik dan kedaulatan rakyat.

Apakah sebagai rakyat kita akan menyalahkan pendahulu atau pemerintahan sekarang, dalam negara republik semua adalah tanggung jawab bersama. Kita tidak bisa menyalahkan siapapun, tapi perlu disadari bahwa kekuasaan rakyat diwakili oleh orang yang sekarang mengisi jabatan publik atau menjalankan pemerintahan. 

Kita bisa mengatakan perubahan dimulai dari diri sendiri, tapi merubah atau mengembalikan pemerintahan ini sesuai NKRI atau pembukaan UUD 45 perlu kekuatan kolektif, terutama yang duduk dipemerintahan sekarang, sebagai wakil-wakil rakyat mau itu birokrasi atau legislatif maupun eksekutif perwakilan kekuasaan kedaulatan rakyat.

Kembali lagi, bagaimana jika saya seorang individu atau hanya elit kepentingan, yang sudah dipahami secara umum, bahwa segelintir elit punya karpet merah dan keleluasaan mewujudkan kehendak egosentris pribadi dan kepentingan apapun secara individu dipemerintahan negara ini, seperti keterangan diatas. 

Dengan menguasai pemerintahan negara yang memang semestinya seperti sekarang lewat pemilu, tapi tatapemerintahan membuka lebar untuk keuntungan pribadi, apakah saya akan melewatkan kesempatan emas ini, menjadi raja kecil awalnya 2024 lalu benar-benar menjadi raja pada 2029. Sebab tatapemerintahan negara melenceng dari prinsip bentuk negara republik dan kedaulatan rakyat, lebih pada monarki dan individualis seorang raja.

Bayangkan kekuasaan 14% kursi parlemen sebagai pemula, dan 2029 dapat melipatgandakan menjadi 28% serta punya presiden. Semua sumber-sumber kekuatan politik dan sumber kekayaan Indonesia yang sebesar itu, bayangkan jika saya fasis, nafsu tidak terkontrol, rasa haus dan ingin mempertahankan kekuasaan yang tidak berkesudahan. 

Apalagi ada kekuatan luar negeri yang mau tidak mau saya harus tunduk, hal ini tentu membahayakan dan mengorbankan rakyat, kalau tekanan dalam negeri tentu pasti akan dihadapi yang cenderung merugikan dan mensensarakan rakyat secara represif, bukan representatif. 

Kecuali sebaliknya, misal sebab saya cinta negara kesatuan republik Indonesia ini dan berpikir bahwa sistem pemerintahan harus kembali pada prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana mana poin 4 Pancasila, tentunya negara ini menjadi negara yang akan diperhitungkan sebab poin 5 Pancasila akan dengan sendirinya terwujud dan menjadi pemain penting dalam percaturan politik dunia, sebab kemanunggalan rakyat dengan pemerintahan dalam menjalankan negara.

Negara akan menuju ke hal baik itu, jika partai juga kuat dan dibesarkan sebagai karakter partai kader, bagaimana tulang punggung kekuatan berada pada kader untuk kepemimpinan yang akan mengisi personalia pemerintahan negara. 

Sebab pandangan saya, hanya partai kader yang menekankan sosialisasi politik sebagaimana pembukaan UUD 45, yang akan mengembalikan kejayaan negara ini, setidaknya mengembalikan sistem tatapemerintahan sesuai bentuk negara kesatuan dan sistem negara republik, yakni benar-benar NKRI artinya kembali pada rel sebenarnya.

Sering selentingan kabar bahwa sistem pemerintahan negara yang berjalan ini memang dilencengkan oleh kekuatan luar negri atau ada kekuatan negara lain yang menggeser kedaulatan rakyat pada kedaulatan segelintir elit negara lain tersebut. Menurut saya, hal itu wajar tinggal bagaimana kita kontra kekuatan untuk menghadapi itu. 

Jika partai kader, saya rasa akan bisa menghadapi tantangan itu, entah kalau hanya partai karakter masa dan mementingkan segelintir elit kepentingan belaka.

Saya pikir, kita punya kekuatan untuk kontra kekuatan dengan mereka yang akan mengganggu kedaulatan rakyat atau kedaulatan negara. Kita punya semua kekuatan untuk menghadapi itu, tapi yang lebih penting adalah kekuatan parlemen dan baru setelah itu kekuatan eksekutif pokok utama menghadapi itu. Yakni kemanunggalan rakyat dengan pemerintahan dengan sistem partai kader yang mementingkan fungsi sosialisasi politik sebagaimana pembukaan UUD 45.

Jika bicara legislatif dan eksekutif yakni partai menjadi kunci utama, agar melaksanakan sosialisasi politik sesuai pembukaan UUD 45. Maka partai menjadi kekuatan utama bagaimana republik Indonesia ini sesuai kedaulatan rakyat. Sekali lagi bukan individu, sebagaimana tulisan saya sebelumnya yang menekankan partai yang sesuai UUD 45, UU kepartaian harus menekankan sosialisasi politik keanggotaan partai. 

Agar pemilu yang baik di menjadi jalan terbaik bagi kepemimpinan negara, bukan individu yang hanya haus ingin menguasai sumber kekayaan Indonesia belaka.

Harapan saya ini tentunya hanyalah mimpi, sebagaimana diawal saya tekankan, peringatan bahwa tulisan ini hanya pengandaian atau khayalan belaka. Katanya semua khayalan, mimpi, andai-andai adalah doa, semuanya meyakini bahwa Tuhan menjadikan doa dapat mengalahkan takdir-Nya. 

Tentunya, ini adalah otokritik sebagai bangsa negara ini yang mengharapkan hal-hal yang terbaik bagi negara serta alat-alatnya, terutama di pemerintahan dan kepartaian Indonesia. Sehingga takdir buruk pada negara Indonesia digagalkan oleh doa baik-baik dari seluruh anak-anak bangsa, sehingga Tuhan merubah keburukan dengan memberikan kebaikan pada negara ini.

Akhir kata sebagai penikmat kopi, mari seruput kopinya, agar mata melek...!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun