Â
Pemilihan umum merupakan wujud dalam penerapan sistem demokrasi di Indonesia yang mengikutsertakan peran masyarakat untuk dapat ikut langsung dalam memilih pemimpin negara[3]. Hal tersebut dapat membuktikan bahwa kedaulatan masih berada di tangan rakyat. Pemilu dapat dimaknai sebagai cara untuk mencapai demokrasi yang dapat memindahkan kedaulatan rakyat kepada calon pemimpin untuk menduduki bangku politik. Penyelenggara pemilu di Indonesia seharusnya sudah dapat menetapkan sistem pemilu yang bisa diterapkan dalan kurun waktu yang lama dengan model yang sama. Sehingga saat penyelenggara pemilu, tidak dibutuhkan lagi peraturan baru karena adanya peraturan yang sudah komprehensif dan koheren.Â
Â
Sistem politik di Indonesia adalah pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, yang hal tersebut merupakan bentuk dalam kedaulatan rakyat dimana rakyat dapat dengan langsung menentukan siapa yang memimpin dalam pemerintahannya[4]. Ini bukan termasuk hal yang baru dalam sistem pemerintahan Indonesia, karena di semua daerah yang ada di Indonesia yaitu di tingkatan desa secara langsung dapat memilih kepala desa, tapi baru pada tahun 2004 pemilihan kepala pemerintahan tingkat nasional seperti presiden dan wakil presiden yang baru. Masih banyak yang berpikiran mengenai pemilu hanyalah acara rutin lima tahunan yang dapat merugikan rakyat[5]. Hasil dari pemilu sendiri tidak dapat membangun masyarakat yang adil dan sejahtera atas keinginan para pendiri negara. Meskipun dapat kita sadari bahwa sebenarnya masih banyak masyarakat yang salah dalam memaknainya.
Â
Dalam sejarah pelaksanaan proses dalam pemilihan umum tersebut dilakukan secara terpisah. Seperti dalam pemilihan anggota legislatif dan pilpres. Hal ini membuat beberapa orang merasa bahwa pelaksanaan tersebut tidak efisien dan tidak sesuai dengan UUD 1945[6]. Mengenai permasalahan itu, Effendi Gazali mengajukan permohonan dalam pengujian UUD Nomor 42 tahun 2008 mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden terhadap UUD 1945 dalam keputusan MK Nomor 14/PUUXI/2013.
Â
Mahkamah Konstitusi memberikan pilihan mengenai bentuk keserentakan pemilu yang dapat dipilih dan dinilai konstitusional berdasarkan UUD 1945 yaitu :
Â
- Pemilihan umum serentak dalam memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD
- Pemilihan umum serentak dalam memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/WalikotaÂ
- Pemilihan umum serentak dalam pemilihan anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/WalikotaÂ
- Pemilihan umum nasional yang serentak dalam pemilihan anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden dan beberapa waktu kemudian dilaksanakannya pemilihan umum lokal serentak untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Wali Kota
- Pemilihan umum nasional serentak untuk pemilihan anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden dan beberapa waktu setelah pelaksanaan pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih Gubernur dan kemudian beberapa waktu setelah pelaksanaan pemilihan umum serentak Kabupaten/Kota dalam memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan meilih Bupati dan Walikota
- Pilihan-pilihan lainnya selama tetap menjaga sifat keserentakan dalam pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden
- Bentuk keserentakan pemilu yang ideal yaitu pemilihan umum nasional serentak dalam memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden dan setelahnya baru dilaksanakannya pemilihan umum lokal yang serentak untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota[7]. Bentuk keserentakan dalam pemilu dapat menjadi solusi pada kekurangan dan permasalahan yang telah dialami pada pemilu serentak tahun 2019 terutama pada partisipasi pemilih, para penyelenggara pemilu, dan juga penguatan pada sistem presidensial dan penguatan pada sistem pemerintahan daerah.Â
Â
Penggiringan opini publik tentang calon Presiden dalam kontestasi Pemilu